tag:blogger.com,1999:blog-87387301920306866492024-02-06T20:05:19.999-08:00Batik No.1Batik , batik surakarta, batik pekalongan, batik yogyakarta, batik indonesia, batik parang klitik,batik parang kusumo, batik lurik, Kebaya,
Kebaya lapis, Kebaya Tumpuk, Kebaya potong, Kebaya tradisional jawa, Kebaya Sulam ,Galeri Kebaya, Butik Kebaya, Grosir Kebaya, Model Kebaya,Kebaya OnlineUnknownnoreply@blogger.comBlogger77125tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-22415874591580704992014-01-03T21:20:00.003-08:002014-01-03T21:20:21.208-08:007 Versi Wafatnya Syekh Siti Jenar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yang menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar.<br />
<br />
Versi Pertama<br />
Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.<br />
<br />
Versi Kedua<br />
Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).<br />
<br />
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”.<br />
<br />
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama.<br />
<br />
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.<br />
<br />
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.<br />
<br />
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.<br />
<br />
Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat.<br />
<br />
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221):<br />
<br />
“...luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana...”<br />
<br />
...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada...”<br />
<br />
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.<br />
<br />
Versi Ketiga<br />
Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).<br />
<br />
Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia dan alam (Hariwijaya, 2006: 41-42).<br />
<br />
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya.<br />
<br />
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.<br />
<br />
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati.<br />
<br />
Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji saksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.<br />
<br />
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya.<br />
<br />
Versi Keempat<br />
Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218).<br />
<br />
Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disandur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati.<br />
<br />
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna.<br />
<br />
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar.<br />
<br />
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).<br />
<br />
Versi Kelima<br />
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.<br />
<br />
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati.<br />
<br />
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.<br />
<br />
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.<br />
<br />
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.<br />
<br />
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).<br />
<br />
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.<br />
<br />
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).<br />
<br />
Versi Keenam<br />
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan (t.t).<br />
<br />
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.<br />
<br />
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.<br />
<br />
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.<br />
<br />
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.<br />
<br />
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.<br />
<br />
Versi Ketujuh<br />
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian.<br />
<br />
<br />
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam.<br />
<br />
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo.<br />
<br />
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.<br />
<br />
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai.<br />
<br />
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.<br />
<br />
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.<br />
<br />
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).<br />
<br />
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis.<br />
<br />
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.<br />
<br />
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.<br />
<br />
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.<br />
<br />
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.<br />
<br />
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).<br />
<br />
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-69005134025687480042013-04-14T17:56:00.002-07:002013-04-14T17:56:59.892-07:00Falsafah Jawa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
1. Urip Iku Urup.<br />Artinya: Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.<br /><br />2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dhur angkoro.<br />Artinya: Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan & kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.<br /><br />3. Suro Diro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti.<br />Artinya: Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.<br /><br />4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondho.<br />Artinya: Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan.<br /><br />5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan.<br />Artinya: Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.<br /><br />6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman.<br />Artinya: Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut; Jangan mudah kolokan atau manja.<br /><br />7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman.<br />Artinya: Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.<br /><br />8. Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Ciloko.<br />Artinya: Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;<br />Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.<br /><br />9. Ojo Milik Barang Kang elok, Ojo Mangro Mundak Kendo.<br />Artinya: Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.<br /><br />10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna.<br />Artinya: Jangan sok Kuasa, sok Besar, sok Pintar.<br /><br />Demikian sebagian petuah hidup orang jawa yang saya ketahui, semoga bisa menambah wawasan anda</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-85551225759560000952011-09-23T02:35:00.000-07:002011-09-23T02:35:42.676-07:00GUSTI ALLAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Kandjeng Pakubuwono VI. <div>
1. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe. (Tuhan itu tunggal, ada di mana-mana, yang menciptakan jagad raya seisinya, disembah seluruh manusia sejagad dengan caranya masing-masing)<br />2. Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran. (Tuhan ada di mana saja, di dalam dirimu juga ada, namun kamu jangan berani mengaku sebagai Tuhan)<br />3. Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. (Tuhan itu berada jauh namun tidak ada jarak, dekat tidak bersentuhan)<br />4. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi. (Tuhan itu abadi dan tak bisa diperumpamakan, menjadi asal dan tujuan kehidupan)<br />5. Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran. (Tuhan itu bisa mewujud namun perwujudannya bukan Tuhan)<br />6. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata. (Tuhan berkuasa tanpa alat dan pembantu, mencipta alam dan seluruh isinya, yang tampak dan tidak tampak)<br />7. Pangeran iku ora mbedak-mbedakake kawulane. (Tuhan itu tidak membeda-bedakan (pilih kasih) kepada seluruh umat manusia)<br />8. Pangeran iku maha welas lan maha asih, hayuning bawana marga saka kanugrahaning Pangeran. (Tuhan Maha Belas-Kasih, bumi terpelihara berkat anugrah Tuhan)<br />9. Pangeran iku maha kuwasa, pepesthen saka karsaning Pangeran ora ana sing bisa murungake. (Tuhan itu Mahakuasa, takdir ditentukan atas kehendak Tuhan, tiada yang bisa membatalkan kehendak Tuhan)<br />10. Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran. (Kehidupan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan).<br /><br />Selain itu, para pujangga, empu, para cerdik cendekia dari Tanah Jawa, telah merumuskan berbagai etika dalam “berhubungan dengan Tuhan”:<br /><br />1. Gusti iku dumunung ana atining manungsa kang becik, mulo iku diarani Gusti iku bagusing ati. (Tuhan berada di dalam hati manusia yang baik, oleh sebab itu disebut Gusti (bagusing ati)<br />2. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe. Dene kang durung mikani awake dhewe durung mikani dating Pangeran. (Siapa yang mengetahui zat Tuhan berarti mengetahui dirinya sendiri. Sedangkan bagi yang belum memahami jati dirinya sendiri maka tidak mengetahui pula zat Tuhan)<br />3. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajat ira, awit samangsa ana wolak-waliking jaman ora ngisin-ngisini. (Keadaan dunia tidaklah abadi, maka jangan mengagungkan kekayaan dan derajat pangkat, sebab bila sewaktu-waktu terjadi zaman serba berbalik tidak menderita malu)<br />4. Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah. (Keadaan yang ada sekarang ini tidak akan berlangsung lama pasti akan mengalami perubahan, maka dari itu janganlah lupa kepada sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan)<br />5. Lamun sira kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, sira kudu weruh alamira pribadi. Lamun sira durung mikan alamira pribadi adoh ketemune. (Bila kamu ingin mengetahui alam di zaman kelanggengan. Kamu harus memahami alam jati diri (jagad alit), bila kamu belum paham jati dirimu, maka akan sulit untuk menemukan (alam kelanggengan)<br />6. Yen sira wus mikani alamira pribadi, mara sira mulanga marang wong kang durung wikan. (Jika kamu sudah memahami jati diri, maka ajarilah orang-orang yang belum memahami)<br />7. Lamun sira wus mikani alamira pribadi, alam jaman kelanggengan iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan. (Bila kamu sudah mengetahui sejatinya diri pribadi, tempat zaman kelanggengan itu seumpama dekat tanpa bersentuhan, jauh tanpa jarak)<br />8. Lamun sira durung wikan alamira pribadi mara takono marang wong kang wus wikan. (Bila anda belum paham jati diri pribadi, datang dan tanyakan kepada orang yang telah paham)<br />9. Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi. (Bila anda belum paham saudaramu yang sejati, carilah hingga ketemu dirimu pribadi)<br />10. Kadangira pribadi ora beda karo jeneng sira pribadi, gelem nyambut gawe. (“Saudara sejati” mu tidak berbeda dengan diri pribadimu, bersedia bekerja)<br />11. Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti. (Pintalah Tuhan bila anda sedang menderita kesengsaraan, pujilah bila anda sedang menerima anugrah)<br />12. Lamun sira pribadi wus bisa caturan karo lelembut, mesthi sira ora bakal ngala-ala marang wong kang wus bisa caturan karo lelembut. (Bila anda sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus, pasti anda tidak akan menghina dan mencela orang yang sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus)<br />13. Sing sapa nyembah lelembut iku keliru, jalaran lelembut iku sejatine rowangira, lan ora perlu disembah kaya dene manembah marang Pangeran. (Siapa yang menyembah lelembut adalah tindakan keliru, sebab lelembut sesungguhnya teman mu sendiri)<br />14. Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran. (Memahami tuhan berarti sudah memahami diri sendiri, jika belum memahami jati diri, mustahil akan memahami Tuhan)<br />15. Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe. (Siapa yang gemar merusak ketentraman orang lain, pasti akan dihukum oleh Tuhan dan dipermalukan oleh perbuatannya sendiri)<br />16. Lamun ana janma ora kepenak, sira aja lali nyuwun pangapura marang Pangeranira, jalaran Pangeranira bakal aweh pitulungan. (Walaupun mengalami zaman susah, namun janganlah lupa mohon ampunan kepada Tuhan, sebab Tuhan akan memberikan pertolongan)<br />17. Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi, dene ketemune Gusti lamun sira tansah eling. (Tuhan ada di dalam diri pribadi, dapat anda ketemukan dengan cara selalu eling)</div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-71477156234162793592011-09-17T21:50:00.000-07:002011-09-17T21:50:20.527-07:00Kidung Rumeksa Ing Wengi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
Kanjeng Sunan Kalijaga paring wejangan luhur lumantar Kidung Rumeksa ing Wengi. Tumraping kalangan kejawen,kidung puniko wingit sanget. Kaplalah wonten ingkang nyebat japa mantra. Sinten kemawon ingkang maos saget mbadharaken tiyang ingkang damel piawon. Mila kidung punika ugi kuncara sanget.<br />
<br />
<b>DHANDHANGGULA.</b><br />
<br />
Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lelara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, peneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunanging wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah mring mami, guna duduk pan sirna.<br />
<br />
Sakabehing lara pan samnya bali, sakeh ngama pan sami miruda, welas asih pandulune, sakehing braja luput, kadi kapuk tibaning wesi, sakehing wisa tawa, sato galak lulut, kayu aeng lemah sangar, songing landhak guwaning wong lemah miring, myang pakiponing merak.<br />
<br />
Paguponing warak sakalir, nadyan arca myang segara asat, temahan rahayu kabeh, apan sarira ayu, ingideran kang widadari, rineksa malaikat, sakathahing rasul, pan dadi sarira tunggal, ati Adam uteku Baginda Esis, pangucapku ya Musa.<br />
<br />
Napasku Nabi Musa linuwih, Nabi Yakub pamyarsaningwang, Yusup ing rupaku mangke, Nabi Ibrahim nyawaku, Abu Bakar singgih, Balung Bagendha Usman.<br />
<br />
Sungsumingsun Patimah linuwih, Siti Aminah banyuning angga, Ayub ing ususku mangke, NAbi Nuh ing jejantung, Nabi Yunus ing otot mami, Ntraku ya Muahmmad, pamuluku rasul, pinayungan Adam sarak, sampun pepak sakhathahing para Nabi, dadya srira tunggal.<br />
<br />
Wiji sawiji mulane dadi, apan pencar saisining jagad, kasamadan dening date, kang maca kang angrungu, kang anurat kang anyimpeni, dai ayuning badan, kinarya sesembur, yen winacakna ing toyo, kinarya dus rara gelis laki, wong edan nuli waras.<br />
<br />
Lamun ana wong kadhendha kaki, wong kabanda wong kabotan utang, yogya wacanen den age, nalika tengah dalu, ping sewelas macanen singgih, luwar saking kebanda, kang kadhendha wurung, aglis nuli sinauran mring hyang, sukma kang utang puniku singgih, kang agring nuli waras.<br />
<br />
Lamun tulus nandur pari, puwasaa sawengi sadina, iderana galengane, wacanen kidung iku, sakehngama sami abali, yen sira lunga perang, wateken ing sekul, antuka tigang pulukan, musuhira rep sirep tan ana wani, rahayu ing payudan.<br />
<br />
Sing sapa reke bias nglakoni, amutiya lawan anawaa, patang puluh dina wae, lan tangi wektu subuh, lan den sabar sukuring ati, Insya Allah tineken, sakarsanireku, tumrap sanak rakyatira, saking sawabing ngelmu pangiket mami, duk aneng Kalijaga.<br />
<br />
Wondene pralambang tuwin pralampita minangka tuntunan dhateng para umat ingkang sampun ngambah tarekat wau, ingkang tamtu mikantuki, inggih kedah ngangge probt saking bab-bab ingkang dipun senengi ing akathah saha gandheng kalayan kapidadosaning agaminipun. Kasenenganing akathah ingkang makaten wau, saget pinanggih ing tetingalan ringgit purwa. Awit saking punika, mila tetingalan ringgit purwa ingkang sampun wonten samangke punika, inggih kedhah dipun ewahi kalarasaken kalayan kaislaman, dadosa srana penetah tumrap ummat Islam ingkang sampun ngambah tarekat.<br />
<br />
Mila tetingalan ringgit purwa sami dipun senengi tetiyang kathah ingkang gandheng kalayan kapitadosning agami , jalaran : wonten tetingalan punika pancen iyasasanipun para ulu-uluning agami Siwah, kangge mujudaken piwulangipun ingkang kawrat ing serat Mahabharata. Kadasto : dumadosing para titah, para dewa ingkang nitahaken, jim peri prayangan, suwarga neraka, pepasthining manungsa, sadayanipun saget kamot ing gambaran ringgit purwa. Jalaran saking wujud makaten wau, pangaji-ajinipun tetiyang kathah dhateng tetingalan ringgit, prasasat mboten beda kaliyan pangaji-ajinipun dhateng para dewa panutanipun. Saben tiyang nanggap wayang, tamtu mboten tilar upacara sesaji tuwin ketutug dupa ratus sapanungalipun kados dene sesaji dhateng para dewa panutanipun.<br />
<br />
Saking agenging kapitadosan, ngantos lahiripun jabang bayi ingkang manut kapitadosanipun agami Siwah tuwin Buda pinasthi dados mangsanipun Bathara Kala, ugeripun sampun dipun sranani tatacara ngruwat ingkang katidakaken sarana tetingalan ringgit lampahan murwakala, ngantos diwasaning bayi wau, sampun rinaos uwal saking papasthen dados mangsaning Bathara Kala. Mila kamosrikan ingkang ngantos samanten lebetipun puniko saking sakedik kedah dipun icali, nanging caranipun ngicali, kedah tansah kanthi kawicaksanan sampun ngantos damel kageting tyang kathah. Kapara malah kaangkah sagetipun nuju prana.<br />
<br />
Makaten wigatosing usulipun Kanjeng Sunan Kalijaga ing parepatanipun para Wali. Usul wau ugi dipun sarujuki saha ugi katindhakaken. Upacara dalah lampah lampahipun, angeplek usul rebagipun Kanjeng Sunan Kalijaga.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-77132085856720796272011-09-17T21:17:00.000-07:002011-09-17T21:17:28.193-07:00PUPUH 09<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Dandhang</b><br />
<br />
Kawarnaha ingkang sampun lalis, Wulung Kembang Tumenggung Berangkal, ika kapernah ipene, Berawijaya Majalangu, lelayone sampun cinandhi, wanten malih ipe nira, nata Majalangu, kang nama Dhandhang Wecana, sampun lenggah Tumenggung ing Majapahit.<br />
<br />
Raden Dhandhng Wecana medali, /142/ badayuda oneng ranagana, wanti-wanti sesubare, wong islam rebuten ingsun, perjurit ing Majapahit, Dhandhang Wecana aran ingwang, tumbake den pikul, amir Hamzah nulya medal, bekta tumabk wong kapir dipun parani, tumbak-tinumbak.<br />
<br />
Panumbaknya tanana nedhasi, watangira pan samiya bituwang, narik juriga karone, tumulya suduk-sinuduk, datan ana ingkang kecodhi, dhuwungira rinangkana sayah kalihipun, tumulya kedel sarapan, tiyang kalih aneda gadum lan ranti, tumulya anginum toya.<br />
<br />
Wus sarapan nulya tangkep malih, bodayuda Amir Hamzah ika, /143/ Dhandhang Wacana mungsuhe, Jeng Sunan Manyuran muwus, neng payudan dipun tingali, punika Ki Amir Hamzah, pan suduk-sinuduk, ananging tiyang kaliyan panyuduknya datan ana kang nadhai, pan sami perwira nira.<br />
<br />
Haji Ngusman nulya amarani, ing wong yuda apan sarwi ngocap, dhuh biyang kaya perihe, sateriya kang perang pupuh, ora patut dipun tingali, kaliyan mawi juriga, pan suduk-sineduk, ananging ingkang peryoga, keris siji punika dipun karoni.<br />
<br />
Amir Hamzah kerise den tedhi, ing Jeng Sunan Manyuran punika, tumulya den………………?<br />
<br />
<br />
Keterangan :<br />
Urut-urutan pupuh “Babad Demak Pesisiran” beserta jumlah pada-nya sbb :<br />
<br />
1. Asmaradana, terdiri dari 64 pada.<br />
2. Peksi Nala, terdiri dari 63 pada.<br />
3. Roning Kamal, terdiri dari 46.<br />
4. Pangkur, terdiri dari 27 pada.<br />
5. Asmaran, terdiri dari 73 pada.<br />
6. Kinanthi, terdiri dari 32 pada.<br />
7. Roning Kamal, terdiri dari 38 pada.<br />
8. Durma, terdiri dari 89 pada.<br />
9. Dandhang, terdiri dari 5 pada lebih 2½ gatra (tidak lengkap.)<br />
<br />
Peksi Natal = Dandhanggula,<br />
Dhandhang = Dandhanggula,<br />
Roning Kamal = Sinom,<br />
Asmaran = Asmaradana,<br />
Kinanthi = Kinanthi.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-80650832095345169002011-09-17T21:15:00.000-07:002011-09-17T21:15:18.906-07:00PUPUH 08<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Durma</b><br />
<br />
Gajah Sena pamitan mering sang nata, Berawijaya Majapahit, pamit sampun rinidhonan, ajujuk ing Tunggarana, pandi /115/ kanira sang aji, Ki Gajah Sena, umatur sendika Gusti.<br />
<br />
Sampun mangkat Ki Gajah Sena punika, den iring perajurit manteri, miwah para tamtama, nulya beber kendera ing ngarsa miwah ing wingking, nebut tengara, kendhang gong kelawan beri.<br />
<br />
Tan kawarna lampahira oneng marga, Tunggarana sampun perapti, bala islam wus katingal, nanging Gajah Sena, perajurite sawelas kethi, den anguhhen, kang sangang kethi amabantoni.<br />
<br />
Ayon-ayonan wong islam lawan wong kopar, pan sigera bendhil-biledhil, panggah perajurit islam, anesug ing madya kopar, pan awor dadi satunggal-satunggal, pedhang-pinedhang , lan ana bedhik-binedhik.<br />
<br />
Kathah pejah /116/ punggawa ing Majalengka, wong islam gih katah mati, banjir getih belabar, selur aserah watang, bangkene susun atindih, islam lan kopar, pan awor dadi sawiji.<br />
<br />
Genambulana perajurit ing Majalengka, Gajah Sena aran mami, wadiya islam sedaya, payo tandhing ayuda, ayonana budi mami, barenga mara, mesthi yen ingsun tadhahi.<br />
<br />
Amir Hasan amapag Ki Gajah Sena, payo tandhing padha siji, Gajah Sena angucap, maring Ki Amir hasan, lamun /117/ arep angayoni, sira tumbuka, sun tadhahi jaja mami.<br />
<br />
Amir Hasan anumbak Ki Gajah Sena, panumbake wadi-wadi, ananging datan tumama, Amir Hasan angucap, ed perajurit Majapahit, sira malesa, anumbak dumateng mami.<br />
<br />
Gajah Sena anumbak Ki amir Hasan, kena lambung ingkang kering, terus lambung ingkang kanan, Amir Hasan niba, tan dangu nulya ngemasi, Ki Amir Hasan, yudane sampun kecodhi.<br />
<br />
Amir Hamzah amedali bodayuda, anempuh ajarak pat, kang raka Amir Hasan, apan sampun perlaya, Gajah Sena kang nelasi, Ki amir Hamzah, jaja bang lir metu geni.<br />
<br />
Amir Hamzah /118/ apetak oneng payudan, eh perajurit Majapahit, kebat sira ngucap, lafth kalimah syahadat, yen tan ngocap sun pateni, Ki Gajah Sena, Amir Hamzah den parani.<br />
<br />
Ayuh-yunan Gajah Sena lan Amir Hamzah, tumbak tinumbak wani, apan pedhang-pinedhang, genti gebang-ginebang, datan ana kang kecodhi, watang binuwang, agenti keris-kineris.<br />
<br />
Gajah Sena oleh tandhing bodayuda, perejurit kang saking Wilis, anama Ki Amir Hamzah, kuwel dennya bodayuda, den bithi amales bithi, dugang-dinugang, pan genti jiwit-jiniwit.<br />
<br />
Nulya medal Sunan Ngudung neng payudan, ambakta gegaman seking, miwah gawa tamtama, sami perawireng /119/ rana, Gajahe Sena dipun-byuki, tamat matiga, Sunan Ngudung kang nelasi.<br />
<br />
Pan cinadak Ki Gajah Sena punika, Jeng Sunan Ngudung agelis, den seking walikatira, tatas terus ing jaja, tan dangu nulya ngemasi, Ki Gajah Sena, perjurit ing Majapahit.<br />
<br />
Wadiya islam katun tigang dasa gangsal, bala kopar dateng malih, sangang kethi kathahira, saperaboting wong ngayuda, kegamanira miranti, wus ayun-ayunan, wong islam datan gumingsir.<br />
<br />
Pan terengginas wong islam anulya nerajang, dumateng barisan kapis, nanging pinara tiga, sedasa nempuh ing kanan, kang sedasa nempuh kering, kang gangsal welas, /120/ anempuh tegah bebaris.<br />
<br />
Pepuyengan punggawa ing Majapahit, tambuh mungsuh tanbuh kanthi, samiya tumbak-tinumbak, miwah pedhang-pinedhang, lawan kocapa rejang neki, kathah kang pejah, kang urip melayu gendering.<br />
<br />
Raden Arya Jambul pan sampun lumajar, pelayu nira agendering, tan kawarna ing marga, wus dateng ing Majalengka, melebet ing dalem puri, sohan sang nata, matur nyembah sarwi nangis.<br />
<br />
Gusti kawula kinarya tindhihing yuda, nanging bala sampun eting, Gajah Sena wus pejah, perjurite pan sampun telas, katun kawula ingkang urip, enggal lumajar, ngaturi periksa sewangaji.<br />
<br />
Cinarita /121/ perjurit ing Majalengka, kathahe rong puluh kethi, kang ngiring Ki Gajah Sena, perang oneng Tunggarana, punika sami kecodhi, katun sedasa, pelayu nira gendering.<br />
<br />
Samiya bubar punggawa Majalengka, wong islam lajeng sumikir, kedel ing wana Kerawang, katun tiyang sawelas, kang samiya perwireng jurit, samiya rembagan, utusan maring suwangaji.<br />
<br />
Nulya mangkat marebut ingkang dinuta, ambekta kang ponang tulis, lampahira gegacangan, tan kawarna ing marga, Bintara pan sampun parepti, katur sang nata, surate wong andon jurit.<br />
<br />
Wus tinampan, nuwala ing Kanjeng Sunan, /122/ tumulya binuka agelis, ungele kang ponang surat, gusti kawula dinuta, angrebut si Majapahit, wus kalampahan, perang pupuh lawan wong kapir.<br />
<br />
wadiya kopar, kang pejah tanpa wilangan, wong islam kathah kang mati, katun wadiya sawelas, dene Ki amir Hasan, punika pan sampun lalis, panuwun kawula, dumateng paduka aji.<br />
<br />
Gih paringa kitunan ing wadiya bala, sumerta peraboting jurit, dene wong Majalengka, bubar saking payudan, kawula lajeng sumingkir wanten ing wana, Kerawang ing pernah neki.<br />
<br />
Yen sembada kelawan kersa panduka, wong kapir sun pukul malih, wus putus ungale surat, Kanjeng Sunan /123/ angendika, dumateng rekiyanapatih, Ki Ngabdul Salam, anenggik jejuluk neki.<br />
<br />
Ngabdul Salam jengandika mepek bela, sumerta peraboting jurit, Sunan Ngudung utusan, anuwun bantoning bala, Amir Hasan sampun lalis, perajurit islam, pan kantun sawelas iji.<br />
<br />
Sekathahe perjurit ing Majalengka, tanpa wilangan kang mati, kang urip pan samiya bubar, mudur saking payudan, Jeng Sunan Ngdung sumingkir, oneng Kerawang, nanging karsa yuda malih.<br />
<br />
Rineksana Ki Patih nabuh tengara, bendhene penatang jurit, bubul kang wadiya tamtama, miwah para punggawa, demang lurah lan petinggi, dateng sedaya, merabot /124/ sikeping jurit.<br />
<br />
Angendika Ki Patih mering tamtama, sumerta perajurit manteri, eh ta para punggawa, sang karsane sang nata, yen sira kinon bantoni ing badayuda, angrebut si Majapahit.<br />
<br />
Nanging Sunan Ngudung sira ulatana, ing Kerawang pernah neki, apa saing parentah, amesthi sira anut, Sunan Ngudung senapati, kang pinercaya, dumateng paduka aji.<br />
<br />
Para punggawa sedaya miwah tamtama, matur sendika gusti, kawula mesthi lumampah, saking kersa sang nata, punika pan sampun lami, angsal kawula, kepingin perang lan wong kapir.<br />
<br />
Angendika sang nata mering Ki Patiya, patih ingkang /125/ dhawuhi, manteri miwah tamtama, ika Sunan Mayoran, kang dadi tindhihing jurit, pan kinarya, gentinipun putera neki.<br />
<br />
Ingkang nama Amir Hasan wus perlaya, Gajah Sena kang mateni, mangke gumanti kang rama, Sunan Manyoran namanya, dipun dhawuhi Ki Patih Ngabdul Salam kersane panduka aji.<br />
<br />
Haji Ngusman jengandika kawula duta, dadi tindihe perajurit, abantoni badayuda, amukul ing Majalengka, Haji Ngusman matur agelis, inggih sendika, genti malih kang winarni.<br />
<br />
Pan kocapa Berawijaya Majalengka, ngendika dateng Ki Patih, eh Patih Gajah Mada, dika enggal utusan, dumateng negara Pengging, /126/ lan Ponaraga, jengandika kinon bantoni.<br />
<br />
Gajah Mada tumulya enggal utusan, dumateng negara Pengging, lawan Panaraga, duta pan sampun mangkat, tan kawarna oneng mergi, lampahe duta wus perapta negara Pengging.<br />
<br />
Nulya sohan utusan mering Dipatiya, Adiyaningrat ingkang nami, duta tumulya enggal, angaturaken nuwala, ingkang saking Majapahit, surat tinampanan, tumulya binuka agelis.<br />
<br />
Tiningalan ijohane ponang surat, ungale sejeroning tulis, wiyose serat punika, kawula atur uninga, ing negara Majapahit, wus kahunggahan, mungsuh saking Bintara iki.<br />
<br />
Yen sembada Ki Dipati Dayaningrat, enggal jengandika bantoni, /127/ ingkang wadiya bala, wus putus ungele surat, tumulya utusan angelis, nabung tengara, lan bendhe penatang jurit.<br />
<br />
Samiya parepta punggawa miwah tamtama, demang lurah lan patinggi, perabote wong ayuda, Ki Dipati angendika, dateng sekeh para manteri, eh ta punggawa, ingsun arep abantoni.<br />
<br />
Ing negara Majalengka kahawunggahan, mungsuh saking Bintara iki, sira padha ngiringa mering ing lakuning wong, dumateng ing Majapahit, abadayuda, mapag mungsuh ingkang perepti.<br />
<br />
Aturira dumateng lurah tamtama,pan inggih sandika Gusti, tan dangu anulya mangkat, Dipati Dayaningrat, den iring punggawa manteri, miwah tamtama, gegamanira miranti.<br />
<br />
Tan kawarna /128/ lampahira oneng marga, Majapahit sampun perapti, wonten malih kang kocapa, Arya Dhandhang wurahan, ingkang wisma oneng Tingkir, mireng kang warta, Rahaden Dipati Pengging.<br />
<br />
Mangkat yuda abantobi Majalengka, semerta bala perjurit, Arya Dhandhang Wurahan, tumulya anyandhak watang, kudane kinon ngambili, anitih enggal, kuda nira den jumethi.<br />
<br />
Kuda nerap kadiya angin lampahira, datan ing marga, Raden Dhandhang Wurahan, wus parepta ing Majalengka, ajujuk ing dalem neki, Dhandhang Wecana, nenggih wahu kang nami.<br />
<br />
Cinarita utusan ing Majalengka, kesah mering Panaragi, datan kawarna ing /129/ marga, lampahe ponang utusan, wus perapti ing Panaragi, sohan sang nata, Bethara Katong kang nami.<br />
<br />
Kang dinuta ngaturaken ponang surat, ingkang saking Majapahit, surat sampun tinampan, amulya enggal binuka, ungale kang ponang tulis, ngelamat surat, katur dumateng sang aji.<br />
<br />
Ingkang nama sang ngaji Bethara Katong, ing ngera Penaragi, wiyose surat punika, kawula atur wuninga, ing negara Majapahit, wus kahunggahan, mungsuh saking Bintara iki.<br />
<br />
Wadiya bala ing negara Majalengka, kathah kang mati, dene Ki Gajah Sena, pan inggih sampun perlaya, Bethara Katong sun purih kituna bala, tamtama kelawan /130/ manteri.<br />
<br />
Sang Bethara Katong nulya kitun surat, utusan dateng Dipati, Luwanu ing wisma nira, duta pan sampun mangkat, datan kawarna ing marga, lampahe duta, Luwanu pan sampun perapti.<br />
<br />
Nulya sohan duta saking Ponaraga, dumateng Raden Dipati, angaturaken nuwala, ingkang saking Ponaraga, nuwala tinampan agelis, nuwala binuka, ungele kang ponang tulis.<br />
<br />
Ingkang surat katur Adipatiya, ing Luwanu wisma neki, wiyosipun ponang surat, kawula tampi nuwala, ingkang saking Majapahit, ing rama nata, Berawijaya Majapahit.<br />
<br />
Kaunggahan mungsuh saking ing Bintara, Gajah Sena sampun /131/ lalis, saking kersa kawula, adhi ingkang lumampah, bantoni ing Majapahit, nanging jengandika, dateng ing Panaragi.<br />
<br />
Ki Dipati utusan ngambil kuda, jaran saking Margawati, jajan biru ulessira, tumulya anyandhak warang, kudane dipun titihi, sinebat enggal, kena poke konthol neki.<br />
<br />
Kuda ngerab lampahe kadiya maruta, datan kuwarna ing marga, wus parepta ing Ponaraga, Rahaden Dipati enggal, melebet ing dalem puri, panggih kang raka, nulya lenggah tiyang kalih.<br />
<br />
Sang Bethara Katong anulya angendika, dumateng wahu kang rayi, adhi sedhateng dika, kawula purih lumampah, bantoni ing Majapahit, anak kawula, /132/ Bethara Sudira kang nami.<br />
<br />
Adhi bekta punika kinarya rejang, Ki Dipati matur agelis, dhuh kakang sumangga kersa, kawula dermi lumampah, kang raka ngendika aris, dateng Ki Patiya, Jayadarna ingkang nami.<br />
<br />
Jayadarna jengandika amepek bala, abantoni Majapahit, Ki Patih matur sandika, sumerta para punggawa, manteri arya lan perjurit, nabuh tengara, lan bendhe penatang jurit.<br />
<br />
Samiya parapeta punggawa miwah tamtama, demang lurah lan petinggi, seperabote wong ayuda, Ki Patih angendika, dumateng perjurit, eh ta punggawa, pan sira kinon bantoni.<br />
<br />
Bodayuda tetulung ing Majalengka, saking karsane sang aji, dumateng /133/ lurah tamtama, samiya matur sendika, saking kersane Jeng Gusti, kawula lumampah, bantoni ing Majapahit.<br />
<br />
Riseksana Bethara Katong ngendika, dumateng Raden Dipati, adhi jengandika mangkat, lawan Raden Sudira, punggawa bala perjurit, jengandika bekta, Den Dipati enggal pamit.<br />
<br />
Nulya mangkat Dipati lawan Sudira, den iringi perjurit manteri, miwah para tamtama, punika Raden Dipatiya, enggal nitih kang turagi, nenggih ulesnya, jajan biru Margawati.<br />
<br />
Den Sudira anitih kuda pelangka, kuda saking Margawati, kendera wis binabyar, ing wingking kelawan ngarsa, kang bendhe sampun /134/ tinitir, nabuh tengara, kendhang gong kelawan beri.<br />
<br />
Pan gumuruh suwarane wadiya bala, urake awanti-wanti, pan selur bebongkokan, bangkatan oneng wutat, sumerta gawa turagi, ingkang andhongan, lan bendhe tinitir-titir.<br />
<br />
Tan kewarna lampahira oneng marga, wus perapta ing Majapahit, pepek kang para dipati, manteri demang lawan arya, oneng kutha Majapahit, samiya rembagan, mapag mungsuh ingkang perapti.<br />
<br />
Ganti kocap Sunan Manyuran winarni, kinarsakaken sang ngaji, dadi tindhihing punggawa, abantoni bodayuda, angrebut si Majapahit, sinungan bal, /135/ katahipun pitung kethi.<br />
<br />
Wus pamit Sunan Manyuran punika, pamit sampun den ridhoni, lawan Sunan Bintara, miwah wali sedaya, Haji Ngusman mangkat agelis, anitih kuda, jeragem ingkang turanggi.<br />
<br />
Haji Ngusman den iringi para punggawa, demang lurah lan petinggi, miwah para tamtama, wus beber kendera abang, ingkang ngarsa miwah ing wingking, nabuh tengara, kendhang gong kelawan beri.<br />
<br />
Tan kawarna oneng marga, wana Kerawang sampun parepti, pinanggih ing senapatiya, Sunan Ngudung ingkang nama, uluk salam nulya linggih, enggal rembagan, maju bodayuda malih.<br />
<br />
Kawarnaha Ki /136/ Dayaningrat, punika amireng warti, bala saking Bintara, parepta oneng wana Kerawang, enggal matur maring sang aji, yen mungsuh wus perapta, oneng Kerawang pernah neki.<br />
<br />
Berawijaya anulya ngendika enggal, dumateng para Dipati, miwah para sentana, ika padha sentana, ika padha mapaga, mungsuh sang Bintara iki, nanging Ki Patiya, Gajah Mada tengga puri.<br />
<br />
Gajah Mada punika kang tengga pura, punika dipun kantheni, kang Lembu Niseraya, lawan Ki Arya Ningah, manteri kang sepuh peribadi, Suwandinira, punika kang tengga puri.<br />
<br />
/137/ nulya mangkat perjurit ing Majalengka, Tumenggung miwah Dipati, sarta para tamtama, lawan para punggawa, Raden Gugur dadi tidhine, lan Pcad Tandha, Dipati Terung negari.<br />
<br />
Perjurite kang saking Terung negara, mung rong ewu sedaya neki, dene ingkang parwira, mung demang tetiga, Demang Lawung kang setunggal, lan Demang Terasaba, punika kang kaping kalih.<br />
<br />
Lawan Demang Sokadana kaping tiga, Demang tiga puniki, angiring Ki Pecad Tandha, tumut abodayuda, punika ingkang kinathi, maring Ki Pecad Tandha, ing Terung ingkang negari.<br />
<br />
Tan kawarna /138/ lampahira oneng marga, perjurit ing Majapahit, wus parepta ing alas Kerawang, bala islam wus katingal, tumulya perjurit kapir, nabuh tengara, kendhang gong kelawan beri.<br />
<br />
Sesahuran tengerenira wong islam, lawan tengarane wong kapir, gong maguru gangsa, tetege kaya butula, subare awanti-wanti, wus ayun-ayunan, wong aslam lawan wong kapir.<br />
<br />
Wus pinasang marime wadiya kopar, jumegur suwara neki, unine ambal-ambal lan, mariyem lawan melela, nanging datan angenani, ing wadiya islam, saking permaning Yang Widi.<br />
<br />
Wadiya islam aneseg, /139/ ing wadiya kopar, sigera bedhil-binedhil, panguras lawan sinapan, nanging perjurit islam, merepeki perjurit kapir, dadi satunggal, pan sengguh-sinengguh wani.<br />
<br />
Miwah ana kang suduk ika, ana kang bedhil-biendhil, lan ana pedhang-pineedhang, ana kang cuderik-cinuderik, ana ingkang seking-sineking, kathah kang pejah, sinepak kelawan esthi.<br />
<br />
Wadiya kopar pejah tanpa wilangan, wadiya islam ingkang mati, ika amung saleksa, kelawan pujul sedasa, tan dangu anulya parapti, punggawa kopar, inggih gegamanira miranti.<br />
<br />
Amir Hamzah amedali bodayuda, amungsuh /14/ perjurit kapir, kelawan Sunan Manyuran, wong kapir dateng saleksa, den amuk tiyang kalih, pejah sedaya, datan ana ingkang kari.<br />
<br />
Wulung Kembang amedali bodayuda, merabot sikeping jurit, ana ing ranagana, ambekta gegaman tumbak tumbak, sumbere awanti-wanti, eh ta wong islam, lamun sira bosen urip.<br />
<br />
Ayun-ayunan perjurit ing Majalengka, Wulung Kembang aran mami, lah ta rebutan ingwang, wadiya islam sedaya, tamtama kelawan manteri, bareng mara, amesthi ingsun tadhahi.<br />
<br />
Nulya medal Amir hamzah neng payudan, Wulung Kembang den parani, ambekta gegaman tumbak, pan sampun /141/ayun-ayunan, perjurit islam lan kapir, Ki wulung Kembang angemasi, lelawa nira, peksi dhandhng notholi.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-43135754772646433412011-09-17T21:09:00.000-07:002011-09-17T21:09:28.938-07:00PUPUH 07<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Roning Kamal</b><br />
<br />
Ngabdul Jalil kang kocapa, putera Sunan Gunung Jati, punika tan purun kerama, meksih ngaji wahdah tauhid, lawan ngemu usuluddin, lawan ngaji ngelmu junum, lawan ngaji ngelmu makripat, lawan ngaji ngelmu sufi, ingkang mulang Kanjeng Sunan Ngampel Denta.<br />
<br />
Wahdah tauhid tegesira, kawula tunggal lan gusti, tunggalle tanpa kapokan, pan kupule dadi siji, ing dalem kalimah takbir, mujajah maring Yang Agung, tan ana gusti lan kawula, lebure papan lan tulis, pan sinepa jene awor lan tembaga.<br />
<br />
Wose eling jenenge tembaga, wose kari rupaning jene, ananging ingkang gemebeyar, iya cahyananipun jene-jene, nanging sira den nestiti, pesemon /100/ kang kaya ika, pan aja keliru tapa, kang dudu dipun arani, malih mandar selamet imanira.<br />
<br />
Usuluddin tegesira, wiwitane wong musafir, tegese musafir ika, lumampah maring Yang Widi, ananing Allah barengi, ing kawula lampahipun, lumampah tan mawi pisah, kawula kelawan Gusti, pan sinepa wawangan lawan manusa.<br />
<br />
Ngelmu junum tegesira, kawula tan eling dhiri, kedanan maring Pangeran, dene sipat rahman rohim, tegese rohaman puniki, peparing tanpa jinaluk, sedya kang darbe nyawa, iya pinaringan rizqi, peparinge kelawan kersane dhewek.<br />
<br />
Sifat rohim tegesira, Gusti Allah kang welas asih, asihe dateng kawula, pan /101/ inggih ing benjing akhir, ing donya sampun ketawis, asihe kang maha agung, dumateng kawula nira, kang sinung iman sayekti, pinaringan hidayah saking Pangeran.<br />
<br />
Edane kawula ika, dumateng kang maha suci, ora edan zawal ngakal, balik edan donya mikir, maring ingkang maha suci, mung satunggal wujudipun, ananging kawula nira, satingkah polahe pesthi, bebarengan ing Allah kang maha mulya.<br />
<br />
Tegese ngelmu makripat, lamun sira arep uneng, dumateng Allah tangala, aningalaha ing dhiri, bisa wujud peribadine, sumerta wujude suwung, cangkeme tan bisa ngucap, mata kalih tan ningali, sumerta badane /102/ tan bisa polah.<br />
<br />
Sedaya tingkah jalma, miwah ngocap lan ningali, punika Allah karya, manusa iya barengi, ananging datan dayani, kawula pertikahipun, mung Allah kang maha mulya, anduweni sifat qodir, pan pinesthi wiyude Allah tangala.<br />
<br />
Ngelmu sufi tegese, anuceni maring ati, ambuwang ngujub lan riya, miwah sumngah lawan kibir, ati mang-mang lawan bahil, sirik kafi lawan hasud, sedayane marenana, ngagoha ati kang bening, sabar lila tawekal maring pangeran.<br />
<br />
Wus putus ngelmu sedaya, Raden bagus Ngabdul Jalil, tumulya enggal pamitan, ing Jeng Sunan Ngampel Gadhing, pamitan dipun /103/ ridhoni, Ngabdul Jalil mangkat sampun, datan kawarna ing marga, ing Jepara sampun perapti, adhedhukuh dul neng Siti Jenar.<br />
<br />
Ngabdul Jalil amertapa, amesu ing raga neki, rahina tan mawi dhadhar, ora sare kala wengi, ora ana kang pinikir, mung Allah kang Maha Agung, ika sipat Qidam Baqu, wujude dhohir lan batin, Gusti Allah nyeratani mering kawula.<br />
<br />
Ganti ingkang cinarita, kocap Sunan Ngampel lalis, para wali dateng sedaya, pada nyalataken sami, Sunan Giri kang ngimani, para wali makmun sedarum, sawuse den sholatena, inarekaken tumuli, pasarehane ana lor wetane pendapa.<br />
<br />
Pepekan wali sedaya, Sunan Bonang /104/ lawan Giri, lawan Sunan Kalijaga, Derajat lan Gunung Jati, Murya Kudus lawan Wisi, Manyoran Demak lan Ngdung, Melaya lan Kertayasa, oneng dhukuh Ngampel Gadhing, pirembugan jenengaken ing khalifah.<br />
<br />
Sunan Giri angendika, dateng sekeh para wali, boten wonten kang peryoga, dadi khalifah agama, mung Sunan Demak negari, peryoga jumeneng perabu, lah ta padha seksenana, Sunan Demak dadi aji, para wali padha ngamini sedaya.<br />
<br />
Pan sampunira mangkana, Sunan Demak kersa mulih, dumateng negara Demak, para wali sami ngiring, tan kawarna oneng margi, ing Demak pan sampun rawuh, /105/ Jeng Sunan Demak ngendika, dateng sekeh para wali, sanak-sanak sumangga sami rembagan.<br />
<br />
Adege agama islam, kuwajiban perang sabil, wus kocap ing dalem Qur’an, miwah Hadis Kanjeng Nabi, lah padha rembagan sami, angerubut si Malangu, kapire kawak kumuwuk, tan anut agama suci, para wali punika rembak sedaya.<br />
<br />
Kanjeng Sunan Jati Pura, matur dateng Sunan Giri, yen sampun rembak sedaya, akathahe para wali, pan sinten ingkang perayogi, dadi tindih perang pupuh, angrebbut ing Majalangu, nulya dawuh Sunan Giri, Sunan Ngudung ingkang dadi senapatiya.<br />
<br />
Para wali sampun rembak, Ngdung dadi sena /106/ pati, angrebut ing Majalengka, kersaning Jeng Sunan Giri, ananging dipun paringi, prajurit mung pitung ewu, sarta modin kawandasa, lan malih dipun kantheni, Amir Hasan puterane Sunan Manyoran.<br />
<br />
Lan malih Amir Hamzah, puterane Jeng Sunan Wilis, wuse pepek para punggawa, sumerta praboting jurit, gagaman tumbak lan keris, sinapan kelawan kestul, ana ingkang gaman pedhang, miwah ana gaman bedhil, miwah ana ingkang gwa gaman tumbak.<br />
<br />
Pan genti cinarita, Arya Tanduran winarni, ing negara Majalengka, punika anggadhah siwi, tetiga sedaya neki, dene putera ingkang sepuh, anama Ki Gajah /108/ Mada, kang penengah nama neki, Gajah Wila kang weragil Gajah Sena.<br />
<br />
Putera tiga sedayanira, pan sami dadi patih, pepatihe Berawijaya, nata perabu Majapahit, Gajah Mada kang meriksani ing perkara para padu, dene patih Gajah Wila, pajegan dipun periksani, Gajah Sena kang meriksani perjurite.<br />
<br />
Dene puterane sang nata, Raden Gugur ingkang nami, punika wus pinaringan, nama Pangeran Dipati, oneng dalem Majapahit, kinarya wakil sang perabu, Raden Gugur sampun putera, kalih sami jalu neki, ingkang sepuh anama Lembu Niseraya.<br />
<br />
Ingkang ragil nama, Lembu Kanigara singgih, kersanipun Berawijaya, nata perabu Majapahit, kang /109/ wayah kalih puniki, sinungan nama Tumenggung, oneng kitha Majalengka, mrentah arya lan manteri, wanten malih inggih putera saking Palembang.<br />
<br />
Puterane Ki Arya Damar, Raden Husen ingkang nami, nyuwita maring sang nata, Berawijaya Majapahit, Raden Husen den paringi, dadi dipati ing Terung, jejuluk Ki Pecat Tandha, wanten malih kang winarni, ingkang nama Rahaden Dhandhnag Wecana.<br />
<br />
Putera saking Panaraga, pernah ipe mering sang aji, nyuwita mering sang nata, Berawijaya Majapahit, punika dipun paringi, ing lenggah nama Tumenggung, oneng kita Majalengka, Dhadhang Wecana sesiwi, putera jalu punika /110/ amung satunggal.<br />
<br />
Raden Banjar ingkang nama, ngadek arya oneng Tingkir, jejuluk Dhadhang Wurahan, wanten malih kang winarni, pernah ipe maring sang aji, Berawijaya Majalangu, ingkang nama Wulung Kembang, nyuwita ing Majapahit, sinung nama Tumenggung oneng Berangkal.<br />
<br />
Sigegen kang cinarita, Sunan Ngudung kocap malih, badhe kesah bandayuda, angrebut si Majapahit, gegaman sampun mireti, tumulya Jeng Sunan Ngudung, angago rasuka zimat, ontakesuma kang nami, riseksana Sunan Ngudung pamit enggal.<br />
<br />
Pamita mering sang nata, Sunan Demak ingkang nama, pamit sampun rinidhonan, tumulya lumampah /111/ agelis, Jeng Sunan Ngudung anitih, kuda ules jajan biru, den iringi para punggawa, tamtama perjurit manteri, pan gimerebeg lampahe wong andon yuda.<br />
<br />
Jeng Sunan Ngudung ning ngarsa, sinahuban songsong kuning, gendera sampun binebyar, ing ngarsa miwah ing wingking, bendhene sampun tinitir, gunung beri muniya gumuruh, surake kadiya muniya ampuhan, surake wong andon jurit, Amir Hasan anitih kuda pelangka.<br />
<br />
Ana dene amir Hamzah, kuda rajeg kang titihi, Amir Hasan oneng kanan, songsonge gadhung melathi, Amir Hamzah oneng kering, apan pethak songsongipun, tan kawarna oneng marga, /112/ lampahe kang andon jurit, sampun dugi alas Tunggarana.<br />
<br />
Jeng Sunan Ngudung mesanggerah sumerta perjurit, oneng alas Tunggarana, semana enggal anulis, nuwala panantang jurit, tan dangu nulya keperangguh, mantri ingkang nitih kuda, dipun adhang oneng margi, tinakonan mantri ingkang nitih kuda.<br />
<br />
Ature kang nunggang jaran, kawula wong Majapahit, lurah dusun Cakar Ayam, bebedhok kidang lan kancil, kersane Seri Narapati, Berawijaya Majalangu, Sunan Ngudung angendika, dateng lurah nitih esthi, pasang yogyake lurah sira sun duta.<br />
<br />
Ngaturaken kang nuwala maring perabu Majapahit, nuwala sampun tinampan, Ki Lurah /113/ lumampah aglis, datan kawarna ing margi, wus perapta ing dalem pura, nuwala katur sang ngaji, duk semana sang nata lagi sineba.<br />
<br />
Pepek kang para sentana, Tumenggung Arya lan Patih, nuwala enggal tinampan, maring perabu Majapahit, nuwala binuka aglis, tumulya winaca sampun, ungale kang ponang surat, ngalamat surat puniki, dumatenga ing sang perabu Berawijaya.<br />
<br />
Wiyose kang punang surat, eh ta prabu Majapahit, lamun sira nyata lanang, lah ta payo tandhing jurit, ana dene aran mami, jejuluk Jeng Sunan Ngudung, kersane Sunan Bintara, kinon ngerusak Majapahit, lah sedaya /114/ perajurit ing Majalengka.<br />
<br />
Mapaga neng Tunggarana, lamun sira bosen urip wus putus ungeling surat, sang nata ngendika aris, dumateng Kiyahi Patih, Gajah Sena namanipun, eh Ki Patih Gajah Sena, ika ana gaman perapti, saking Demak si Patah kang gawe pokal.<br />
<br />
Kang ika sira sun duta, amapak gaman kang perapti, sumerta sira gawaha, perjurit rong puluh kethi, lan malihe sun kantheni, kang nama Ki Arya Jambul, perjurit saking Balega, puterane Jaran Panoleh, lah mangkata aja mundur tengahing rana.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-72540126648036655072011-09-17T21:04:00.000-07:002011-09-17T21:04:17.721-07:00PUPUH 06<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Kinanti</b><br />
<br />
Raden Husen pamit sampun, ing Jeng Sunan Ngampel Gadhing, lan malih pamit kang raka, apa sampun den ridloni, Raden Husen nulya mangkat, lumampah tan mawi kanthi.<br />
<br />
Mandheg mayong, lampahipun, tumulya anolih buri, wis tebih dennya lumampah, kang raka sampun kawingking, Raden Husen gagacangan, lumampah tan nolih buri.<br />
<br />
Datan ka warnaning enu, Raden Husen alapah neki, wus dateng ing Majalengka, tumulya sohan nerpati, seri nalendra Berawijaya, nata perabu Majapahit.<br />
<br />
Raden Husen awot santun, padha nata den sungkemi, sang nata kaget /92/ tumingal, kengetan puterane singgih, kang nama Ki Arya Damar, sang nata amuwus aris.<br />
<br />
Adhuh ngawusira kulup, pinangkannya saking ngendi, lawan sapa aranira, Raden Husen matur aglis, anenggih wisma kawula, ing tanah Palembang negari.<br />
<br />
Wadotan kawula punika, Raden Husen wasta mami, anenggih bapa kawula, Arya Damar ingkang mami, sedateng kawula punika, sedaya nyuwita jeng gusti.<br />
<br />
Sigegen ingkang winuwus, Sunan Ngampel kocapa malih, punika anggadhah putera, kekalih pan sami isteri, ibune saking ampayan, puteranipun Ki Bang Kuning.<br />
<br />
Dene putera ingkang sepuh, Murtasiyah ingkang nami, punika apala kerama, Raden Paku garwa neki /93/, kang wisma Tandhes negara, putera Nyi Gedhe Patih.<br />
<br />
Raden Paku nulya dinunung, ngimani Tandhes negara, Raden Paku nulya karsa, dhedhukuh wanten ing Giri, Raden Paku bangun tapa, amesu ing raga neki.<br />
<br />
Mertapa wanten ing gunung, ardi Tukangan kang nami, sampun angsal tigang wulan, lan punjul sedasa hari, tinarima ing Pangeran, sinung derajat wali.<br />
<br />
Ing mangke Rahaden Paku, dadi nama Sunan Giri, apan kathah rewangira, kang anut agama suci, sawusira lama, Raden Paku asesiwi.<br />
<br />
Sekawan sedayanipun, puterane Jeng Sunan Giri, putera jalu ingkang tiga, kang satunggal ika isteri, ana dene ingkang sepah, Raden Perabu ingkang /94/ nami.<br />
<br />
Dene putera kang panggulu, kang nama Raden Misani, dene malih rayinira, Raden Guwa ingkang nami, rayine malih punika, isteri nama Ratnawati.<br />
<br />
Murtasimah kang winuwus, putera Sunan Ngampel Gadhing, ibune tunggal ampeyan, punika apala kerami, Raden Patah garwa nira, puteranipun seri bupati.<br />
<br />
Berawijaya Majalangu, puteri Cina ibu neki, Raden Patah nulya dhukuh, Bintara pernah negari, dinunung yen dadi imam, ing Demak lawan ingeradin.<br />
<br />
Raden Patah bentur laku, amesu ing raga neki, nanging tapa oning wisma, ora dhahar ing raga neki, nanging tapa oning wisma, ora dhahar kala hari, wengine tan mawi nedera, sampun angsal tigang sasi.<br />
<br />
Jinujung /95/ maring Yang Ngagung, sinung derajad dadi wali, anama Sunan Bintara, wus kathah ing rencang neki, kang sami anut agama, ngibadah mering Yang Widi.<br />
<br />
Raden Patah nulya sesunu, ika nenem kathah neki, jalu putera ingkang gangsal, kang setunggal ika isteri, ana dene ingkang sepah, Pangeran Purba kang nami.<br />
<br />
Dene putera kang penggulu, Raden Teranggana kang nami, ingkang rayi namanira, Raden Bagus Sidakali, rayine malih punika, Gendhuruhan ingkang nami.<br />
<br />
Dene putera kang weruju, isteri nama Dewi Ratih, wanten malih cinarita, putera Sunan Ngampel Gadhing, jalu kantun satunggal, ibune saking Tubin.<br />
<br />
Raden Kasim namanipun, punika /96/ apala kerami, kang garwa Dewi Supiyah, putera Sunan Gunung Jati, Den Kasim nulya pinernah dadi imam kang pinaci.<br />
<br />
Ing Lawang lan Sedayu, Derajat dhukuhan neki, tumulya ambentur tapa, Jongpangkah gennya mertapi, ora sare ora dhahar, sampun angsal tigang sasi.<br />
<br />
Jinujung mering Yang Agung, sinung derajat wali, anami Sunan Derajat, pan wus kathah recang neki, Den Kasim nulya peputera, tetiga sedaya neki.<br />
<br />
Pangeran Trenggana kang sepuh, panengah Pangeran Sandi, kang weruju Dewi Wuryan, genti malih kang winarni, kocapa Raden Amir Hasan, Haji Ngusman kang sesiwi.<br />
<br />
Amir Hasan den ambil mantu, lawan /97/ Sunan Kalijaga, ana dene garwa nira, Rukiyah nenggih kang nami, kocap Raden Amir Hamzah, puteranipun Said Muksin.<br />
<br />
Punika den ambil mantu, lawan Sunan Kalijaga, ana dene garwanira, Rupingah nenggih kang nami, Raden Sangid cinarita, putera Sunan Kalijaga.<br />
<br />
Punika den ambil mantu, lawan Kiyahi Ngusman Haji, garwane Dewi Sujinah, punika nenggih kang nami, datan lama adhedhekah, oneng Murya pernah neki.<br />
<br />
Raden Sangid bentur laku, amesu ing raga neki, mertapa ning Sapterangga, ora dhahar kala hari, wengine tan mawi nedera, sampun angsal tigang sasi.<br />
<br />
Junujung mering Yang Agung, sinung derajat dadi wali, dadi nama Sunan Muriya, tumulya /98/ anggadah siwi, puterane jalu satunggal, kang nama Pangeran Sateri.<br />
<br />
Den pernahe ing Kadilangu, jejuluk Pangeran Yehi, wonten malih cinarita, Raden Bagus Amir Haji, Sunan Ngdung kang peputera, punika apala kerami.<br />
<br />
Dewi Ruhil garwanipun, Sunan Bonang kang sesiwi, Amir Haji nulya pinernah, dhedhukuh Kudus negari, Mir Haji tapa neng wisma, datan dhahar tigang sasi.<br />
<br />
Junujung mering Yang Agung, sinung derajat dadi wali, nama Sunan Kudus ika, genti malih kang winarni, Ngabdul Jalil kang kocap, wong anom tan purun kerami.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-63400159968754486062011-09-17T20:59:00.000-07:002011-09-17T20:59:52.390-07:00PUPUH 05<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Asmaradana</b><br />
<br />
Kocap malih Ngabdul Kadir, punika sampun akerama, Ni Dewi Isah garwane, puterane sunan Jakandar, sawusira lama-lama, Ngabdul Kadir pan dinunung, ngimani Cerebon negara.<br />
<br />
Dhedhukuh ing Gunung Jati, Ngabdul Kadir duk semana, ambentur laku karsane, anging tapa oning wisma, tigang sasi datan dhahar, tinarima ing Yang Agung, apan dadi waliyullah.<br />
<br />
Nama Sunan Gunung Jati, wus kathah wong manjing islam, tepis wiring dhukuhane, akeh ajar kepelajar, kang tan anut ing agama, nusup alas munggah gunung, ajrih kinon manjing islam.<br />
<br />
Kanjeng Sunan Gunung Jati, lama-lama apeputera, kekalih nenggih puterane, ingkang sepah ika pirya, Ngabdul Jalil namanira, dene putera kang weruju, pawesteri nama Supiyah.<br />
<br />
Wanten kang winuwus malih, tedhak saking Rasulullah, tetiga sami piryane, Sayid Mahsin kang setunggal, kaping kalih Sayid Ahmad, Halifah Husen kaping telu, tanah Yaman wismanira.<br />
<br />
Wonten kesah dateng Jawi, tan kawarna lampahira, dumugi tanah Jawane, ing negara Surabaya, jujuk dhukuh Ngampel Denta, pinanggih Kanjeng Sinuwun, uluk salam wong tetiga.<br />
<br />
Jeng Sunan jawab tumuli, salame wediya kang perapta, enggal Jeng Sunan wiyose, dhuh sanak kawula tannya, /73/ saking ngendi penangkanya, lawan siten namanipun, kang perapta matur pertela.<br />
<br />
Sayid Muhsin nama mami, anenggih recang kawula, Khalifah Husen namane, kelawan Ki Sayid Ahmad, ing Yaman ingkang negara, dateng kawula pan estu, nyuwita dateng panduka.<br />
<br />
Sumeja sinahu ngelmi, syarengat lawan tareqat, apadene haqeqate, Sunan nulya ngendika, dhuh nyawa sanak kawula, wong gelmu yen kurang laku, punika tanpa gaweya.<br />
<br />
Nulya matur Sayid Muhsin, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, mugi angsala pandongane, ing luhur kawula sedaya, sumerta pandonga tuwan, puruna ambentur laku, ekalasha mering Pangeran.<br />
<br />
Tumulya winulang singgih, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, Muhsin miwah /74/ rejange, minuruk ngelmu sarengat, tareqat lawan haqeqate, sedaya pan sampun putus, ing lafath miwah ing makna.<br />
<br />
Kanjeng Sunan Ngampel Gadhing, ing putera kang sepah wus kerama, Siti Syarifah namane, kambil garwa Haji Ngusman, putrane Raja Pandhita, datan lama dhedhukuh, kapernah ardi Manyuran.<br />
<br />
Haji Ngusman bangun teki, amesu ing raga nira, Mandhalika gen tapane, tanpa angsal tigang wulan, jinujung mering Yang Agung, sinung derajat waliyullah.<br />
<br />
Sawusira lami-lami, Haji Ngusman apeputera, satunggal jalu puterane, ing ngaranan Amir Hasan, den Siti Muthmainah, puterane Kanjeng Sinuwun, padhukuhan Ngampel Denta.<br />
<br />
/75/ Punika apala kerami, nenggih ingkang ngambil garwa, Ki Sayid Muhsin namane, oneng alas dhedhekah, tumulya ambentur tapa, amesu ing raganipun, ardi Pegat gennya tapa.<br />
<br />
Ora sare kala wengi, ngabekti mering Pangeran, ora dhahar ing rinane, amerangi napsu hawa, sampun angsal tigang wulan, tinarima derajat waliyullah.<br />
<br />
Sampun nira lami-lami, Sayid Muhsin apeputera, satunggal jalu puterane, ingaranan Amir Hamzah, ana dene Siti Hasyfah, puterane Kanjeng Sinuwun, padhukuhan Ngampel Denta.<br />
<br />
Punika apala kerami, nenggih ingkang ngambil garwa, Ki Sayid Ahmad namane, datan lama adhedhekah, kapernah ardi Kamelaka, tetapi tanderbe sunu, dadi lampah /76/ amertapa.<br />
<br />
Sayid Ahmad amertapi, nanging tapa oning wisma, kelangkung mati ragane, dhatan dhahar datan nedera, anyegah ing napsu hawa, sampun angsal tigang satun, sinung derajat waliyullah.<br />
<br />
Sampun putus gene tapi, anyegah ing napsu hawa, anetepi ngibadahe, ngadhepaken maring Allah, kadonnyan sampun tininggal, siyang dalu rukung sujud, ngabekti maring Pangeran.<br />
<br />
Ana dene Raden Ibrahim, puterane ing Kanjeng Sunan, Ngampel Denta dhukuhane, punika apala kerami, Dewi Irah garwa nira, Ki Jakandar kang sesunu, lama-lama apeputera.<br />
<br />
Puterane Raden Ibrahim, pawetersi amung satunggal, Ni Dewi Rahil namane, Ibrahim nulya pinernah, ngimani Lasem lan Tubin, oning Bonang /77/ adhedhukuh, tumulya ambentur tapa.<br />
<br />
Raden Ibrahim mertapi, ardi Gadhing gennya tapa, kelangkung mati ragane, tanpa sare tanpa dhahar, anyegah ing napsu hawa, nyinggahi haram lan mekeruh, fardlu sunah tan tiningal.<br />
<br />
Sampun angsal tingang sasi, tinarima ing Pangeran, Raden Ibrahim tapane, sinung derajat waliyullah, nama Kanjeng Sunan Bonang, akeh wadiya ingkang anut, ngabekti maring Pangeran.<br />
<br />
Wanten malih putera neki, Kanjeng Sunan Ngampel Denta, Raden Kasim namane, selagi dereng dewasa, ana dene putera nira, saking ampayan kang ibu, isteri kalih dereng kerama.<br />
<br />
Wanten malih kang winarni, puterane Raja Pandhita, Ki Ngusman Haji namane, punika sampun akerama, Dewi /78/ Sari garwanira, puterane Raden Tumenggung, ing negara Wilatikta.<br />
<br />
Datan lama Ngusman Haji, pan dinunung dadi iman, ing Jipang lan Ponolane, oning Ngudung adhedhekah, tumulya ambentur tapa, amesu ing raganira, mertapa ardi Jambanagan.<br />
<br />
Ora dhahar kala hari, anyegah ing napsu hawa, ora sare ing wengine, ngibadah maring Pangeran, fardlu sunah tan tininngal, suminggah ing haram mekeruh, tumajuh maring Pangeran.<br />
<br />
Sampun angsal tigang sasi, lah punjul sedasa dina, Ki Ngusman Haji tapane, tinarima ing Pangeran, sinung derajat waliyullah, nama Kanjeng Sunan Ngudung, lama-lama apeputera.<br />
<br />
Amung kalih putera /79/ neki, putera kang sepah punika, Dewi Sujinah namane, kang weragil ya pirya, Amir Haji namanira, dene Nyahi Tandha ika, puterane Raja Pandhita.<br />
<br />
Punika sampun akerami, nenggih kang ngambil garwa, Halifah Husen namane, dinunung imam Medura, dhedhukuh ing Kertayasa, lama-lama asesunu, pan jalu amung satunggal.<br />
<br />
Halifah Mungra kang nami, Halifah Husin tumulya, ambentur laku karsane, ardi Yadhi gennya tapa, tanpa sare tanpa dhahar, sampun angsal tigang santun tinarima ing Pangeran.<br />
<br />
Sinung derajat dadi wali, nama Sunan Kertayasa, wus akeh ika rewange, kang manjing agama islam, wonten malih cinarita, puterane Raden Tumenggung, ing negara Wilatikta /80/.<br />
<br />
Ingkang nama Raden Sahid, punika sampun akerama, Ni Dewi Sarah garwane, puterane Molana Ishaq, apan tunggal ibu rama, kelawan Kanjeng Sinuwun, ing gunung Jatipura.<br />
<br />
Raden Sahid asesiwi, tiga sami jalu nira, kang sepah Raden Sangid namane, pawesteri ingkang penengah, Dewi Rukiyah kang nama, isteri malih rakilipun, Dewi Rufingah namanya.<br />
<br />
Raden Sahid kinon ngimani, ing Dermayu lan Manukan, ing Kalijaga pernahe, sampun nira lama-lama Raden Sahid temanira, tumulya ambentur laku, inmg Pulupeh gennya tapa.<br />
<br />
Sampun angsal tigang sasi, lan punjul sedasa dina, tinarima ing Gustine, sinung derajat waliyullah, nama Sunan Kalijaga /81/, akeh wadiya ingkang anut, ngabekti maring Pangeran.<br />
<br />
Wus putus gennya mertapi, Kanjeng Sunan Kalijaga, nanging tapa oneng wismane, rahina tan mawi dhahar, wengine tan mawi nedera, kadonyan pan sampun mungkur ngadhepaken ing akerat.<br />
<br />
Kocapa Den Ngabdul Jalil, lawan Amir Hasan ika, Den Amir Haji rewange, Den Sangid lan Amir Hamzah, punika sami nyuwita, dumateng Kanjeng Sinuwun, padhukuhan Ngampel Denta.<br />
<br />
Pan bocah gangsal punika, oning dhukuh Ngampel Denta, raden Kasim pembateke, pan sinahu ngaji Qur’an, Kanjeng Sunan ingkang mulang, sedaya pan sampun putus, tumulya winulang kitab.<br />
<br />
Wonten malih kang winarni, kanggo /82/ neng Tnadhes negara, Rahaden Paku namane, Nyi Patih kang gadhah putera, wus umur limalas warsa, maca Qur’an sampun putus, tumulya sinahu kitab.<br />
<br />
Raden Paku mireng warti, ing negara Surabaya, Ngampel Denta dhukuhane, wanten pandhita ngulama, amulang ngelmu sarengat thareqat haqeqatipun, nama sunan waliyullah.<br />
<br />
Raden Paku matur aris, dumateng ing ibu nira, mengkana atur wiyose, ibu kawula mireng warta, ing negara Surabaya, wonten ngulama pinujul, nama sunan wliyullah.<br />
<br />
Kang ngendika aris, adhuh anak ingsun nyawa, pan ora salah wartane, iya ika waliyullah, ingkang nama Raden Rahmat, jejuluk Jeng Sunan Maqdum, dhedhukuh ing Nganpel Denta.<br />
<br />
Raden Paku atur neki, dumateng ing ibu nira, kawula kesh ing mangke, gadhahi karsa nyuwita, dateng Sunan Ngampel Delta, ananging kawula suwun, ibu ingkang maserahena.<br />
<br />
Kang ibu amuwus aris, adhuh anak ingsun nyawa, apa sang karsamu bahe, pan ingsun tan mawi mulang, Raden Paku nulya mangkat, kang ibu nulya tut pungkur, tan kawarna oning marga.<br />
<br />
Dumugi ing Ngampel Gadhing, pinanggih ing Kanjeng Sunan, Nyi Patih alon ature, apan sarwi awot sekar, gusti sedateng kawula, sumeja sohan pukulun, sumerta maserahana.<br />
<br />
Maserahana kawula gusti, dateng ing anak kawula, mila nyuwita /84/ karsane, sumeja sinahu kitab, ginawe perabot ngibadah, Kanjeng Sunan nulya muwus dateng Nyai Patih ika.<br />
<br />
Eh Nyai Gedhe Pinatih, ana ngendi anakira, Nyi Patih enggal ature, wedene anak kawula, ing mangke wanten ing jab, ngakub ngadhepi kanjeng serut, mugi tuwan timbalana.<br />
<br />
Raden Paku den timbali, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, tumulya enggal datengi, mara seba sarta nyembah, Jeng Sunan kendel sekala, kengetan tamu kang rawuh, kang nama Mulana Ishaq.<br />
<br />
Kanjeng Sunan Ngampel Gadhing, ngendika dateng Nyi Patinya, mangkene pangendikane, eh Nyahi apa nyata, bocah iki anakira, apa anak olih mupu, Nyi Patih matur pertela.<br />
<br />
Ing /85/ purwane putera neki, tinurut sedayanira, Jeng Sunan mireng ature, Nyi Gedhe Pinatih ika, Jeng Sunan eling santayan, warta saking Toyaarum, ana sayid saking Ngarab.<br />
<br />
Molana Ishaq kang nami, punika apala kerama, nenggih kang dadi garwane, puterane seri nara nata, ing negara Belabangan, kang garwa wawarat sampun sepuh, punika tinilar kesah.<br />
<br />
Wus jangkep ing sasi neki, wawarat tan bebayi babar, jalu tur bagus warnane, tumulya sinebut enggal, kaliyan seri nara nata, winadhahan pethi sampun, binucal dhateng segara.<br />
<br />
Sunan Ngampel muwus aris, ing Nyi Gedhe Patih ingsun ika, eh Nyi Patih ingsun kiye, yen mangkono aturira /86/, iya melu ngaku anak, ing anakira si Paku, Nyi Patih nulya wot sekar.<br />
<br />
Nyi Patih umatur aris, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, mengkono atur wiyose, dhuh gusti sumangga karsa, kawula dermi kemawon, angadhah anak si Paku, nanging tuwan kang peryuga.<br />
<br />
Amupu ing anak mami, miwah mulang tata kerama, sumerta mulang ngelmune, syarengat Nabi Muhammad, tareqat lawan haqeqat, punika jengandika wuruk, kawula paserah ing tuwan.<br />
<br />
Den Paku winulang ngaji, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, wus putus ngelmu sedayane, syarengat lawan thareqat, sumerta ngelmu haqeat, tumulya winulang suluk, ing wirid napsu badaniyah.<br />
<br />
Pan genti ingkang winarni, kocapa kang /87/ ana Palembang, Rahaden Patah namane, puteranipun Berawijaya, nata perabu Majalengka, punika gadhah sedulur, pan tunggal ibu kewala.<br />
<br />
Raden Husen ingkang nami, samana sami rembagan, Raden Patah lan rayine, sumeja kesah nyuwita, dumateng ing Ngampel Denta, putera kalih sampun rembug, tumulya enggal pamitan.<br />
<br />
Pamit mering bupati, ing tanah Palembang negara, Ki Arya Damar nemane, pamit sampun rindhanan, putera kalih nulya mangkat, datan kawarna ing enu, wus dateng ing enu, wus dateng ing Surabaya.<br />
<br />
Jujuk dhukuh Ngampel Gadhing, wus panggih ing Kanjeng Sunan, Raden Patah lan rayine, mara seba nulya nyembah, sumerta nyukemi pada, Kanjeng Sunan nulya muwus, adhuh nyawa ingsun tetanya, Raden Patah lan rayine, mara seba nulya nyembah.<br />
<br />
/88/ Pinangkannya saking ngendi, lawan sinten westanira, Den Patah alon ature, dhuh gusti westa kawula, sinembah ing Raden Patah, rayi kawula punika, Raden Husen westanira.<br />
<br />
Ing Palembang wisma mami, pernah puterane sang nata, Majalengka negarane, ingkang nama Berawijaya, wodene rayi kawula, punika tunggal ibu, kang rama perabu Palembang.<br />
<br />
Sedhateng kawula punika, sarta sedherek kawula, mila nyuwita yektose, dumateng ing Kanjeng Sunan, sumerta seja kawula, angulati ngelmunipun, ngibadah maring Pangeran.<br />
<br />
Tumulya winalang ngaji, Raden Patah ing Jeng Sunan, apan gangsar pengajine, wus putus amaca Qur’an, tumulya winulang kitab, dene Raden Husen /89/ ika, apan dhedhel penhajine.<br />
<br />
Raden Patah sampun ngarti, sedaya ngelmu syarengat, apa dene tareqathe, sumerta ngelmu haqeqat, ngibadah tan mawi pegat, sunate miwah kang fardlu, haram amkeruh dipun tinggal.<br />
<br />
Sapin nira lami-lami, Den Husen micareng nala, keperiye saking karepe, pun kakang Rahaden Patah, teka jungkung maca kitab, kaya dudu terahing perabu, ora mikir panjenengan.<br />
<br />
Raden Husen matur angelis, dumateng ing raka nira, adhuh kakang kaya periye, nyuwita ing Kanjeng Sunan, oning dhukuh Ngampel Denta, angulati ngelmunipun, ngibadah pan sampun cekap.<br />
<br />
Nanging saking karsa mami, sumangga kakang nyuwita, dumateng /90/ Majalangune, ing sang perabu Berawijaya, angulati kertiyasa, menawa pinanggih besuk, bisa mengku panjenengan.<br />
<br />
Raden Patah muwus aris, dumateng ing rayi nira, dhuh yayi lungaha dhewe, nyuwita dateng sang nata, perabu agung Majalengka, nanging ingsun nora melu, meksih momong ing salira.<br />
<br />
Raden Husen matur nuli, dumateng kang raka, mangkana atur wiyose, dhuh kakang sediya kawula, nyuwita ing Majalengka, punika pan boten wurung, nanging panuwun kawula.<br />
<br />
Mugi kakang angideni, ing sedaya kawula punika, angsale saking berkate, ing Jeng Sunan Ngampel Denta, Raden Husen pamit enggal, dumateng Kanjeng Sinuwun, kanthi /91/ pamit ingkang raka.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-44447563424100441852011-09-17T19:19:00.000-07:002011-09-17T19:19:09.745-07:00PUPUH 04<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Pangkur</b><br />
<br />
Molana Ishaq umpetan, oneng wana, ing panggonan ingkang sepi, tan ana jalma kang weruh, Molana nulya nenedha, mering Allah Pangeran kang /63/ maha agung, tinarima panedhannya, Belabangan akeh gegering.<br />
<br />
Isuk lara sore pejah, sore lara esuk pan samiya mati8, langkung sungkawa sang perabu, wadiya nira kathah pejah, tinulakan gegering pan saya aseru, sang nata ing Belabangan, tanpa dhahar tanpa guling.<br />
<br />
Delenge seri nara nata, daya iki anak ingsun nini puteri, wawarattane kang kinadhut, akariya ing gara-gara, lamun babar sun buwang segara besuk, risampunne lama-lama, wawaratan bebayi lahir.<br />
<br />
Miyos jalu putra nira, cahyanira lir kadi emas singling, sang jabang bayi sinambut, nulya binuwang semudera, winadhahhan pethi tumulya linarung, inguncelaken ing toya, pan deres ilining werih.<br />
<br />
Ning segara lembak-lembak, angin /64/ rebut rineksa dening Yang Widi, wanten malih kang rinuwus, nenggih wonten perahu dagang, nganti toya dangu denira alabuh, ningali pethi kumambang, setija nulya den ambil.<br />
<br />
Kang pethi nulya binuka, pan wus menga pethi isi jabang bayi, jalu werna nira bagus, anenggih namgkuda nira, pedangange Nyai Gedhe Patih ika, semana kinon adagang mering negara ing Bali.<br />
<br />
Selamine gennya dagang, Ki Nangkuda mering negara ing Bali, datan manggih ing pakewuh, sumerta tan mawi tuna, nulya karsa nangkuda layaran, dumateng Tandhes negara, pan ico sinilir angin.<br />
<br />
Datan kawarna ing marga, lampahira sampun dumateng ing Geresik, prahu pan sampun labuh, nangkuda tumulya munggah, mering dharat /65/ bebayi den bekta sampun, tumulya den aturane, ing Nyahi Gedhe Pinatih.<br />
<br />
Nyi Gedhe Patih tetannya, ing nangkuda anake sapa puniki, nangkuda enggal umatur, punika angsal kawula, neng segara amanggih katut ing arus, pelabuhan Belabangan, tumibul wadhahe pethi.<br />
<br />
Pan kelangkung bungahira, ing manahe Nyai Gedhe Pinatih, dene datan derbe sunu, ing mangke amanggih anak, pan tumulya ing ngaranan Raden Paku, Nyi Gedhe langkung gumatiya, dumateng puterane singgih.<br />
<br />
Ingkang putera sinusuwinan, datan purun anging ngmuk deriji, punika ingkang sinusu, malah kantos pitung dina, putera nira sinusunan datan purun, tumulya den alapena, ing toya susune kambing.<br />
<br />
/66/ Genti ingkang cinarita, malih cukap Molana Ishaq sanggih, mantuk mering Pasyeh sampun, pinanggih anak lan kadang, nanging garwa punika pan wus lampus, kantung puterane kalih pisan, adhuh anak ingsun iki.<br />
<br />
Adhuh anak ingsun nyawa, apan sira ya ingsun wertane, ing tanah Jawa puniku, ana sanak kadangira, pan punika Raden Rahmat namanipun, ing negara Surabaya, padhukuhan Ngampel Gadhing.<br />
<br />
Ngadek Sunan Waliyullahi, Raden Rahmat punika ingkang miwiti, islaming Jawa sedarum, amulang ngelmu sarengat, lan thareqat sumerta haqeqatipun, marentah ing wali ibdal, ing negara tanah Jawi.<br />
<br />
Sampun angsal pitung /67/ dina, oneng wisma Molana nulya lalis, kathah wali ingkang rawuh, kutub kelawan ibdal, para ulama lan mu’min thasawuf, sedaya anyolatena, mering Molana Ishaq singgih.<br />
<br />
Sawuse den saletena, pan binekta dumateng ing taman sari, para wali ngiring sedarum, gumuruh maca selawat, miwah anamaca tasbih lawan hamdu, ana ingkang maca Qur’an, ana ingkang muji tahlil.<br />
<br />
Sampune sinarekena, Seh Molana ing taman Paseh negari, para wali samiya mantuk, dateng wismane dhewek, katun putera kekalih rembagan panika, lumapah anupal keli.<br />
<br />
Sampun kesah saking taman, lalare kalih lampahe anupal keli, mudhun jurang munggah gunung, dugi /68/ tanah parsisiran, pan punika tanah Ngadan namanipun, nulya munggah palwa ika, alayar dumateng Keling.<br />
<br />
Putera kalih nulya nupang, oneng palwa nangkuda sampun ngeripani, bukar jakar layar sampun, dumugi lahut seketera, apan eco baita ing lampahipun, layaran sawelas dina, dumugi Keling negari.<br />
<br />
Wanten ing Keling negara, laminira angsal tigang dasa hari, umulya manggih perahu kang layar dumateng Jawa, nulya numpang putera kalihan punika, pan eca ing lampahira, baita semilir angin.<br />
<br />
Putera kalih nulya numpang, ing daratan laju mering Surawesthi, Ngampel Denta kang jinujuk, datan kawarna ing marga, lampahira ing Ngampel pan sampun rawuh, pinanggih /69/ ing Kanjeng Sunan, uluk salam putera kalih.<br />
<br />
Jeng Sunan ing Ngampel Denta, jawab salam tumulya, enggal nakoni, adhuh kawula atumut, tetannya ing jengandika, pinangkannya lawan sinten namanipun, kang perapta matur pertela, nami kawula Ngabdul Kadir.<br />
<br />
Wadene rayi kawula, gih punika Dewi Sarah ingkang nami, rama kawula puniku, kang nama Molana Ishaq, nggih punika ing Paseh negaranipun, ing mangke sampun perlaya, nalika gesang wewerti.<br />
<br />
Ing negara tanah Jawa, ingkang nama padhukuhan Ngampel Gadhing, ana sanak kadang ingsun, ingkang nama Raden Rahmat, pan punika ngadek sunan wali kutub, merentah ing wali /70/ ifdal, tur mulang ing ngelmu bathin.<br />
<br />
Jeng Sunan Ngampel ngendika, jengandika pan inggih sedulur mami, bapa kawula sedulur, lawan bapa jengandika, Raden Rahmat Ngabdul Qadir dipun rangkul, samiya nangis tiyang kaliyan, katiga lawan kang rayi.<br />
<br />
Genti kang cinarita, pan kocapa Raden Jakandar mertapi, amesu ing raganipun, ning Demung gi gennya mertapa, pan wus lama angsalipun bentur laku, jinujung mering Pangeran, keramat tur dadi wali, jinujung mering Pangeran, keramat dadi wali.<br />
<br />
Jejuluk Sunan Melaya, Ki Jakandar tan putus denya mertapi, sumeja bekti Yang Ngagung, nanging tapa oneng wisma, Ki Jakandar badannya pan sampun /71/ mungkur, ngadhepaken ing akherat, berongta mering Yang Widdhi.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-23752305080958058392011-09-17T19:15:00.000-07:002011-09-17T19:15:59.928-07:00PUPUH 03<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Roning Kamal</b><br />
<br />
Sigegen putra Cempa, Arya Banjaran winarni, ing negara Pejajaran, rayine sang Mundingwangi, Arya Banjaran sesiwi, kang nama Arya Mentahun, Arya Mentahun peputera, nama Arya Randhu Guting, Randhu Guting punika putera tetiga.<br />
<br />
Arya Galuh ingkang sepah, panengah punika singgih, kang nama Arya Tanduran, Arya Bangah kang weragil, Arya Galuh asesiwi, kekalih pan sami jalu, nama Arya Penanggungan, Ranggalawe ingkang rayi, cinarita puterane Ki Penanggungan.<br />
<br />
Tiga sami jalu nira, kang sepah Arya Baribin, kang panengah Arya Teja, dene putera kang weragil, Ki Tarub /47/ wahu kang nami, Arya Baribin sesunu, kalih estri ingkang sepah, Maduratna ingkang nami, werujune jalu kang nama Jakandar.<br />
<br />
Putera neki Arya Teja , punika amung kekalih, esteri putera ingkang sepah, kang nama Ni Conderawati, ana dene ingkang rayi, pan ika putera kang jalu, Raden Syukur namanira, puterane Tarub winarni, sedayane punika amung tetiga.<br />
<br />
Punika esteri sedaya kang sepah nama Nawangsih, kang panengah namanira Raden Ayu Nawangsari, kang weruju nama neki, Raden Ayu Nawangarum, pan genti ingkang kocapa, putera Cempa kang winarni, ingkang wanten ing negara Majalengka.<br />
<br />
Arsa pamit maring sang nata, Berawijaya Majapahit, badehe /48/ mantuk mering wesma, ing tanah Cempa negari, sang perabu datan ngiripani, putera Cempa badhe mantuk, ngendikane Berawijaya, kulup aja sira mulih, ingsun paring penggawehan maring sira.<br />
<br />
Penggawehan kertiyasa, apa kang sira remeni, tumenggung miwah bupatiya, manteri arya lawan patih, lamun sira arep kerami, pilihana sanak ingsun, utawi putera bupatiya, tuwen puteranipun patih, lan malihe ingsun wus ngerungu warta.<br />
<br />
Negara ing Cempa, punika wus den unggahi, kaliyan raja ing Dhustan, wus teluk negara Kucing, Kalikut lan Kalijare, Mulebar lawan Kemagur, pan wus teluk sedaya, mung keri Cempa negari, meksih mare perangan lawan ing Dhustan.<br />
<br />
Semana /49/ putera ing Cempa, punika samiya turuti, ing karsane Berawijaya, nata perabu Majapahit, Raja Pandhita akerami, nenggih ingkang ngambil mantu, Arya Baribin Resbaya, punika pernah negari, garwanira Raden Arya Maduratna.<br />
<br />
Dhedhukuh Raja Pandhita, ing dhusun Sinatut singgih, ana dene Raden Rahmat, punika sampun akerami, kambil mantu manteri Tubin, Arya Teja namanipun, apan dadi garwanira Raden Ayu Conderawati, ngampel Denta Raden Rahmat dhukuhan nira.<br />
<br />
Ana dene Aburerah, punika sampun akerami, kamantu wong Nganpel Denta, Kiyahi Kusen nama neki, punika pan tiyang alit, pakaryanira nenabur, garwane Aburerah, bok Samirah nama neki, /50/ dhedhukuh Burerah dhusun Tangkilan.<br />
<br />
Nandur kapas Aburerah, wus awoh kelangkung dadi, den udhal saben dina, durung ana putus neki, bok Samirah kang gilingi, punika kinarya sumbu, katur ing Pangeran Rahmat, ginawe damring masjid, saben dina kapase den aturena.<br />
<br />
Pangeran ing Ngampel Denta, Jeng Pangeran anamani, dateng Aburerah ika, Ki Ageng Kapasan singgih, wanten malih wong sawiji, patinggi ing Malangu, kirid lampah Jeng Pangeran, Wirajaya nama neki, pinaringan pendamelan tukang tosan.<br />
<br />
Raja Pandhita peputra, tetiga sedaya neki, kekalih pan sami pirya, satunggal ika kang esteri, ingkang sepah putera neki, Haji Ngusman /51/ namanipun, puterane ingkang panengah, nama Raden Ngusman Haji, kang weragil Nyahi Ayu Gedhe Tandha.<br />
<br />
Raden Rahmat apeputera, pan gangsal sedaya neki, pawesteri ingkang tetiga, kang jalu punika kalih, punika akeran ing ngilmi, ana dene ingkang sepuh, kang nama Siti Saripah, Muthmainah Sumendhi, Siti Haspah puniki gih rayinira.<br />
<br />
Ana dene putranira kang jalu nama Ibrahimm, kang weruju nama nira, punika Rahaden Kosim, putera kang gangsal puniki, saking Tubin ibunipun, garwa malih Raden Rahmat, puteranipun Ki Bang Kuning, Mas Karimah punika ing nama nira.<br />
<br />
Tumulya anggadhah putera, kekalih pan sami esteri, ana dene ingkang sepuh, Mas /52/ Murtasiyah kang nami, dene putera kang weragil, Murtasimah namanipun, karsanipun Raden Rahmat, putera kalih kinon ngaji, oneng Ngampel sinahu kitab lan Qur’an.<br />
<br />
Puterane Ki Tarub kocap, sedya sampun akerami, Nawangsih putera sepah, Lembu Peteng garwa neki, ibune Nyi Wadhan Kuning, Berawijaya ramanipun, jinunjung derajatira, Lembu Peteng duk ingoni, nama Tarub anggentosi maratuwa.<br />
<br />
Sawusira lama-lama, Lembu Peteng asesiwi, punika amung satunggal, putera jalu tur apekik, Getas Pendhawa kang nami, wanten malih puteranipun, Ki Tarub ingkang penengah, nama Dewi Nawangsari, gih punika garwane Raden Jakandar.<br />
<br />
Dhedhukuh oneng Melaya, Bangkalan pernah /53/ negari, lama-lama apeputera, kekalih pan sami esteri, Dewi Isah ingkang nami, punika putera kang sepuh, ingkang anom pugera nira, Dewi Irah ingkang nami wanten malih puterane Tarub wekasan.<br />
<br />
Nawangarum ingkang nama, Raden Sukur garwa neki, lama-lama apaputera, kekalih kang sepuh esteri, ingkang nama Dewi Sari, ana dene kang weruju, Raden Syahid nama nira, Raden Syukur duk ingoni, kang pilenggah tumenggung ing Wilatikta.<br />
<br />
Genti ingkang cinarita, kocapa kang dadi aji, ing negara Pejajaran, puterane sang Mundhingwangi, Ciyung Menara kan nami, nanging selir ibunipun, Ciyung Menara peputera, jalu warnanira pekik, ingkang nama Rahaden Babang Wecana.<br />
<br />
Babang Wecana peputera, Babang Pamengger / 54/ kang nami, boten purun keperintah, dateng perabu Majapahit, tumulya kesah anepi, dhedhukuh wnaten Semeru, lama-lama apeputera, Menak Pergola kang nami, Ki Pergola punika nenggih peputera.<br />
<br />
Menak Sembayu namanya, punika jumeneng aji, ing negara Belabangan, wanten malih kang winarni Molana Ishaq kang nami, ing Paseh negaranipun, Molana sampun peputera, kekalih jalu lan esteri, ingkang sepuh punika putera kang pirya.<br />
<br />
Ana dene namanira Raden Bagus Ngabdul Qadir, dene esterine punika, Dewi Sarah ingkang nami, putera kalih maksih alit, tan kena pisah lan ibu, Molana nulya kesah, lelana dumateng Jawi, nopal keli lampahe Molana Ishaq.<br />
<br />
Wus munggah Molana Ishaq, bahita /55/ layang mering Jawi, bahita kapal namanya, nangkudane wong ing Gresik, Molana Ishaq datengi, dumateng nangkudanipun, wiyose badhe anupang, nangkuda sampun ngeridhani, nulya menggah Molana Ishaq neng kapal.<br />
<br />
Sampun bukar jangkarira, pan eco sinilir angin, tan kawarna lampahira, Molana oneng jeladeri, sampun dateng tanah Jawi, ing Geresik negaranipun, Molana munggah ing dharat, lajeng maring Surowesthi, lajeng jujuk padhukuhan Ngampel Denta.<br />
<br />
Pangeran ing Ngampel Denta, Raden Rahmat nama neki, selagi asholat ngasar, oneng jero masjid neki, dene ingkang ma’mun sami, punika tiyang tetelu, sawiji Ki Wirajaya, Aburerah kapeng kalih, Ki Bang /56/ Kuning punika kang kaping tiga.<br />
<br />
Molana Ishaq ning jaba, wong sholat dipun enteni, wus mari dennya sholat, Molana Ishaq dhingin, uluk slam oneng jawi, Raden Rahmat nulya metu, sarwi ajawab salam, wus tutur tinugur sami, leluhure wong loro bareng karuna.<br />
<br />
Ojare Molana Ishaq adhuh gusti anak mami, babap ira rayiningwang, neng Cempa nama Ibrahim, Raden Rahmat matur nuli, dumateng tamu kang rawuh, ing tanah Jawa punika, gusti meksi agama kapir, mung kawula miwiti eslaming Jawa.<br />
<br />
Mplana Ishaq ngendika, dateng Raden Rahmat singgih, dhuh gusti anak kawula, pan sira ingsun namani, Sunan Mangdum ingkang nami, jenenge / 57/ Sunan puniku, kang sinembah maring wadiya, Mangdum ingkang adhingin, islamipun pan negara tanah Jawa.<br />
<br />
Raden Rahmat nama Sunan, Molana Ishaq ngesterini, sawusira lama-lama, wong Ngampel sami agami, miwah wong kampung Panilih, punika agama sampun, wus rata wong Surabaya, Islamipun wadiya alit, riseksana Molana Ishaq panutan.<br />
<br />
Ing Sunan Mangdum punika tumulya angelaya bumi, ngedul ngetan paranira, mudhun jurang munggah ngardi, dugi tanah Banyuwangi, Molana munggah ing gunung, Selangu wahu namannya, mertapa sarwi ngabekti, shalat fardlu sunate datan tininggal.<br />
<br />
Ora dhahar kala rina, ora sare kala wengi, tan wanten kaciting manah, mung Gusti kang Maha Luwih, mugi /58/ paring iman suji, tewekal kelawan sukur, ngabekti maring Pangeran, adoha penggawe sirik, lan malihe tetepa iman kawula.<br />
<br />
Kocapa nata belabangan, Menak Sembayu kang nami, punika anggadhah putera, pam esteri ayu linuwih, Sekardadu nama neki, punika pan sakit aseru, sekeh dhukun lunga teka, usaha datan marasi, duk semana sang nata lagiya sineba.<br />
<br />
Sekehe manteri lan rangga, bupati kelawan patih, sang nata nulya ngendika, dumateng para bupati, lah ta seksennana sami, maring soyaberaningsun, sapa bisa marasana, maring anak ingsun puteri, pan punika dadiya jatukeramannya.<br />
<br />
Sun paling ing Balabangan, ngadek perabu anu /59/ bejing, patih Belabangan anyembah, matur dumateng sang aji, pan wanten Ajar sawiji, pujuke ardi Selangu, datan sami ajar kathah, sepalah tingahe luwih, agamane pan beda lan Ajar bathah.<br />
<br />
Lingsir kulon surup surya, babang wetan angabekti, ngadeg sedhakep amuja, nyepeng cengku ngabung siti, ngulon bener adhep neki, karya jobah ngake kethu, mugi dipun-timbalana, menawi waged jampeni, angendika sang nata maring Ki Patihnya.<br />
<br />
Patih sira timbalana, ajar ingkang ana wukir, Ki Patih nulya utusan, animbali ajar agelis, duta sampun datengi, luhure ardi Selangu, ajar sampun ingaturan, lumampah duta kang ngiring, datan dangu lampahe Ajar /50/ wus perapta.<br />
<br />
Ing jerone dalem pura, katur mering seri bupati, sang nata nulya ngendika, dumateng Ajar kang perapti, eh Ajar sun pureh nambani anak ingsun Raden Ayu, pawesteri amung satunggal, ika sakit sampun lami, bok menawa sakite ika yen sirna.<br />
<br />
Lamun waras anak ingwang, wus dadi ing ngujar mami, sapa-sapa marasena, pan ika kinarya laki, mering anak ingsun puteri, lan malih negaraningsun, Belabangan ingsun pejah, kinarya gajaran neki, sun paringi nama perabu anom ika.<br />
<br />
Seksana Molana Ishaq, puteri nulya den tambani, usaha sampun tumiba, nulya siran sakit neki, wulya kadi wingi uni, /61/ puteri Ayu Sekardadu, sang nata kelangkung suka, ningali mering sang puteri, tinambanan warase sekala dadang.<br />
<br />
Sang puteri nuli den kerama, dumateng Molana singgih, ing negara Belabangan, punika enggal pinelih, Molana Ishaq mengkoni, ngadek perabu, anom sampun, kang anut Molana Ishaq, pinerdi agama suci, sampun kathah kang manjing agama islam.<br />
<br />
Risampune lama-lama, Molana Ishaq matur aji, adhuh gusti rama nata, mugi gusti amereni, anyembah kelawan muji, ing berahala dewa ratu, peryugi paduka nyembah, ing Allah kang maha suci, gih punika kang damel pejah lan gesang.<br />
<br />
Sang nata tumulya /62/ duka, talingan kadiya sinebit, wedana kadiya sinepang, kang netera melerok andik, kerut-kerut ponang lathi, pedhange nulya den unus, sang nata nulya ngendika, pedhange sarwi den-isis, pesthi mati katiban astaningwang.<br />
<br />
Ningali Molana Ishaq, mering sang nata rama aji, punika angunus pedhang, karsane badhe menjahi, Molana melayu gendering, nusup alas munggah gunung, garwane tinilar wawarat, sampun wonetn pitung sasi, berebes mili sang puteri, oneng pungkuran.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-54602622403969474612011-09-17T19:11:00.000-07:002011-09-17T19:11:08.537-07:00Pupuh 02<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Peksi nala</b><br />
<br />
Kawarnahan puterane sang ngaji, Berawijaya nata Majalengka, kang saking Cempa ibune, tetiga sedayanipun, ingkang sepah putera nawestri, Puteri Adi namanira, dadine garwanipun, Ki Dipati Adiyaningrat, kang penengah Lembu Peteng nama neki, jumeneng oning Madura.<br />
<br />
Raden Gugur putera kang weragil, datan arsa mengku kartiyasa, meksih ambetur tapane, waten malih puteranipun, Berawijaya Majapahit, ibu /20/ raksesi denawa, jalu puteranipun, ingkang nama Raden Damar pinayungan tanah Palembang negari, jejuluk Ki Arya Damar.<br />
<br />
Wanten malih puterane sang aji, ibu saking Panaraga, kekalih jalu puterane, Benthara Katong kang sepuh, pan jumeneng ing Panaragi, ana dene rayinira Dipati Lunu, wanten malih puteranira, ibu ingkang saking Pekgelen negari, jalu amung setunggal.<br />
<br />
Ingkang nama Ki Jaran Panolih, ingkang ngerih Sumeneb lan Sampang, ing Balega keratone, nulya gadhahe sang perabu, Berawijaya ing Majapahit, garwa puteri saking Cina langkung anyunipun, Berawijaya Majalengka, langkung teresna, dateng puteri saking Cina singgih, temahan dipun senggama.<br />
<br />
Sampun lama perabu Majapahit, /21/ gennya ngage puteri saking Cina, ngatos sepuh wangwarattane, karsanira sang perabu, Berawijaya ing Majapahit, puteri saking Cina, wangwarattane wus sepuh, punika den wedalena ing sang nata, Arya Damar kang den titipi, sineleh ing tanah Palembang.<br />
<br />
Berawijaya nata Majapahit, angendika datang ingkang putera Arya Damar namane, mangkene ngendikanipun, Arya damar ingsun atitip, dumateng peken nira, puteri wangwarat sepuh, puteri adi saking Cina, poma-poma aja sira senggamani, yen durung babar puteranya.<br />
<br />
Arya Damar matur awot sari, gusti kawula sumangga ing karsa, kawula derma kemawon, anglampahi pakonipun, rama perabu ing Majapahit, tumulya den paringena, puteri Cina ika, dumateng Ki Arya Damar, wus /22/ ketampan, Arya Damar enggal pamit, ing sang perabu Berawijaya.<br />
<br />
Sampun mangkat Arya Damar singgih, tan kawarna lampahe neng marga, dugi tanah Palembang, melebet ing dalem sampun, sarta gawa parameswari, kagungane sang nata perabu Majalangu, puteri adi saking Cina, den titipna maring Ki Arya Damar singgih, puteri wangwarat sampun sepah.<br />
<br />
Sampun jangkep ing sawelas sasi, wangwarat tane, babar putera nira, jalu tur bagus rupane, cahyane lir mas sinepuh, Arya Damar ingkang mastani, bebayi kang sampun bakar, Raden Patah ika, sawusira lama-lama Arya damar gadhah, kersa ing sang puteri, wekasan dipun senggama.<br />
<br />
Sampun lama genira ngeresmine, Arya Damar maring /23/ puteri Cina, kantos wangwarat teri sasine, wus jangkep ing sangang satun, angsale pun wangwarat sang puteri, babar jalu putera nira, rupane tur bagus, bayi sampun ingngaranan, Raden Husen Arya damar sesiwi, tunggal ibu lawan Patah.<br />
<br />
Kuneng wau carita sang puteri, ingkang wonten negara Palembang, saking Cina pinangkane, kocap malih sang perabu, Berawijaya ing Majapahit, kelangkung susah manahnya, dene sakit lumpuh, ujare resi bujangga, Berawijaya yen tanno ngangge Wadhan Kuning, sakite tan bisa wulya.<br />
<br />
Berawijaya ngangge Wadhan Kuning, mituruti ujara bujangga, manwa dadi warase, sakite ing /24/ sukunipun, Wadhang Kuning dipun resmine, lawan perabu Brawijaya, angsal tigang dalu, nuli suda sakitira, Berawijaya ngangge puteri Wadhan Kuning, wusana ilang sakitnya.<br />
<br />
Sampun wulya pan kadi wingi uni, Berawijaya malah saya kuwat, selari ngangge Wadhan Kuning, tinimbalan saben dalu, Wadhan Kuning maring sang aji, tan kuwarna lari nira, nuli wangwarat sepuh, sampun jangkep sasi nira, nulya babar jalu puterane apekik, sang nata kelangkung wirang.<br />
<br />
Ingngaranan puterane ang aji, Raden Bondan Kejawan kang nama, tumulya den wedalake, semerta lan ibunipun, juru sawah kang den titipi, nenggih padhukuhan nira, dhusun Karangjambu, /25/ sawusira lama-lama, Raden Bondan Kejawan ika angelih, Lembu Peteng ingkang nama.<br />
<br />
Lembu Peteng susah manah neki, oneng desa Karangjambu ika, kelangkung dene meparate, tegal sawah karyanipun, datan beda ing wadiya alit, Lembu Peteng kelangkung mirang yen sampun misuhur, Lembu Peteng putera nata Berawijaya, ing mangke dadi wong alit, dadiya kesah amertapa.<br />
<br />
Lembu Peteng nulya bentur tapi, oning ngarga Diyeng namanira, kelangkung mati ragane, tanpa dhahar tanpa turu, ora ana kacipta ing ati, anak putu nira bisaha amengku, ing negara terah Jawa lama-lama, Lembu Pteng angsal wangsit, ujare kinon nyuwita.<br />
<br />
Nulya kesah Lembu Peteng singgih, saking arga panggonanene / 26/ tapa, kalunta-lunta lampahe, mudhun jurang munggah gunung, datan pegat nggennya mertapi, ngulari wadiya utama kang wespada sampun, jajah desa milang kori Lembu Peteng, lumapah rahina wengi, nulya manggih pedhukuhan.<br />
<br />
Padhukuhan ingkang langkung aseri, kang pilenggah ing dhukuh punika, Ki Tarub ika namane, lenggah manteri kami sepuh, pan punika tunari-nari, dateng perabu Berawijaya, oning Majalangu, Lembu Peteng nulya seba oneng ngarsa, Ki Tarub inggih marani, pinarak oneng pandhapa.<br />
<br />
Lembu Peteng nulya awot sari, maserahena ingkang jiwa raga, mila nyuwita karsane, Ki Tarub mesem gumuyu, Lembu Peteng dipun tingali, ketara jahita natera, /27/ winangwang ing semu, bocah iki terahing nata, nulya Ki Tarub sarwi bebisik, kulup ingsun takon ing sira, pinangkanya sira saking ngendi, lawan sapa ingkang dherbeni putera, Lembu Peteng matur age, adhuh gusti awak ingsun, anakipun Mbok Wadhang Kuning, deten wisma kula dhusun Karangjambu Tarub, eling wantehan, Berwijaya angge Mbok Wadhan Kuning, punika anggadhah putera.<br />
<br />
Putera nira Mboke Wadhan Kuning, ika pirya bagus warna nira, tumulya den wedlke, sumerta lan ibunipun juru sawah kan den titipi, permila den wedalna, nenggih marganipun, sang nata kelangkung wirang, Nyai Wadhan Kuning kasenggama lawan sang ngaji, lama-lama apeputera /28/.<br />
<br />
Sedatenge Lembu Peteng singgih, langkung bungah Ki Tarub manahnya, lir manggih iten bomine, nulya ngendika Ki Tarub, dateng Lembu Peteng puniki, kulup aja sira taha, ngeladeni ingsun, niyata kinarya lampah amertapa, menawa pinanggih wingking, bisa mengku kertiyasa.<br />
<br />
Lembu Peteng matur awot sari, gusti kawula sungga ing karsa, kawula lumados mangke, dateng karsane sang wiku, pan kawula boten angideni, ing karsaning Jeng Tuwan, siyang lawan dalu, mila dados kajad kawula, bangkat karya ing karsanipun sang aji, angsala sabab pandonga.<br />
<br />
Seben dina genira ngeladeni, Lembu Peteng maring Ki Tarub ika, tan pegat pertapane, Ki Tarub welas andulu, dateng Lembu Peteng puniki, tan pegat /29/ dennya mertapa, siyang lawan dalu, saperadene nora luta, angeladeni sira mering mami, Ki tarub nulya ngendika.<br />
<br />
Angendika sering ingkang ngabdi, ingkang nama Lembu Peteng ika, mangkene pangandikane, Lembu Peteng sira ika, ingsun pundhut mantu peribadi, pan sira sun panggihena, anak ingsun kang sepuh, Nawangsih ika namannya, Lembu Pteng miturut karsane sang yugi, ujare sumangga ing karsa.<br />
<br />
Pan sinegeg Lembu Peteng singgih, kocap malih perabu Berawijaya, rerasan lawan garwane, ratu ayu ingkang sepuh, puteri saking Cempa negari, awerta dheteng sang nata, yen gadhah sedulur, pawesteri ayu setunggal, ingkang nama Ratu Ayu Caderasasi /30/, cahyane lir wulan purnama.<br />
<br />
Berawijaya oneng Majapahit, amiharsa wartane kang garwa, kelangkung dene gawake, enggal nimbali sang perabu, ing puterane Ki Randhukuning, ingkang nama Arya Bangah, manteri ingkang sepuh, pinercaya ing sang nata, Arya Bangah tan dangu tumulya perapiti, ing ngarsa nira sang nata.<br />
<br />
Arya Bangah jengandika punika, kula duta kesah dateng ing Cempa, amudhut mering puterane, ing rama Cempa perabu, ingkang nama Conderasasi, Arya Bangah pamit enggal dumateng sang perabu, nulya mangkat Arya Bangah lampahira, datan kawarna ing margi, wus dugi negara Cempa.<br />
<br />
Arya Bangah sampun angsal warti, oneng Cempa, sang perabu wus seda, kang ngadek nata /31/ puterane, kang meruju namanipun, Raden Cingkera wahu sang ngaji, ana dene Conderawulan, punika pan sampun, akerama angsal Molana saking Tulen, Ibrahim Asmara kang nmi, amulang agama islam.<br />
<br />
Arya Bangah susah manah neki, wus ngerasa yen tan oleh karya, dinuta maring gustine, saking langkung bangkitipun, Arya Bangah dadi ngawahi, ing wekase Berawijaya, nata Majalangu, wus katur nata ing Cempa, kang dinuta, kinen melebet ing puri, dateng ngarsane sang nata.<br />
<br />
Arya Bangah dateng ngarsane sang ngaji, ing ngendikan paran pinagkanya, Arya Bangah alon ature, apan sarwi awot santun, inggih gusti kawula puniki, dinuta dening sang /32/ nata perabu Majalangu, serta salaminipun pidhah, paramaswerti katur dateng sang ngaji, wiyose kinon angelawad.<br />
<br />
Pan sang nata perabu anom singgih, sedane kanjeng rama tuwan, pan meksih wnggal mirangi, sang nata ing Majalangu, datan wanten ingkang mertanai, ananging midhanget babar, saking Tembi Kalikut, punika kang asung warta, ing sang nata Berawijaya Majapahit, sang perabu Cempa ngendika.<br />
<br />
Permilane ingsun tan mertani, dateng kakang perabu Berawijaya, pan ingsun ngarsa dhewe, yen asor awak ingsun, kakang perabu ing Majapahit, mila ratu binetara, ngereh sami ratu, lamun ingsun akirima ing nuwala, dateng perabu Majapahit, menawi datan /33/ kaduga.<br />
<br />
Sampun rembag guneman sang ngaji, dateng duta saking Majalengka, duta pinaringan age, pangage kang bagus, mateng Cempa nulya akirima, werni kalung lawan gelang, katur sang ayu, peramasweri Majalengka, pan punika pernah rakane sang ngaji, perabu negara Cempa.<br />
<br />
Wus pamita duta Majapahit, maring sang nata ing Cempa punika, tumulya enggal lampahe, datan kawarna ing ngenu, lampahira duta wus perapti, ing negara Majalengka, merek ing sang perabu, matur sarwa awot sekar, Arya Bangah dumateng paduka aji, dhuh gusti kawula dinuta.<br />
<br />
Lampah kawula dinuta sang aji, datan angsal ing pamundhut Tuwan, pan /34/ sampun wonten lakine, puteri Cenderasatun, kambil garwa turun Jeng Nabi, nama Ibrahim Asmara, sampun putera telu, lan malih atur kawula, ing paduka rama aji, pan sampun lalis, dene ingkang gumantiya.<br />
<br />
Rayi Tuwan kang jumeneng aji, ingkang nama Rahaden Cingkara, punika, puniki wanten kintune, werni gelang lawan kalung, kinon ngaturaken paramesweri, raty ayu ingkang sepah, nama Murtiningngerum, sang nata nuli ngendika, dateng duta, ika aturena peribadi, aja ana wewerta.<br />
<br />
Yen kang rama punika wus lalis, poma-poma aja sira wewerta, menawa dadi susahe, Derawati Murtiningngerum, mireng warta ramane wus lalis, lah kebat /35/ sira aturna, dumateng sang ratu, kiriman kang saking Cempa, duta mangkat melebet ing dalem puri, ngaturaken pakiriman.<br />
<br />
Sampun katur pakiriman neki, warni gelang lawan kalung ika, sang puteri nampani age, Darawati Murtiningngerum, nulya niba sarwi anjerit, kaget sekehe pawongan, ningali Sang Arum, kang nangis jeroning pura, pan gumerah, kadiya ombaking jaladeri, sang nata tumulya duka.<br />
<br />
Arya Bangah ningali puteri, langkung susah sajeroning manah, bakal kadukan gustine, sang nata tumulya melebu, sajerone ing dalem puri, Arya Bangah den acam-acam, bayai ika matur, yen kang rama sampun seda, Berawijaya runtika sejro /36/ ning ati, aningali Ki Arya Bangah.<br />
<br />
Angendika nata Majapahit, maring klang garwa, paran pakenira apa kang dadi susahe, anank ingsun sarwi gegulung, anglasar ana ing siti, nulya matur paramaswari, dumateng sang perabu, milane kawula karona rama nata, ing Cempa pan sampun lalis, Berawijaya alon ngendika.<br />
<br />
Ika sapa kang mituturi mering sira, rama aji seda, dene tan ana surate, ingkang teka maring ingsun, nuli mitutruni Darwati, boten wnten kang wewerta, nanging janjinipun, rama nata lamun seda gelang kalung, den kirimaken ing mami, punika pertanda nira.<br />
<br />
Kuneng wau nata Majapahit, kang kocapa putera kang oneng Cempa, Raja / 37/ Pandhita namane, Raden Rahmat rayinipun, arsa pamit ing rama neki, tan tuwi mering kang uwa, Dewi Murtiningngerum, garwanipun Berawijaya Majalengka, wus kari pan dennya apamit, binektanan punakawan.<br />
<br />
Punakawan Aburerah kang nami, anut lampah ngulati tunutan, tan pegat pangabektine, ing siyang kelawan dalu, angabekti maring Yang Widi, kaluta-luta lampahnya, datang manggih perabu, ingkang layar maring Jawa, nulya kesah dumateng Kucing negari, ngulati kang tunutan.<br />
<br />
Tan kawarna lampahe neng margi, pan tumeka ing Kucing negara, amanggih tunutan mangke, palwa keci namanipun, perahune juragan Geresik, wus munggah tiyang tetiga, bubar /38/ jangkar sampun, bahita sampun menengah lelayarane sampun angsal pitung wengi, katempuh angin pelahara.<br />
<br />
Bahitane darung lampah neki, wus tumeka mahara Kamboja, mahara agung karange, bahita ketemper sampun, aneng karang Kamboja singgih, lunas ing bahita, rusak layare, rinapas raja Kamboja, ingkang ana sejerone palwa keci, palwane nulya binakar.<br />
<br />
Putera Cempa kang rinampas singgih, ingkang nama Pangeran Pandhita, rembagan lawan rayine, miwah punakawanipun, bahitane pan sampun eting, binakar raja Kamboja, bocah ingkang telu, wus rembag tiyang tetiga, nulya aken ing wong Kamboja negara, punika ingkang dinuta.<br />
<br />
/39/ inuturan duta tingkah neki, oneng palwa duta pamit inggal, tumulya laju lampahe, datan kawarna ing enu, sampun perapta ing Majapahit, wus katur dateng sang nata perabu Majalangu, sang nata nuli ngandika duta, pinangkannya saking ngendi, lan sapa ingkang wewerta.<br />
<br />
Duta matur sarwine awot sari, gusti kawula pan tiyang Kamboja, ngaturi wiyose puteri ayu Conderasatun, pan ing Cempa ingkang negari, punika anggadhah putera kekalih jalu, katiga lan punakawan, arsa sohan dumateng paduka aji, punika anitih palwa.<br />
<br />
Palwa pecah ana ing jeladri, pan kateper karang ing Kamboja, dipun rampas sedayane, kang wonten sejeroning perahu, datan wonten ingkang kari, karsane raja Kamboja, palwane tinu-tinu, ing mangke putera ing Cempa langkung susah, oneng Kamboja negari, dadi ngabdine sang nata.<br />
<br />
Seri Nelemdra natang Majapahit, apan mireng ature ponang duta, kelangkung dene welas, miwah para maswarinipun, sekelangkung dennya ngerdaten, dene sampun mireng warta, saking duta wot satun, tumulya seri nara nata, Berawijaya animbali dateng manteri, ingkang aran Arya Bangah.<br />
<br />
Tan adangu Arya Bangah perapti, ing ngarsane perabu Berawijaya, nulya dinawuhan age, Arya bangah ingsun angerungu, putera Cempa anunggang keci, puterane Ni Conderawulan, kalih sami jalu, tetiga lan punakawan, palwanira /41/ ketawang karang jeladeri, ana ing marga Kamboja.<br />
<br />
Keci rusak nulya den rampasi, ing sang nata maharaja Kamboja, telas kabeh momotane, palwane nulya tinu, bocah tetiga ginawe ngabdi, kaliyan raja Kamboja, langkung susahipun, kang ika sira sun duta, amunduta mering putera kang kekalih, tetiga lan punakawan.<br />
<br />
Anggawaha manteri kang perjurit, kang peryuka ing busana nira, anaha sepuluh bahe, Arya Bangah pamit sampun, sarta gawa perjurit menteri, tan kocapa ing lampahira, Kamboja wus rawuh, nulya katur ing sang nata, angendika, duta pinangkannya pudi, lawan sinten ingkang duta.<br />
<br />
Arya Bangah nulya matur aris, ing sang nata maharaja Kamboja, dhuh gusti kawula /42/ wiyose, dinuta mering sang perabu, Berawijaya ing Majapahit, kinon mundhut putera Cempa, keponakannipun, sang perabu Majalengka, kalih pirya tiga punakawan neki, ingkang dados ngabdi tuwan.<br />
<br />
Margane nupang palwa keci, palwa pecah kegawang karang, maharaja pernahe, pan tuwan alap sedarum, wadiya nira ana ing keci, sang nata ing Majalengka, langkung sukuripun, dene boten kerem toya bocah tiga ingkang tuwan badhe ngabdi, punika kinon mudhuta.<br />
<br />
Duta tita iling alingen ing ngoni, Berawijaya perabu Majalengka, merentah sami rajane, tanah sabrang akeh teluk, mering sang nata ing Majapahit, Banjar Siyem lan Kamboja, pan wus padha twluk, ana dene liyanira / 43/ apan kathah, ingkang paserah balu pathi, ing negara Majalengka.<br />
<br />
Sampun regbag guneman sang ngaji, ing Kamboja dateng Arya Bangah, sang nata utusan age, animbali bocah tetelu, tan adangu tumulya perapti, oneng ngarsane sang nata, sarwi awot satun, ujare raja Kamboja, kulup sira pinundhut mering sang aji, perabu agung Majalengka.<br />
<br />
Lah miluha kulup sira niki, mering dutane nata Majalengka, anuta saking lakune, putera Cempa awot satun, dateng perabu Kamboja singgih, lajeng matur putera Cempa, kawula miturut, ing karsane Kanjeng Tuwan, pan kawula kawilis yen dados ngabdi, anut saking kersa tuwan.<br />
<br />
Arya Bangah pamit mering sang ngaji, ing /44/ Kamboja sarta bocah tiga, wus lepas wahu lampahe, datan kawarna ing ngenu, sampun perapta ing Majapahit, wus katur seri nara nata, bocah ingkang telu, paramaswari Majalengka, langkung terisna, remen dennira ningali, dumateng putera ing Cempa.<br />
<br />
Berawijaya nata Majapahit, langkung asih mering putera Cempa, den anggep puterane dhewe, apa barang kang jinaluk, Berawijaya iku maringe, ananging putera ing Cempa, susah manahipun, dene wong Majalengka, agamannya punika pan meksih kapir, tan anut agama islam.<br />
<br />
Putera Cempa bekti ing Yang Widi, titingalan wong ing Majalengka, pan padha gumuyu kabeh, ujare wong Majalangu, bodho /45/ temen bocah puniki, madhep ngulon bocah tiga cangkeme celathu, tangane angakep dhsdha, tan adangu dhengkule dipun pijeti, tumulya angabung kelasa.<br />
<br />
Nulya ana wong tuwa sawiji, mara ngucap aja sira cacad ya ika nyembah dewane, gustine bocah tetelu, nanging sira tan melu derbeni, dewa ingkang sinembah, nanging bocah ika, mulane aja sira nacad, ing manusa anyembah ing dewa neki, datan padha pertingkahnya.<br />
<br />
Nulya ana wong anom datenge, mar ngucap mering putera Cempa, ya ika kurang pikire, babi gurih datan ayun, kodhaok kokang datan binukti, amilih daginge ameda ambune aperengus, ananging putera ing Cempa, datan duka maring bocah /46/ Majapahit, mila meksi sami nomnoman.<br />
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-52041765212758636942011-09-17T19:02:00.000-07:002011-09-17T19:02:51.755-07:00PUPUH 01<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Asmaradana</b><br />
<b><br /></b><br />
Ingsun amimiti amuji, anebt nama Yang Suksma, kang murah hing dunya mangke, ingkang (……..) ing akherat (1), kang pinuji datan pegat, angganjar kawelas ayun, angapura wong kang dosa.<br />
<br />
Sampunne muji Yang Widi, amuji Nabi Muhamad, kelawan kawula wargane, sahabat sekawan ika /2/ ingkang nama abubakar, Ngumar Ngusman kaping telu, Kaping pat Ngali Murtala.<br />
<br />
Tatakala wiwite nulis, ing dinten Sapatu punika, anggalipun kaping pat likur, sangalas, haiya iku taunipun, kang nulis nama Marsuf punika.<br />
<br />
Panedhane kang anulis, sampun maca bari nginang manawa keneng dubang, sampun maca /3/ barini yudud menawa keneng dahana, sampun maca ngadal ika, menawa kang tembang.<br />
<br />
Penedhane kang anulis, mering sanak kang amaca, den-agung pengapurane, aksara kathah kang bangga kirang den-wuwuhana, sampuh geguyu kang nurun kang nurat dereng pespada.<br />
<br />
Wntenten carita Winarni, nuturaken kang kina-kina, saking Adam sedayane, ana dadi nabi ika, ana dadi waliyullah, ana dadi guru ratu, ana kang dadi manolan.<br />
<br />
Nabi Adam asewini, wolung dasa punjul sanga, kang kocap siji putrane, Nabi Sis iku kang nama, Nabi Sisi sampun peputra kalih sami jalunipun, ang sepuh Raden Anwas.<br />
<br />
Nurcahya ingkang weragil, Raden Anwasapeputera, Rahaden Kinad namane, /4/ Raden Kinadapeputera, Raden Mustalil namanya, Raden Mustalil sesunu, Raden Majid namanira.<br />
<br />
Puterane Raden Majid, Nabi Ederis nama nira, Nabi Ederis atmajane, kekalih Raden Malha, Rahaden Malha peputra, ingkang nama Raden Sahur, nenggih Sahur nuli peputra.<br />
<br />
Kang nama Raden Musalik, Raden Musalik peputra, Nabi Nuh ika namane, Nabi Nuh sampun peputra sekawan jalu sedaya, setunggal ingkang cinatur, Raden Sam wahu namanya.<br />
<br />
Raden Sam asesiwi, Raden Sangid namanira, nenggih Sangid atmajane, inggih nama Raden Palya, Raden Palyaapeputera, ingkang nama Raden Rangu, putrane Rangu tetiga.<br />
<br />
/5/ Cinatur ingkang satunggil, ingkang nama Raden Sarah, Raden Sarah atmajane, pan gangsal jalu sedaya, cinatur ingkang satunggal, ingkang nama Raden Pahur, Raden Pahurapeputera.<br />
<br />
Paig Azar ingkang nami, patih Azarapeputera, Nabi Ibrahim namane, Nabi Ibrahim peputra, kekalih pan sami pirya, satunggil ingkang cinatur, nami Ismail namanya.<br />
<br />
Putrane Nabi Ismail, Raden Sabit namanira, Raden Sabit atmajane, ingkang nama Raden Yasjab, Raden Yasjabapeputera, ingkang nama Yarab ika, Raden Yarabapeputera.<br />
<br />
Raden Pahur nama neki, Raden Pahur peputra, Raden Mutawab namane, Raden Mutawab /6/ peputra, ingkang nama Raden Ngadnan, Raden Ngadnan sesunu, kang nama Mungadi ika.<br />
<br />
Raden Mungadi sesiwi, ingkang nama Raden Najar, Raden Najar atmajane, ingkang nama Raden Mapar, Raden Maparapeputera, ingkang nama Ilyas niku, Raden Ilyasapeputera.<br />
<br />
Abuthalib nama neki, Abuthalibapeputera, Ki Hujimah ing namane, Ki Hujimahapeputera, Ki Kunanah ingkang nama, Ki Kunanah asesunu, Kiyahi Tafsir ingkang nama.<br />
<br />
Kiyahi Tafsir asesiwi, Kiyahi Faqir namanira, Kiyahi Faqir atmajane, Kiyahi Ghalib ingkang nama, Kiyahi Ghalibapeputera, Ki Ngabdul Manab ika, Ngabdul Manab apeputera.<br />
<br />
Kiyahi Hasim nama neki, /7/ Kiyahi Hasim apeputera, Ngabdul Muntalib namane, Ngabdul Muntalib apeputera, ingkang nama Ki Ngabdullah, Ki Ngabdullah sesunu, kang nama Nabi Muhammad.<br />
<br />
Nabi Muhammad puniki, gustine para utusan, nyalini serengat mangke, tur dadi Nabi wekasan, Nabi Rasulullah ika, wus karsaning Yang Agung, tumeka dina kiyamat.<br />
<br />
Nabi Muhammad sesiwi, kang nama Siti Fathimah, Dewi Fatimah puterane, kekalih pan sami prirya, cinatur ingkang satunggal, Sayid Husen namanipun, Sayid Husen apeputera.<br />
<br />
Kang nama Zainal Ngabidin, Zainal Ngabidin peputera, Ki Zainal Ngalim namane, Zainal Ngalim apeputera, ingkang nama Zainal Kubra, Zainal Kubra asesunu, Zainal Kusen /8/ nama hira.<br />
<br />
Zainal Kusen asesiwi, kang nama Mahmud Alkubra, Mahmud Alkubra puterane, kang nama Jumadi Alkubra, Jumadi Alkubra peputera, tetiga sedayanipun, apan tunggil ibu rama.<br />
<br />
Ingkang bajang putera neki, jejuluk Maulana Ishaq, ana dene penengahe, nama Ibrahim Asmara, kang weragil Siti Asfah, kambil garwa raja Ngerum, Ngabdul Majid nama nira.<br />
<br />
Wanten ganti kang winarni, kocap rayine Anwas, Nurcahya ika namane, Sis kang gadah putera, kaprenah putune Adam, Nurcahya sampun sesunu, Nurrasa ika namanya.<br />
<br />
Nurrasa sampun sesiwi, ingkang nama Sang Yang Wenang, Sang Yang Wenang atmajane Sang Yang Wening nama nira, /9/ Sang Yang Wening apeputera, Sang Yang Tunggal namanipun, Sang Yang Tunggal apeputera.<br />
<br />
Benthara Guru kang nami, Benthara Guru peputera, per lima sedayane, cinatur ingkang satunggal, Benthara Wesnu namanya, nenggih Wesnu ngadeg ratu, jumeneng ing Gilingtosan.<br />
<br />
Wesnu putera Serigati, Serigati sampun peputera, Yang Terwasthi ika namane, Yang Terwesthi jumeneng nata, ing Medhang Andhong negara, Yang Terwesthi sampun sesunu, Parikena ingkang nama.<br />
<br />
Parikena anama Mamumanawasa sesiwi, nama Manumanawasa mangke, peputera Raden Sutapa, punika sampun peputera, jalu warna nira bagus, Raden Sekutrem namannya.<br />
<br />
Sekutrem peputera Sakeri, nenggih /10/ Sakeri apeputera, Polasara atmajane, Polasara apeputera, ingkang nama Abiyasa, Abiyasa sesunu, tetiga pan sami pirya.<br />
<br />
Cinatur ingkang satunggil, ingkang nama Pandhudewa, Pandhu ika atmajane, lelima sedaya nira, punika pan sami pirya, satunggal ingkang cinatur, ingkang nama Ki Arjuna.<br />
<br />
Arjuna sampun sesiwi, Abimanyu nama nira, Abimanyu atmajane, Parikesit nama nira, Parikesit apeputera, Udayana namanipun, Udayana apeputera.<br />
<br />
Jayadarma nama neki, jayadarma apeputera, Jayamijaya namane, Jayamijaya peputera, Gendroyana nama nira, Gendroyana asesunu, kang nama Sumawicitera.<br />
<br />
/11/ Sumawicitera sesiwi, ingkang nama iterasuma atmajane, ingkang nama Pancaderiya, Pancaderiya peputra, Selajala namanipun, Selajala apeputra.<br />
<br />
Serimapunggung ikang nami, Serimapunggung apeputera, setunggal bagus rupane, ingkang nama Gendhiawan, Gendhiawan apeputera, lelima sedayanipun, pan ami jumeneng nata.<br />
<br />
Cinatur ingkang ssetunggal, jumenang na ripan, Resi Genthuyu namane, Resi Genthuyu apeputera, gangsal kocap setunggal, kang nama Lembumiluhur, jumeneng noting Jenggala.<br />
<br />
Lembumiluhur sesiwi, ingkang nama Rawisrengga, gentine nata ramane, oning negara Jenggala, rawisrengga apeputera, jalu warna nira bagus, kang /12/ nama Raden Laliyan.<br />
<br />
Laliyan jumeneng aji, ing negara Pejajaran, perabu agung sutapane, Laliyan sampun peputera, Mundhisari ingkang nama, anggentosi ramanipun, ngadeg nata Pejajaran.<br />
<br />
Mundhisari putera kalih, Mundhingwangi ingkang sepah, Arya Bajaran rayine, Mundhingwangi ngadeg nata, ing negara Pejajaran, anggentosi ramanipun, Banjaran dadi patihnya.<br />
<br />
Mundhingwangi asesiwi, sekawan sedaya nira, apan esteri pambajenge, Ratna Kesuma kang nama, isteri malih panggulunya, nama Raden Ayu Himuk, nuli jalu rayi nira.<br />
<br />
Raden Suruh ingkang nama, tetiga tunggal ibu, wanten malih nggih putrane, /13/ kang Ciyung Wanara, ibune saking ampayan, kocapa Rahaden Suruh, matur dateng ingkang rama.<br />
<br />
Adhuh Rama kados pundhi, kakang bok Ratna Kesuma, kedah awon pratingkahe, aremen dateng kawula, sang nata nimbali sampun, dumateng Ratna Kesuma.<br />
<br />
Wus dateng ngaran nerpati, Sang Ayu Ratna Kesuma, kang rama agal wuwuse, Ratna Kesuma ta sira, kang aran Rahaden Suruh, Sang Ayu medel kewala,<br />
<br />
Wekasan duka sang aji, dumateng Ratna Kesuma, sakelangkung den dukane, tan jamak Ratna Kesuma, pan sira dudu manusa, kuduremen ing sedulur, lungaha sira den enggal.<br />
<br />
Tinundhung rama aji, atapa/14/ ing gunung Kombang, kelangkung mati ragane, wus awor lawan lelembut kesah saking gunung Kombang, ngedaton segara kidul, wus dadi ratuning lelembut.<br />
<br />
Den Ayu Himuk winarni, pan kathah sesakitira, semu kurang parungone, bisu sumerta apicang, keng rama kelangkung mirang, binucal ing pulo Onderus, pinupu ing raja Englan.<br />
<br />
Nurunaken raja Kumpeni, ing tanah Englan lan Peresman, lawan tanah Sopahnyole, kocapa Ciyung Menara, sesirnane ingkang rama, punika jemeng prabu, ing negara Pajajaran.<br />
<br />
Raden Suruh jumeneng aji, ing negara Majalengka, Berawijaya jejuluke, apeputera Berakumara, gumati ing Majalengka, Beraku /15/ mara asesunu, ingkang nama Araden Wijaya.<br />
<br />
Araden Wijaya sesiwi, kang nama Kartawijaya, Kartawijaya puterane, kang nama Anggawijaya, punika ingkang wekasan, ngadeg perabu Majalangu, tunggal nama Berawijaya.<br />
<br />
Sigegen nata Majapahit, kocapa nata ing Cempa, raja Kunthara namane, ratu kapir binethara, merentah Kujing negara, Kalicare lan Kalikut, Gur lawan Mulebar.<br />
<br />
Raja Kunthara asesiwi, tetiga wau puterannya, kang kalih sami isterine, putera jalu kang satunggal, ingkang sepah nama nira, Berawati Muratninggerum, kambil garwa Berawijaya.<br />
<br />
Kang panengah nama neki, Raden Ayu Canderawulan, ana dene weregile, jalu bagus warna nira, kang nama Raden Cingkera, sasedane sang perabu, Jingkera kang ngadeg ing nata.<br />
<br />
Wanten kang winuwus malih, nama Ibrahim Asmara, andarung wau lampahe, maring negara ing Jempa, karsane panggih sang nata, tan kawanan lampahipun, wus datang negara Cempa.<br />
<br />
Melebet ing dalem puri, sang nata lagiya sineba, Ibrahim marek ngarsane, sang nata enggal tetanya, dateng Ibrahim Asmara, derwis sapa arahmu, pan apa kang sira seja.<br />
<br />
Sira marek maring mami, teka gati lampahira, Ibrahim enggal ature, dhuh gusti nami kawula, Sayid Ibrahim Asmara, dateng kawula pan estu, sumeja ngajak sang nata.<br />
<br />
Manjingga agama suji, sarengat Nabi Muhammad, ngucap kalimah kalih, anla ilaha illa lallah /17/, Muhammad rasulullah, punika ing lafalipun, rukune agama islam.<br />
<br />
Lan nyembah lan amuji, dumateng Allah tangala, anuta ing penggawene Muhammad nabi wekasan, sampun nyembah ing berahala, punika agama kufur, nyembah muji ing berahala.<br />
<br />
Saking permaning Yang Widi, sang nata kedhep sesama, dateng Ibrahim ature, sang nata nulya angucap lafat kalimah sahadat, kawula warga nan anut, sedaya pan sampun islam.<br />
<br />
Wus maning agama suci, sang nata negara Cempa, sumerta gadhang wergane, sanegara angudhangan, ing kutha miwah ing desa, sedaya pan sampun anut, amanjing agama islam.<br />
<br />
Wus manjing agama suci, /18/ wadiya ing Cempa sedaya, Berahala ginempur kabeh, karsane wau sang nata, tan ana kari setunggal, akarya sang perabu, masjid panggonan ngibadah.<br />
<br />
Kelangkung sihe nerpati, dateng Ibrahim Asmara, nenggih sang nata karsane, Ibrahim den panggihena, dumateng Ni Caderawulan, tumulya nikahhan sampun, Ibrahim lan Conderawulan.<br />
<br />
Patut gennya pelakerami, Ibrahim lan Conderawulan, kelangkung dene asihe, sang puteri langkung bektinya, dumateng ing laki nira, miwah bekti ing Yang Agung, miwah kathah dana nira.<br />
<br />
Ri sampune lami-lami, adarbe putera tetiga, putera kang sepuh namane, Rahaden Raja Pandhita, penengahe Raden Rahmat, pawestri weragilipun, /19/ Dewi Zainab nama nira.<br />
<br />
Sampune winuruk ngaji, wus putus kitan lan Qur’an, usul fikih lan tafsire, kocapa malih Berawijaya, perabu agung Majalengka, punika anggadhah sunu, langsung manise caritannya.<br />
<div>
<br /></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-37470803374698300652011-09-06T10:50:00.000-07:002011-09-06T10:50:19.156-07:00Serat Jangko Joyoboyo<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
JAMAN EDAN<br /><br />Pancen amenangi jaman edan,<br />sing ora edan ora kaduman.<br />Sing waras padha nggragas,<br />sing tani padha ditaleni.<br />Wong dora padha ura-ura.<br />Begjane sing eling lan waspada.<br /><br />Ratu ora netepi janji,<br />musna prabawane lan kuwandane.<br />Akeh omah ing ndhuwur kuda.<br />Wong mangan wong,<br />kayu gilingan wesi padha doyan rinasa<br />enak kaya roti bolu.<br /><br />Yen bakal nemoni jaman:<br />akeh janji ora ditetepi,<br />wong nrajang sumpahe dhewe.<br />Manungsa padha seneng tumindak ngalah<br />tan nindakake ukum Allah.<br /><br />Bareng jahat diangkat-angkat,<br />bareng suci dibenci.<br />Akeh manungsa ngutamakake reyal,<br />lali sanak lali kadang.<br />Akeh bapa lali anak,<br />anak nladhung biyunge.<br /><br />Sedulur padha cidra,<br />kulawarga padha curiga,<br />kanca dadi mungsuh,<br />manungsa lali asale.<br />Rukun ratu ora adil,<br />akeh pangkat sing jahat jahil.<br /><br />Makarya sing apik manungsa padha isin.<br />Luwih utama ngapusi.<br />Kelakuan padha ganjil-ganjil.<br />Wegah makarya kapengin urip,<br />yen bengi padha ora bisa turu.<br />Wong dagang barange saya laris, bandhane ludhes.<br /><br />Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan.<br />Akeh wong nyekel bandha uripe sangsara.<br />Sing edan bisa dandan.<br />Sing mbangkang bisa nggalang<br />omah gedhong magrong-magrong.<br />Wong waras kang adil uripe nggragas lan kapencil.<br /><br />Sing ora bisa maling padha digething.<br />Sing pinter duraka padha dadi kanca.<br />Wong bener thenger-thenger,<br />wong salah bungah-bungah.<br />Akeh bandha muspra ora karuwan larine.<br />Akeh pangkat drajat padha minggat ora karuwan sababe.<br /><br />Bumi saya suwe saya mungkret.<br />Bumi sekilan dipajegi.<br />Wong wadon nganggo panganggo lanang.<br />Iku tandhane kaya raja kang ngumbar hawa napsu,<br />ngumbar angkara murka,<br />nggedhekake duraka.<br /><br />Wong apik ditampik,<br />wong jahat munggah pangkat.<br />Wong agung kesinggung,<br />wong ala pinuja-puja.<br />Wong wadon ilang kawanitane,<br />wong lanang ilang kaprawirane.<br /><br />Akeh jago tanpa bojo.<br />Wanita padha ora setya,<br />laku sedheng bubrah jare gagah.<br />Akeh biyung adol anak,<br />akeh wanita adol awak.<br />Bojo ijol-ijolan jare jempolan.<br /><br />Wong wadon nunggang jaran,<br />wong lanang numpang slendhang pelangi.<br />Randha loro, prawan saaga lima.<br />Akeh wong adol ngelmu.<br />Akeh wong ngaku-aku,<br />njaba putih njerone dhadhu.<br /><br />Ngakune suci, sucine palsu.<br />Akeh bujuk.<br />Wektu iku dhandhang diunekake kuntul.<br />Wong salah dianggep bener,<br />pengkhianat nikmat,<br />durjana saya sampurna.<br /><br />Wong lugu keblenggu,<br />wong mulya dikunjara,<br />sing curang garang,<br />sing jujur kojur.<br />Wong dagang keplanggrang,<br />wong judhi ndadi.<br /><br />Akeh barang kharam,<br />akeh anak-anak kharam.<br />Prawan cilik padha nyidham.<br />Wanita nglanggar priya.<br />Isih bayi padha mbayi.<br />Sing priya padha ngasorake drajate dhewe.<br /><br />Wong golek pangan kaya gabah den interi.<br />Sing klebat kliwat,<br />sing kasep keplesed.<br />Sing gedhe rame tanpa gawe,<br />sing cilik kecelik.<br />Sing anggak kalenggak.<br /><br />Sing wedi padha mati,<br />nanging sing ngawur padha makmur,<br />sing ngati-ati sambate kepati-pati.<br />Cina olang-aling kepenthung<br />dibandhem blendhung,<br />melu Jawa sing padha eling.<br /><br />Sing ora eling<br />padha milang-miling,<br />mloya-mlayu kaya maling,<br />tudang-tuding.<br />Mangro tingal padha digething.<br />Eling, ayo mulih padha manjing.<br /><br />Akeh wong ijir,<br />akeh wong cethil.<br />Sing eman-eman<br />ora kaduman,<br />sing kaduman<br />ora aman.<br /><br />Selot-selote besuk<br />ngancik tutupe taun,<br />dewa mbrastha malaning rat,<br />bakal ana dewa<br />angejawantah,<br />apangawak manungsa.<br /><br />Apasuryan padha Bathara Kresna.<br />Awewatak Baladewa.<br />Agegaman trisula wedha.<br />Jinejer wolak-waliking jaman,<br />wong nyilih mbalekake,<br />wong utang mbayar.<br /><br />Utang nyawa nyaur nyawa,<br />utang wirang nyaur wirang.<br />Akeh wong cinokot lemud mati.<br />Akeh swara aneh tanpa rupa.<br />Bala prewangan, makhluk alus padha baris,<br />padha rebut bebener garis.<br /><br />Tan kasat mata tanpa rupa,<br />sing mandhegani putra Bathara Indra,<br />agegaman trisula wedha.<br />Momongane padha dadi nayakaning prang,<br />perange tanpa bala,<br />sekti mandraguna tanpa aji-aji.<br /><br />Sadurunge teka ana tetenger lintang kemukus dawa ngaluk-aluk,<br />tumanja ana kidul sisih wetan bener, lawase pitung bengi.<br />Parak esuk banter,<br />ilange katut Bthara Surya,<br />jumedhul bebarengan karo sing wus mungkur.<br />Prihatine kawula kelantur-lantur.<br /><br />Iku tandhane putra Bathara Indra wus katampa<br />lagi tumeka ing ngarcapada,<br />ambiyantu wong Jawa.<br />Dununge ana sikile redi Lawu sisih wetan.<br />Adhedukuh pindha Raden Gathutkaca,<br />arupa gupon dara tundha tiga.<br /><br />Kaya manungsa asring angleledha,<br />apeparab Pangeraning Prang,<br />tan pakra anggone anyenyandhang,<br />nanging bisa nyembadani ruwet-rentenge wong sapirang-pirang.<br />Sing padha nyembah reca ndhaplang,<br />cina eling, Syeh-syeh pinaringan sabda gidrang-gidrang.<br /><br />Putra kinasih swarga Sunan Lawu,<br />ya Kyai Brajamusthi,<br />ya Kresna,<br />ya Herumurti,<br />mumpuni sakehing laku,<br />nugel tanah Jawa kaping pindho.<br /><br />Ngerehake sakabehing para jim,<br />setan, kumara, prewangan.<br />Para lelembut kabawah prentah<br />saeka praya kinen abebantu manungsa Jawa.<br />Padha asenjata trisula wedha,<br />kadherekake Sabdopalon Nayagenggong.<br /><br />Pendhak Suro nguntapake kumara,<br />kumara kang wus katam nebus dosanira,<br />kaadhepake ngarsane kang Kuwasa.<br />Isih timur kaceluk wong tuwa,<br />pangiride Gathutkaca sayuta.<br />Idune idu geni, sabdane malati, sing bregudul mesthi mati.<br /><br />Ora tuwa ora enom,<br />semono uga bayu wong ora ndayani.<br />Nyuwun apa bae mesthi sembada,<br />garise sabda ora gantalan dina.<br />Begja-begjane sing yakin<br />lan setya sabdanira.<br /><br />Yen karsa sinuyutan wong satanah Jawa,<br />nanging pilih-pilih sapa waskitha pindha dewa.<br />Bisa nyumurupi laire embahira,<br />buyutira, canggahira, pindha lair bareng sadina.<br />Ora bisa diapusi<br />amarga bisa maca ati.<br /><br />Wasis wegig waskitha<br />ngreti sadurunge winarah,<br />bisa priksa embah-embahira,<br />ngawuningani jaman tanah Jawa.<br />Ngreti garise siji-sijining umat,<br />tan kalepyan sumuruping gegaman.<br /><br />Mula den udia satriya iki,<br />wus tan bapa tan bibi,<br />lola wus aputus wedha Jawa.<br />Mula ngendelake trisula wedha,<br />landhepe trisula :<br />pucuk arupa gegawe sirik agawe pepati utawa utang nyawa.<br /><br />Sing tengah sirik agawe kapitunaning liyan,<br />sing pinggir tulak talak colong jupuk winaleran.<br />Sirik den wenehi ati melathi, bisa kasiku.<br />Senenge anyenyoba, aja kaina-ina.<br />Begja-begjane sing dipundhut,<br />ateges jantrane kaemong sira sabrayat.<br /><br />Ingarsa begawan wong dudu pandhita.<br />Sinebut pandhita dudu dewa.<br /><br />Sinebut dewa kaya manungsa,<br />kinen kaanggep manungsa sing seje daya.<br />Tan ana pitakonan binalekake,<br />tan ana jantra binalekake.<br /><br />Kabeh kajarwakake nganti jlentreh<br />gawang-gawang terang ndrandang.<br /><br />Aja gumun aja ngungun,<br />yaiku putrane Bathara Indra kang pambayun,<br />tur isih kuwasa nundhung setan.<br />Tumurune tirta brajamukti, pisah kaya ngundhuh.<br /><br />Ya siji iki kang bisa njarwakake<br />utawa paring pituduh jangka kalaningsun.<br /><br />Tan kena den apusi<br />amarga bisa manjing jroning ati.<br />Ana manungsa kaiden katemu,<br />uga ora ana jaman sing durung kalamangsane.<br /><br />Aja serik aja gela<br />iku dudu waktunira,<br />ngangsua sumur ratu tanpa makutha.<br />Mula sing amenangi gek enggala den luru,<br />aja nganti jaman kandhas.<br />Madhepa den amarikelu.<br /><br />Begja-begjane anak putu, iku dalan sing eling lan waspada,<br />ing jaman Kalabendu nyawa.<br />Aja nglarang dolan nglari wong apangawak dewa,<br />dewa apangawak manungsa.<br />Sapa sing ngalang-ngalangi bakal cures ludhes sabraja dlama kumara.<br />Aja kleru pandhita samudana, larinen pandhita asenjata trisula wedha.<br /><br />Iku paringe dewa.<br />Ngluruge tanpa wadyabala.<br />Yen menang datan ngasorake liyan.<br />Para kawula padha suka-suka<br />amarga adiling Pangeran wus teka.<br />Ratune nyembah kawula, agegaman trisula wedha.<br /><br />Para pandhita ya padha ngreja,<br />yaiku momongane Kaki sabdopalon sing wus adus wirang.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-91721073221878735692011-09-04T07:10:00.000-07:002011-09-04T07:10:28.618-07:00Sunan Kali Jaga<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
1. Nama dan Asal-Usul<br /><br />Pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said. Kemudian ia disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurraman dan Pangeran Tuban.1 Di dalam Babad Tanah Jawi disebut bahwa Raden Said adalah putra Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Sedangkan Arya Wilatikta, ayah Sunan Kalijaga, menurut Babad Tuban, adalah putra Arya Teja. Disebutkan pula bahwa Arya Teja bukanlah seorang pribumi jawa. Ia berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama. Ia berhasil mengislamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan memperoleh seorang putrinya. Dengan jalan ini ia akhirnya berhasil menjadi kepala negara Tuban, menggunakan kedudukan mertuanya. Akan tetapi Babad Tuban tidak menjelaskan mengenai asal-usul Arya Wilatikta, ayahanda Sunan Kalijaga itu.2<br /><br />Dalam Babad Cerbon naskah Nr. 36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa ayahanda Sunan Kalijaga bernama Arya Sidik, dijuluki “Arya ing Tuban” Arya Sadik dipastikan merupakan perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan nama asli dari ayahanda Sunan Kalijaga, yang menurut Babad Tuban bukan seorang pribumi jawa, melainkan berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama.3<br /><br />Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut. Diperkirakan ia lahir ą 1450 M berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan Ampel pada usia ą20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh Sunan Kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun.<br /><br />Masa hidupnya mengalami 3 masa pemerintahan, yaitu masa akhir Majapahit, zaman Kasultanna Demak dan Kasultanan Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul Kasultanan Demak berdiri pada tahun 1481-1546 M, dan disusul pula Kasultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada t ahun 1568 M. diperkirakan, pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat. Hal ini dapat dihubungkan dengan gelar kepala Perdikan Kadilangu semula adalah Sunan Hadi, tetapi pada Mas Jolang di Mataram (1601-1603), gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi. Dengan demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai Kepala Perdikan Kadilangu sebelum zaman mas Jolang yaitu sejak berdirinya kesultanan Mataram pemerintahan Panembahan Senopati atau Sutawijaya (1675-1601).4 Dan pada awal pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah Jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan Kalijaga pernah datang ke tempat kediaman Panembahan Senopati di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun kota.<br /><br />Dengan demikian, Sunan Kalijaga diperkirakan hidupnya lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak pertengahan abad ke-15sampai dengan akhir abad 16.<br /><br />Tentang asal-usul keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan keturunan arab asli, yang lain menyatakan keturunan Cina, dan ada pula yang menyatakan keturunan Jawa asli. Masing-msing pendapat mempunyai sumber yang berbeda. <br /><br />Dalam buku “De Handramaut et les Colonies Arabes dan'l Archipel Indian” Karya Mr. C.L.N. Van den Berg, Sunan Kalijaga disebutkan sebagai keturunan Arab asli. Bahkan di dalam buku tersebut tidak hanya Sunan Kalijaga saja yang dinyatakan sebagai keturunan Arab, tetapi juga semua Wali di Jawa.<br /><br />Menurut buku tersebut, silsilah Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut: Abdul Muthalib (nenek moyang Muhammad saw) berputra Abbas, berputra Abdul Wakhid, berputra Mudzakir, berputra Abdullah, berputra Kharmia, berputra Mubarrak, berputra Abdullah, berputra Madhra'uf, berputra Arifin, berputra Hasanudin, berputra Jamal, berputra Akhmad, berputra Abdullah, berputra Abbas, berputra Kouramas, berputra Abdur rakhim (Aria Teja, Bupati Tuban) berputra Teja Laku (Bupati Majapahit), berptra Lembu Kusuma (Bupati Tuban), berputra Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunann Kalijaga).5<br /><br />Kemudian pendapat yang menyatakan Sunan Kalijaga sebagia keturunan Cina di dasarkan atas buku “Kumpulan Cerita Lama dari kota Wali (Demak)” yang ditulis oleh S. Sunan Kalijaga sewaktu kecil bernama Said. Dia adalah keturunan seorang cina bernama Oei Tiktoo yang mempunyai putra bernama Wiratikta (Bupati Tuban). Bupati Wiratikta ini mempunyai anak laki-laki bernama Oei Sam Ik, dan terakhir di panggil Said.6<br /><br />Sedangkan pendapat yang menyatakan Sunan Kalijaga berdarah jawa asli, didasarkan atas sumber keterangan yang berasal dari keturunan Sunan Kalijaga sendiri. Silsilah menurut pendapat ketiga ini menyatakan bahwa moyang “Kalijaga adalah salah seorang panglima Raden Wijaya, raja pertama majapahit, yakni Ronggolawe yang kemudian diangkat menjadi Bupati Tuban. Seterusnya adipati Ronggolawe (Bupati Tuban), berputra Aria Teja I (bupati Tuban) berputra Aria Teja II (Bupati Tuban), berputra Aria Teja III (Bupati Tuban), berputra Raden Tumenggung Wilwatikta (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Klijaga). Menurut keterangan berdasar bukti yang ada pada makam, Aria Teja I dan II masih memeluk agama Syiwa, sedangkan Aria Teja III sudah memeluk Islam.7<br /><br />Terhadap pendapat-pendapat tersebut, terdapat sanggahan-sanggahan, terutama terhadap endapat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga, dan juga para wali yang lain, adalah keturunan cina. Di antara para ahli yang menyatakan bahwa pendapat itu tidak benar adalah Prof. D.W.J. Drewes. Beliau adalah bekas guru Besar Sastra Arab di Fakultas der Aleteren pada Universitas Leiden dan berkas ketua Oosters Genooschap di Nederland, lahir pada tahun 1899 pernah memimpin balai pustaka (1930) di Jakarta danmenjadi guru besar Hukum Islam di Indonesia, dan sampai tahun 1970 beliau menjadi Guru Besar di Universitas Leiden, Nederland. Tanggapannya terhadap Prof. Dr. Slamet Mulyono yang menyatakan bahwa para wali adalah keturunan bahwa para wali adalah keturunan Cina adalah tidak benar, karena tidak mempunyai bukti. Sumber-sumber yang diambil yakni dari Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kronik Cina dari Klenteng Semarang dan Talang, semua sumber itu tidak pernah dipeakai oleh padra sarjana sejarah. Sementara, sumber dari Reseden Poortman sudah lewat tangan ketiga.8<br /><br />Kemudian Prof. Dr. Tujimah, Guru Besar dalam Bahasa Arab dan Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, juga tidak sependapat atas kesimpulan yang mengatakan bahwa para wali adalah keturunan Cina. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah:<br /><br />1. Sumber-sumber dari kesimpulan itu dari Babad Tanah Jawi, Serta Kanda, Kronik Cinta Semarang dan Talang yang belum banyak dipakai sarjana.<br />2. Prof. Slamet Mulyana mendapat sumber dari tangan ketiga (dua orang) yaitu lewat Residen Poortman dan Ir. Parlindungan.<br />3. Sumber-sumber babad itu penuh dengan dongeng dan legenda.<br />4. Sumber-sumber Portugis yang ada digunakan<br />5. Lebih memberatkan dan menerima 100% sumber Cina, atau membesar-besarkan pengaruh Cina.<br />6. Mungkin ada nama-nama pribumi asli yang dibaca atau ditulis menurut Lidah Cina. Pengaruh setiap bahasa dan lidah sesuatu bangsa lain memungkinkan terjadi penyesuaian ejaan, seperti khabar menjadi kabar (bahasa Arab), lebih-lebih pendatang baru bangsa Cina yang disebut tokelja, sabar menjadi sabal, dan sebagainya. Akhirnya terjadilah seperti yang dikira, terdapat nama-nama yang berubah dari nama asalnya, seperti di dalam naskah Poortman, Kertabumi menjadi King ta Bu Mi, Su Hi Ta menjadi Su King Ta, Trenggana menjadi Tung Ka Lo, Mukmin (putra Trenggana) menjadi Muk Ming, Sunan Bonang menjadi Be Nang, Ki Ageng Gribig menjadi Na Pao Cing, Aceh menjadi Ta Cih, Bintoro menjadi Bing To Lo, Bangil menjadi Jiaotung, Majakerta menjadi Jangki, Palembang menjadi Ku Kang, Sultan tayyib menjadi Too Yat, dan sebagainya. Ternyata banyak nama-nama Indonesia yang diberi nama dengan bahasa Tionghoa.<br /><br />Salah satu kelemahan, antara lain ialah Sunan Gunung Jati diidentifikasikan dengan Toh A Bo, dalam bukunya Prof. Slamet Mulyana hal. 219. tetapi pada halaman 220 dikatakan bahwa Tung Ka Lo (trengganda mempunyai dua orang putra, yaitu muk Ming (Pangeran Mukin atau Pangeran Prawoto) dan putra kedua pangeran A Bo dinyatakan dalam Babat Tanah Jawi bahwa dia menjadi Bupati Madiun. Jika Panglima Perang Demak pada tahun 1526, yang berhasil membawa kemenganna sama dengan Panglima Perang yang dikirim ke Majapahit apda tahun 1527, maka Panglima Perang yang memimpin armada Demak ke Cirebon dan ke Sunda Kelapa adalah Toh A Bo Putra Tung Ka Lo sendiri. Dengan demikian, maka Toh A Bo identik dengan Fatahillah. Demikianlah tulis Prof. Dr. Slamet Mulyana. Tetapi pada halaman 224 Prof. Slamet Mulyana menulis lagi bahwa Fatahillah sebagai Sultan Banten / Cirebon dan Ipar sulatan Trenggana, dan pula menjadi Sultan Cirebon / Banten. Inilah kejanggalannya, bahwa Fatahillah disamakan dengan Toh A Bo, yang menjadi putra Sultan Trenggana dan sekali itu juga menjadi ipar Sultan Trenggana. Juga menjadi Bupati Madiun dan juga menjadi Sultan Cirebon / Banten. Apakah bisa? Aneh bukan, satu oknum menjadi putra dan sekaligus menjadi ipar Sultan Trenggana, jug amenjadi Bupati Madiun dan juga menjadi Sultan Cirebon / Banten.9 <br /><br />Dengan adanya beberapa pendapat tentang silsilah itu, maka bagaimanapun juga tampak bahwa masih terdapat ketidakjelasan tentang silsilah Sunan Kalijaga. Tampak pula bahwa terdapat maksud-maksud tertentu dari penyusunan silsilah. Hal itu sebagaimana pengungkapan tentang silsilah raja-raja jawa dalam Babad Tanah jawi yang menyatakan bahwa silsilah tokoh Senopati, raja Islam Mataram II, putra Ki Gede Pemanahan. Bahwa Ki Gede Pemanahan adalah keturunan langsung ratu-ratu Majapahit, kerjaan hindu yang dipuji orang jawa. Ia adalah Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela putra Ki Ageng Getas Pendawa, Selanjutnay ia putra Bondan Kejawen (Lembut Peteng), dan Bondan Kejawen ini mempunyai dua saudara lagi yakni Arya Damar (Bupati Palembang yang masuk Islam) dan terakhir adalah raden Patah, Mereka bertiga adalah putra Hayam Wuruk, Putra Raden Sesusuh, putra Kuda Lalean, putra Raden Panji (Hikayat Panji Semarang dan Galuh Candrakirana). Raden Panji Putra Getayu, putra Prabu Jayabaya, keturunan Parikesit putra Abimanyu, putra Aejuna, putra Barahmana, putra Bhatara Guru, ptra Sang Hyang Tunggal, putra Sang Hyang Wening, yang berasal dari Sang Hyang Nur Cahya. Dengan demikian maka Senopati dihubungkan dengan dewa-dew dan cerita wayang. Tampak bahwa dari penyusun silsilah Sunan Kalijaga yang berbeda-beda terdapat kemungkinan adanya maksud-maksud tertentu.<br /><br />Tentang asal-usul nama Kalijaga, terdapat pula perbedaan penafsiran, satu pendapat menyatakan bahwa Kalijaga berasal dari kataJaga Kali (bahasa jawa). Pendapat lain mengatakan bahwa kalijaga berasal dari kata Arab, Wodli Dzakka (penghulu suci), dan pendapat yang lain lagi menyatakan Kalijaga berasal dari nama dusun Kalijaga yang terletak di daerah Cirebon.<br /><br />Penafsiran yang pertama mengacu kepada nama jawa asli bahwa Kalijaga artinya menjaga kali, dari asal kata kali yang berarti sungai dan kata Jaga yang b berarti menjaga. Boleh jadi tafsiran ini didasarkan atas suatu riwayatnya sebagaimana dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa beliau pernah berkhalwat setiap malam di sebuah sungai yang berada di tengah hutan yang sepi, seakan beliau menjaga kali itu. Secara kebetulan hutan itu bernama Kalijaga di daerah Cirebon.<br /><br />Tetapi terdapat suatu penafsiran pula bahwa menjaga kali diartikan sebagai kemampuan Sunan Kalijaga dalam menjaga aliran atau kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat. Beliau tidak menunjuk sikap anti pati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan islam, tetapi dengan penuh kebijaksanaan aliran-aliran kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat itu dihadapi atau digauli dengan sikap penuh toleransi. Konon, menurut cerita, memang Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang faham dan mendalami segala pergerakan dan aliran atau agama yang hidup di kalangan rakyat.<br /><br />Dalam suatu sumber di dapatkan tentang asal-usul perkataan kaljaga yang berasal dari perkataan jagakali termasuk juga bagaimana Raden Said mendapatkan julukan yekh Malaya”.10 Keterangan ini dijumpai dalam Babad Dipanegara, sebuah naskah sejarah yang ditulis oleh Pangeran Dipanegara di tempat pengasingannya di Menado. Menurut penuturan Pangeran Dipanegara, waktu Sunan Bonang teringat ihwal Raden Sahid yang tealh dpendamnay, Sunan Bonang ingin mengeluarkannya. Sunan Bonang segera pergi ke temapt Raden Sahid dipendam, sembari membawa sahabatnya. Raden Sahid dikeluarkan dari pendamnanya, raden Sahid telah menjadi mayat. Sekalipun demikian sudah menjadi kehendak Tuhan tubuh jasmaninya masih dalam keadaan utuh, tidak membusuk. Hanya tinggal tulang dan kulit. Mayat Raden Sahid dibawa ke Ngampel Gading.<br /><br />Mayat raden sahid dikembalikan kekuatannya. Sunan giri telah dapat dan ikut mengerjakannya. Semua wali ikut mengembalikan kekuatan Raden Sahid. Tuhan pun memberikan pertolongan-Nya. Penglihatan Raden Sahid muncul lagi, kemudian nafasnya, setelah itu detak jantungnya. Ayah dan ibu raden Sahid telah datang, demikian juga adik Raden Sahid, Dewi Rasawulan, telah sengaja datang dari hutan langsung menuju Ngampel Gading. Bersama waktu datangnya ayah dan ibunya, nafas yang keluar dari tubuh raden sahid semakin besar, para wali berdoa, lalu datanglah kembali semua kekuatan Raden Sahid. Raden Sahid telah siuman, bagai tealh lama tidur. Raden Sahid duduk dikitari para wali, Raden Sahid sadar, kemudian bersembah sujud kepada semua wali dan ayahnya, sedangkan Dewi raswulan bersembah sujud kepadanya. Bagaikan mimpi saja, semuanya telah menakjubkan semua orang yang pada susah hati melihatnya, sangat ajaib, sangat mengesankan.<br /><br />Semua kekuatan Raden Sahid tealh kembai seperti sediakala, hanay tinggal rasa lesu saja. Kata Sunan Makdum: “Anak-anakku semua, patuhilah kata-kataku ini. Aku akan menjuluki si Sahid “Syekh Malaya”. Disamping itu, Sunan Makdum Berkata lagi “Mumpung lengkap semua, Wilatikta anakku, aku akan mengambil kedua anakmu. Syekh Malaya akan kukawinkan dengan putriku yang bungsu, sedang Nini Rasawulan akan kukawinkan dengan ananda di Giri.” Keduannya kemudian dikawinkan, disaksikan semua wali.<br /><br />Para wali kembali ke tempat tinggalnya masing-masing, sementara Syekh Malaya belum merasa puas hatinya. Beliau minta diri kepada adiknya, ingin pergi berkelana. Lalu pergi meninggalkan Ngampel Gading, menyusuri daerah Pengisikan, berhenti bertapa mati raga di pinggir kali dengan bersandar pda pohon jati yang telah mati, yang batangya condong ke kali itu. Demikian lama Syekh Malaya bertapa mati raga, hingga pohon jati yang semula mati telah hidup kembali berimbun daun.<br /><br />Alkisah, waktu itu Kanjeng Sunan Bonang berkelana, beliau telah sampai di pohon jatiitu. Beliau melihat ada orang bertapa mati raga dengan bersandar pada pohon jati tersebut. Lama-kelamaan Kanjeng Sunan Bonang tidak lupa lagi, orang itu tidak lain adalah adiknya sendiri. Kanjeng Sunan Bonang segera duduk mendekatinya. Syekh Malaya waktu itu sedang tidur, dibangunkan olehnya. “Bangunlah adikku,” katanya. Syekh Malaya terkejut melihat kedatangan kakaknya, lalu mencium kaki bersembah bakti. “Sudahlah, duduklah adinda. Sekarang namamu kuberi tambahan, yakni Jagakali, Sunan Kalijaga. Demikianlah namamu yang patut. Disamping itu, bertempat tinggallah dan dirikanlah pedesaan ditempat ini. Aku yang akan membantumu, sedang istrimu akan kuundang”. Sunan Kalijaga. Tidak menolak perintah kakaknya.<br /><br />Kanjeng Sunan Bonang mengirim utusan ke Ngampel memanggil adiknya sembari mohon izin kepada ayahnya. Tidak diceritakan, istri Sunan Kalijaga telah datang, sedang desa tempat Sunan Kalijaga juga telah siap, dibuatkan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Bonang lalu kembali ke tempat tinggalnya.<br /><br />Telah lama bertempat tinggal di desa itu Sunan Kalijaga mempunyai seorang putra yang roman mukanya tidak berbeda dengan ayahnya, bernama kanjeng Sinuhun Adi.<br /><br />Penafsiran kedua mengacu kepada nama Arab bawa kalijaga berasal dari bahasa Arab yang telah berubah menurut pengucapan lidah orang jawa, yaitu Qadli Zakkah yang berarti hakim suci atau penghulu sici. Nama itu merupakan nama sanjungan yang diberikan pagnera Modang, Adipati Cirebon, tatkala mereka berdiskusi tentang masalah hukum Islam di Cirebon. Dari kata sanjungan Qadli Zakka itulah kemudian desa tempat tinggal Penghulu Suci itu dikenal dengansebutan Kalijaga, Nama yang masih melekat pada suatu desa di daerah kabupaten Cirebon hingga sekarang.11<br /><br />Lain lagi dengan pendapat ketiga yang menyatakan bahwa nama kalijaga berasal dari nama desa tempat tinggal yang pernah didiami oelh Raden Sahid. Pendapat ketiga cenderung menyanggah kedua pendapat terdahulu itu. Prof. Dr. Hoesein Djajaningrat menyatakan, kisah legendaries menetapnya Sunan Kalijaga di sebuah ssungai merupakan sebuah ikhtisar yang kaku untuk menerangkan si muasal nama Sunan Kalijaga. Prof. Hoesein Djajaningrat mengingatkan, dalam masalah ini orang telah memberikan artian nama kalijaga dengan “Penjaga Kali” atau “penjaga di kali”, akan tetapi orang lupa, bahwa dengan demikian orang mendapatkan susunan (perkataan) yang tidak bercorak jawa. Oleh karena menurut logat bahasa jawa “penjaga kali” toh disebut “(wong) jaga Kali”. Menurut pendapatnya, asal-muasal nama kalijaga justru tidak bisa di pulangkan pada Sunan Kalijaga, artinya tidak bisa dinyatakan bahwa nama itu telah muncul oleh karena pada awal mulanya Sunan Kalijaga telah berjaga, bertapa atau menetap di dekat kali. Tetapi sebaliknya, nama Sunan Kalijaga justru lahir karena yang bersangkutan telah menetap di desa kalijaga. Dengan demikian sebelum Sunan Kalijaga datang desa itu telah bernama kalijaga.12<br /><br />Pendapat yang sama dipegangi juga oleh G.P.H. Hadiwidjaja, yang ditulis dalam brosurnya berjudul Kalijaga, sebuah tulisan yang disampaikan dalam tulisan ceramahnya di Radya Pustaka, Solo, tanggal 7 Mei 1956. dalil yang dipakai bukan nama desa yang mengikuti nama wali itu, tetapi telah dikenal sebelumnya. Dan nama desa yang dimaksud adalah desa kalijaga yang telah dikenal sebelumnya. Dan nama desa yang dimaksud Cirebon. Dalam tulisannya itu ia sekaligus menunjukkan kesalahan kedua pendapat di atas. Dasar pendapatnya adalah sebuah kidungan yang pernah didengarnya pada zaman sebelum perang di daerah Pasundan, yang berbunyi:13 <br /><br /><br />Sing sapa reke bisa nglakoni,<br /><br />Amutih lawan anawaha,<br /><br />Patang puluh dina wawe<br /><br />Lan tangi wegtu subuh,<br /><br />Lan den sabar sakuring ati<br /><br />Ing sa-Allah tinekan, <br /><br />Sakarsanireku, <br /><br />Tumrap sanak rajatinira<br /><br />Saking sawabe ngelmu pangiket kami,<br /><br />Duk aneng kalijaga. <br /><br />Artinya:<br /><br />Barangsiapa bisa menjalani <br /><br />Melakukan mutih dan minum air tawar<br /><br />Empat puluh hari saja,<br /><br />Dan bangun waktu subuh,<br /><br />Dan sabar berhati sukur,<br /><br />Kepada Tuhan terlaksanalah<br /><br />Sekehendakmu,<br /><br />Pada saudara keluargamu,<br /><br />Dari sawab ngelmu yang kami ikat, waktu berada di Kalijaga. <br /><br />Dari kidung itu K.G.P.H. hadiwidjaja berpendapat bahwa yang membuat kidungan itu adalah Sunan Kalijaga sendiri, sebagaimana disebutkan “duk aneng Klaijaga” - “Waktu berada di kalijaga”. Dia menunjukkan serangkaian bukti bahwa kalijaga sebenarnya bukan nama orang, melainkan nama desa di kawasan Cirebon sebagai berikut:14 <br /><br />1. Pokok isi naskah sejarah Banten yang termuat dalam disertasinya Prof D.R.R.A Hoesein Djajaningrat yang berjudul Critiche Beschouwingen Van De Sadjarah Banten yang menyatakan, raden Said lalu pergi berkelana sampai ke Palembang, bertemu dengan Dara Petak. Kemudian mereka bersama pergi ke Pulau Upih, berguru kepada Syekh Sutabris. Setelah selesai disuruh pulang kembali ke tanah Jawa bertempat tinggal membuat pedukuhan di Cirebon di dekat Sungai kecil, sembari berjualan atap ilallang agar mereka diketahui oleh yang empun negeri. Di berlakng hari pedukuhan tersebut disebut kalijaga.<br />2. Kitab Wali Sepuluh Karangan Kargosudjono, diterbitkan Tan Koen Swie tahun 1950, menyatakan: “Tuan Sunan Kalijaga dulu keratonnya adalah di tanah Puserbumi (Cirebon).” Nama Keratonnya tidak disebutkan, tetapi letaknya ada di Cirebon, sama dengan disebut pada nomor satu di atas. Hanya saja, mengenai disebutnya Puserbumi, K.G.P.H. Hadiwijaya baru mengetahuinya. Menurutnya, yang disebut Puserbumi itu adalah Mekkah, yang karena Multasyam-nya, matahari tidak pernah mengunggulinya. Ada pun pusarnya tanah jawa adalah gunung tidar di Magelang.<br />3. Kidungan Musium dalam bentuk cetakan dan kidungan milik K.G.P.H. Hadiwijaya sendiri dalam bentuk naskah, menyebutkan:<br /><br />“….Saking sawabe ngelmu pengiket kami, du aneng kalijaga”.<br /><br />Artinya: <br /><br />“….Dari sawah ngelmu ikatan kami, waktu di kalijaga.”<br /><br />4. Serat Syeh Malaja, koleksi musium Sana Pusaka, milik K.G.P.H. Hadiwijaya sendiri dalam bentuk naskah:<br />1. Pupuh Asmarandana pada 4:<br /><br />Anulnya kinen angasih,<br /><br />Pitekur ing kalijaga, <br /><br />Mila karan kakasihe……. <br /><br /><br />Artinya: <br /><br />Lalu disuruh pindah bertafakur di Kalijaga oleh karena itu namanya disebut ……….<br /><br />Di sini jelas nyata bahawa kalijaga bukan nama orang tetapi nama desa. Sedang yang menyuruh pindah adalah Sunan Bonang, setelah Kalijaga diberi wejangan.<br /><br />2. Bersamaan Pupuhnya pada 12:<br /><br />“Wus telas denya wawarti, <br /><br />ajeng Sunan Bonang samna, <br /><br />jangkar sing kalijagane”<br /><br />artinya:<br /><br />“Telah selesai memberikan keterangan,<br /><br />Kanjeng Sunan Bonang waktu itu,<br /><br />Berangkat dari Kalijagane….”<br /><br />5. Serat Walisanga, Milik K.G.P.H. Hidiwijaya pupuh pucung pada 29:<br /><br />“inggalipun,<br /><br />wus raharjo ponang dukuh,<br /><br />katah kang awismo.<br /><br />Pradesane wus sawasri,<br /><br />Sinung aran padukuhan kalijaga.”<br /><br />Kemudian menceritakan kembalinya dari samudra diwejang kanjeng nabi Kidir, Tembang Gambuh pada 33:<br /><br />Umpami sekar kuncup,<br /><br />Mangke samun mangsane cumucup,<br /><br />Ngambar-ambar gandane kastri jati,<br /><br />Ing wasana lajang kondur,<br /><br />Tan wangsul maring Cirebon.”<br /><br />Artinya:<br /><br />“bagaikan bunga yang kuncup,<br /><br />sekarang telah waktunya mekar,<br /><br />semerbak harumnya kasturi tulen,<br /><br />akhirnya lalu pulang,<br /><br />tidak kembali ke Cirebon.” <br /><br />Pada 34:<br /><br />“Mring padukuhanipun,<br /><br />Kalijaga pun Lumajang misuwur…” <br /><br />Artinya:<br /><br />“Ke Pedukuhannya, <br /><br />Kalijaga yang lalu termasyur…” <br /><br />Pada 35:<br /><br />“She Malaya kasetbut, <br /><br />papan saking padamelanipun, <br /><br />nengsih Sunan Kalijaga Wewangi…” <br /><br />Artinya:<br /><br />“Syekh Malaya tersebut,<br /><br />dari sebab pekerjaannya, <br /><br />nengsih Sunan Kalijaga mewangi… <br /><br />Menurut K.G.P.H. Hadiwijaya, dengan bukti-bukti tersebut jelas bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga tersebut berasal dari nama desa, yakni desa Kalijaga di kawasan Cirebon. <br /><br />Tentang penolakan K.G.P.H. Hadiwijaya terhadap perkataan “Qadli Zakka” yang berarti penghulu suci, bahwa tidak mungkin ada desa yang bernama penghulu agung suci, seperti halnya pengulon yang berarti tempat kediaman penghulu; Modinan yang berarti tempat kediaman Modin; Kauman yang berarti tempat kediaman kaum dan lain sebagainya. Demikian jug a perkataan “kali” tidaklah bisa dikatakan begitu saja berasal dari Arab, sebab nama desa yang memakai perkataan “Kali”, misalnya Kalijanes, Kaliwingka, Kaliyasa, Kalisara, Kaliwungu dan lain sebagainya.15<br /><br />K.G.P.H. Hadiwijaya juga merujuk nama-nama Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ngudung, Syekh Lemah Abang, Semua itu adalah nama-nama yang diberikan berdasarkan tempat tinggal dan tidak diberikan dari asl perkataan Arabnya, sehingga, oleh karenanya, kata “Kalijaga” menurutnya merupakan “tembung jaawa klutuk”, perkataan Jawa Asli. Penyebutakn kalijaga sebagai berasal dari perkataan Arab “Qadl Zakkah” merupakan perbuatan orang jawa sendiri secara paksa. Hal yang sama dikemukakan juga oleh K.G.P.H. Hadiwijaya berkenaan dengan nama-nama wayang, Petruk Berasal dari Fatruq, Janaka berasal dari Zinaka, Narada berasal dari nurhuda dan sebagainya.16<br /><br />Berbeda dengan pendapat Ki M.A Machfoed, dia juga tampak kurang sependapat tentang asal-usul nama Kalijaga yang dihubungkan dengan perilaku bertapa di kali laksana orang “Jaga Kali” yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagaiaman dituturkan dalam Sejarah Kadilangu. Dia lebih cenderung memegangi apa yang dituturkan dalam babad demak versi Cirebon, bahwa nama kalijaga berasal dari bahasa Arab “Qadli Zakkah” yang berarti penghulu suci, sebgaiman telah dikemukakan terdahulu. Dengan demikian , Ki M.A. Machfoed berpendapat bahwa kalijaga dapat lebih dipegangi sebagai nama orang, bukan nama desa yang semula bernama kalijaga sehingga nama itu menjadi sebutan bagi wali tersebut. Dia beranalog sama halnya dengan nama K.G.P.H. Hadiwijaya bukanlah nama yang diberikan karena bel;iau itu bertempat tinggal di kampung Hadiwijaya, karena menurut pengakuran beliau, nama Hadiwiaya adalah nama pemberian ayahandanya yakni Sri Susuhunan Paku Buana X.<br /><br />Tentang nama Raden Said atau Jaka Said sebagai nama Sunan Klaijaga pada waktu mdua adlah nama pemberian Sunana Ampel Denta. Kata Said (Sa'id) yang berasal dari bahasa arab berarti bahagia. Sunan Ampel sendiri mempunyai hubungan dekat dengan ayahanda raden Said, dan setiap saat bersilaturrahmi di istana adipati Tuban itu, berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan.<br /><br />Sejalan dengan arti sa'id, bahagia, maka Sunan Kalijaga dikenal juga dengan nama Lokajaya.17 Hanya saja sebutan Lokajaya lebih mengacu kepadea bahasa jawa, yang terdiri dari dua kata loka artinya tempat dan jaya berarti bahagia, menang. Menurut Pustaka Daerah Agung, nama baru itu adalah pemberian Syekh Sutam, tetapi tanpa penjelasan siapa Syekh Sutam itu. Dalam Babad Demak, nama Syekh Sutam juga tidak dikenal, kendatipun nama lokajaya disebut-sebut tatkala mengenalkan Raden Said sebagai pelayan, kemudian sebagai pengadu ayam, dan kemudian sebagai penyamun. Perannya sebagai pelayan dimulai setelah pergi meninggalkan kadipaten ketika semua uang emas berkalnya lenyap, entah dicuri orang dalam rumah penginapan, entah jatuh diperjalanan. Dalam Babad Demak versi Matara disebutkan bahwa bekal emas Raden Said habis karena diperjudikan. Tetapi lain halnya apa yang disebut oleh Babad Demak versi Cirebon, emas bekal calon wali itu habis karena telah dihadiahkan kepada anak gembala kerbau sebagai tanda terima kasih atas doa anak gembala itu dalam bentuk nama lokajaya.<br /><br />Dalam perantauannya Lokajaya sampai lah pada suatu hari disebuah desa yang diantara penghuninya ada seorang janda tua beranak banyak, dan mata pencahariannya sebagai pedagang serabi, semacam kue apem. Meskipun hasil perdagangan itu sudah tidak mencukupi keperluan hidup hariannya bersama lima orang anak-anaknya yang belum ada satupun yang dewasa, namun janda tua yang berwatak murah hati itu ternyata suka menerima Lokajaya sebgai seorang penumpang hidup padanya. Mengerti betapa pemarah dan baik hati orang yang ditumpangi hidupnya itu, maka Lokajaya dengan setia dan jujur melayani pedagang serabi, memasak, memikul barang-barang keperluan memasak dan menjual serabi ke pasar, memikul barang-barang itu dari pasar pulang kembali ke rumah. Dan disadari oelh wanita janda tua itu, betapa pesat kemajuan dagangannya yang tampak sudahmenjadi besar dan tidak lagi miskin, sejak lokajaya menumpang hidup sebagai pelayan padanya. Maka lokajaya amatlah disayangi dan diperlakukan sebgai anak kandungnya. Uang pun diberikan secukupnya pada sembarang waktu diperlukan, termasuk juga untuk membeli seekor ayam aduan dan untuk bertaruh di kala ayam itu dibawa lokajaya ke dalam gelanggang peraudan ayam.<br /><br />Ayam aduan Lokajaya itu diberi nama Ganden dan kenyataannya tak terkalahkan. Setiap kali Ganden keluar dari gelanggang, tetaplah senantiasa sebgai pemenang. Semua taruhan kemengangannya yang tak sedikit jumlahnya selalu Lokajaya berikan kepada janda tua, itu akuannya itu.<br /><br />Apda suatu hari, rumah pedagang serabi tersebut dikunjungi seorang setengah baya berserta anak muda yang membawa sebuah krusu berisi seekor ayam aduan. Mereka datang perlu menantang Lokajaya mengadu ayamnya yang bernama Tatah dengan Ganden, ayam aduan milik Lokajaya itu. Tantangan itu tentunya diterima Lokajaya dengan gembira hati, karena memang sudah agak lama menunggu adanya ayam aduan yang berani melawan ganden.<br /><br />Lokajaya merujuk ketika mendengar tantangannya mengenai soal taruhannya yaitu rumah tempat tinggal pedagang serabi itu seisinya yang dikira oleh tamu penantang itu menaruh sebuah kantong besar berisi emas, sebagai taruhannya. Melihat keraguan Lokajaya dan melihat sekantong emas yang nilainya jelas lebih besar dari pada harga rumah seisinya itu, dengan mengingat bahwa ssealma ini Ganden terbukti tak pernah terkalahkan, maka janda tua akuannya itu menganjurkan agar Lokajaya dengan berbesar hati menerima tantangannya. Dan Ganden sergeralah berhadap-hadapan dengan Tatah dalam sebuah Gelanggang di halaman depan rumah yang dikerumuni banyak penggemar adu jago. Pertarungan antar aGanden dan Tatah berlangsung hebat sekali, namun tidak begitu alma pertarungan itus udah selesai. Ganden Kalah, mati terkapar di tengah gelanggang.<br /><br />Janda serabi dan kelima anak-anaknya menangis kekalahan Ganden yang menimbuni segenap keluarga dengan malapetaka. Lokajaya tinggal berdiri tegak saja dengan hati gusar pandangannya mengikuti kepergian tamunya setelah menerima tawaran bahwa kelak tamunya akan kembali untuk menempati rumah teruhannya, dan diharap Lokajaya sekeluarga sudah tidak berada di dalam rumah dan halaman itu, tetapi Lokajaya diperbolehkan mengambil dan membawa isi dari rumah dan halaman apa saja yang disukai.<br /><br />Pada senja hari, lokajaya minta diri pada ibu akuannya akan pergi mencari pengganti rumah tinggal dan semua harta kekayaan ibunya yang telah lenyap dalam pertaruhan tadi pagi, dengan pesan agar ibu dan kelima anaknya jangan meninggalkan rumah itu sebelum dia pulang kembali dan supaya menuntut kehidupan seperti biasanya. Seolah-olah di situ tidak ada perubahan apapun. Kemudian Lokajaya pergi ke satu-satunya jalan lalu lintas di tengah hutan menghadang di sana sebagai penyamun. Tujuan hari siang dan malam dia menyamun di sana. Pada pagi hari yang kedelapan, dia telah bertukar niat hendak pergi merampok saja dipedesaan, tetapi mendadak terlihatlah olehnya orang setengah baya dan seorang muda yang mengantarkannya akan lewat di dijalan penyamunannya. Walau calaon korbannya itu berpakaian seorang ualma, namun tiada panglinglah Lokajaya bahwa calon korbannya itu adalah si pemilik tatah tempo hari. Pakaian keulamaannya tampak serba indah, serba mahal harganya. Lokajaya segera menghentikan mereka, diminta pakaian mereka dan semua yang mereka bawa atau nyawa mereka yang akan direnggutnya kalau mereka berani menolak permintaannya. Tetapi alangkah terperanjatnya Lokajaya ketika orang setengah baya itu menyebut namanya di minta agar ia melihat pohon aren yang ada disebelah kanannya, bahwa semua tirisan buah kolang-kaling sesungguhnya ems murni dan bisa diambil kalau memang bermaksud menghimpun kekayaan duniawi. Tampak pada pandangan mata Lokajaya semua tirisan buah kolang-kaling itu adalah emas yang kilau-kemilau yang indah dalam sinar matahari. Seketika lokajaya berjongkok di hadapan orang setengah baya itu sambil menyembah, minta ma'af, menyerahkan diri kepadanya serta minta diterima sebagai muridnya. Dengan senang hati permintaan itu diterima orang setengah baya itu, yang kemudian memberi perintah kepada Lokajaya agar segera pulang lebih dahulu kepada ibu akuannya untuk minta diri dan berkata kepadanya atas nama calon gurunya itu menghadiahkan rumah tinggal seisinya dan halaman itu dan selanjutnya disuruh menyusul ke pondok bonang.<br /><br />Sesungguhnya, orang setengah baya itu tak lain adalah Sunan Bonang, dan anak muda pengiringnya itu adalah adik kandung bungsunya, yang kemudian hari tampil sebagai Sunan Drajat. Keduannya adalah putra sulung dan putra bungsu Sunan Ampel Denta yang diutus ayahandanya supaya mencari dan menemukan Raden Said.<br /><br />Sunan Kalijaga dikenal juga sebagai syekh Malaya, nama pemberian dari sunan bonang, setelah dia selesai menjalankan khulwat yang merupakan ujian pertama kesanggupan berguru kepada Sunan Bonang itu. Demikian itu sebagaimana dituturkan dalam Babad Diponegara, babad demak versi Cirebon maupun Babad demak versi lain-lainnya. Hanya saja, terdapat perbedaan antara pengertian maupun praktik tapa ngluwat atau tapa mendem yang digambarkan dalam Babad Diponegoro sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, demikian juga berbeda dengan pengertian dan praktik tapa mendem sebagaimana yang digambarkan dalam Babad Demak yang lain, atau juga Babad Majapahit dan Para Wali. Inti ajaran tentang khulwat dalam Babad Demak versi Cirebon yakni menyekap diri lahir-batin dalam kesepian dari segala apa pun, kecuali harsu senantiasa hudlur ma' Allah, demikian itu selama 40 hari, siang dan malam. Sedangkan tapa ngluwat sebagai mana digambarkan dalam Babad Diponegoro, Babat Majapahit dan Para Wali dan Babad Demak yang lain, adalah menguburkan diri dalam tanah. Disebutkan bahwa Raden Said dipendam dalam tanah selama 100 hari.18 <br /><br />Agak berbeda dengan cerita tersebut, dalam Babad Tanah Jawi terbitan Balai Pustaka, di sana dinyatakan, sebagai ujian kepatuhan raden Said untuk berguru pada Sunan Bonang maka raden Said diminta untuk menunggui tongkatnya. Sedemikian patuhnya raden Said dalam memenuhi permintaan Sunan Bonang sehingga satu tahun kemudian Sunan Bonang menjenguknya kembali. Keadaan tempat telah menjadi hutan, dan hanya dengan mengucapkan salam Sunan Bonang dapat melenyapkan hutan itu sehingga tampaklah raden Said. Akan tetapi Raden Said hanya diraba denyut jantungnya , kemudian ditinggalkan lagi selama satu tahun lagi sehingga genaplah dua tahun Raden Said bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang . setelah diajari ajaran-ajaran tentang ilmu, diminta pergi dan agar senantiasa taat pada Tuhan. Selama satu tahun kemudian Raden Said berkhulewat dan setelah itu dia pergi ke arah barat menuju Cirebon dan bertempat tinggal di sebuah hutan sepi yang disebut kalijaga. Di situlah dia bertapa dengan dua orang temannya dengan cara menjaga sungai di malam hari yakni berendam di dalam sungai. Setelah berhenti bertapa dan telah menjadi orang sakti Raden Said berganti nama menjadi Sunan Kalijaga.<br /><br />Riwayat Hidup<br /><br />1. Guru-guru Sunan Kalijaga<br /><br />Sunan Kalijaga pertama berguru kepada Sunan Bonang, yang dikenal juga dengan nama Makdum Ibrahim. Menurut sumber-sumber sejarah, sebenarnya antara Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga mempunyai hubungan kekerabatan, karena Sunan Ampel Denta, ayah Sunan Bonang, memperistri Nyi Gede Manila, yakni Ibun Sunan Bonang yang tidak lain adalah anak perempuan Wilatikta. Tetapi dalam Babad Tanah Jawi versi yang mana pun, seakan mereka sebelumnya tidak pernah mengenal, setidak-tidaknya Raden Said tidak mengenal Sunan Bonang, sementara menurut salah satu sumber, Sunan Bonang sendiri memang secara sengaja disuruh ayahandanya agar mencari dean menemukan serta mempertobatkan Raden Said dan mengesankan bahwa Sunan Bonang sudah mengenal sebelumnya.<br /><br />Pertemuan yang pertama adalah ketika mereka mengadu ayam, sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu. Dalam banyak cerita tentang pertemuan-pertemuan pertama antara kedua orang itu menyatakan bahwa di bawah asuhan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga pada awal mulanya merupakan seorang anak muda yang nakal, akhirnya dapat ditobatkan hingga jadi waliullah.<br /><br />Kemudian Sunan Kalijaga juga berguru kepada Syekh Sutabris di Pulau Upih. Yang dimaksud pulau Upih ialah bagian kota malaka yang terletak di sebelah utara sungai, yang pada akhir abad XV merupakan daerah perdagangan yang paling ramai di kota itu, di mana banyak pedagang dari pulau jawa yakni dari daerah Tuban dan Jepara bertempat tinggal. Demikianlah, sebagaimana dinyatakan dalam naskah sejarah Banten dan menurut naskah ini, Sunan Kalijaga berguru pada Syekh Sutabris. Sunan Kalijaga menetap di tepi sungai kecil di Cirebon dan oleh karenanya kemudian disebut orang pangeran Kalijaga.19 Menurut sumber lain, kepergian Sunan Kalijaga sampai ke pulau Upih sebenarnya dalam perjalanan menyusul Sunan Bonang naik haji ke makkah. Tetapi sampai di pulau Upih itu oleh Syekh Maulana Maghribi disarankan untuk kembali ke jawa membangun masjid, menjadi penggenap wali sembilan. Disarankan oleh Syekh Maulana agar menunggu gurunya itu di atas kayu ditepi kali. Kembalilah Sunan Kalijaga ke jawa dan menetap di suatu desa di Cirebon, dan disinilah kemudian ia bertemu kembai dengan Sunan Bonang, setelah menunggu selama 100 hari. Desa yang dimaksud itu adalah desa kalijaga.<br /><br />Menurut Serat Kandaning ringgit Purwa, Sunan Kalijaga pergi naik haji bukan menyusul Sunan Bonang, tetapi justru kepergiannya atas saran Sunan Bonang setelah mendapatkan berbagai ajaran pengetahuan agama dan belum dianggap sempurna kebajikan lahiriyahnya kalau belum pergi haji ke makkah.<br /><br />Di Cirebon, setelah membuat pemukiman baru lengkap dengan perumahan nya, oleh Sunan Bonang diajak pergi ke Giripura menghadap Sunan Gunung Giri yang dianggap sebagai ketua para wali di jawa agar menerima Sunan Kalijaga sebagai wali yang kedelapan.<br /><br />Adapun gurunya yang ketiga adalah Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dalam beberapa sumber seperti Babad Dipanegara, Babad Tdanah Jawi maupun Babad Demak selain versi Cirebon, kehadiran Sunan Kalijaga di Cirebon adalah dalam usahanya untuk menambah pengetahuan dengan berkelana, bertapa dari tempat ke tempat lain, sehingga sampailah di desa kalijaga. Menurut salah satu naskah Sunan Kalijaga sebagai Syekh Malaya ditemukan oleh Pangeran Modang yakni Sunan Gunung Jati, dalam keadaan seolah-olah tidak menyadaridirinay bertapa di perempatan jalan di dekat pasar, terlentang tanpa pakaian seama sekali. Tatkala keempat istri pangeran modang tidak mampu menggagalkan / membangunkan Sunan Kalijaga maka Pangeran Modang sendirilah yang berkunjung ke temapt, dan dia baru bisa membangunkan seteah menunggu selama tujuh hari. Akan tetapi, menurut Babad Demak versi Cirebon, kehadiran Sunan Kalijaga ke Cirebon adalah dalam rangkaian dakwahnya sejak dari Rembang-Purwodadi-Salatiga-Kartasura-Kutaarja-Kebumen-Banyumas dan akhirnya sampai ke Cirebon. Disini Sunan Kalijaga sebagai Syekh Malaya diterima sebagai tamu terhormat yang ahli dalam bidang ilmu agama, sebagai penghulu suci.20 Sedangkan menurut naskah sejarah Hikayat Hasanuddin, kedatangan Sunan Kalijaga Dicirebon tidak lepas dari usahanya menyebarkan agama Islam, sekaligus menuntut ilmu pada Sunan Gunung Jati. Dalam fragment itu dituturkan, Sunan Bonang dan Adipati Demak telah pergi berziarah mengunjungi Sunan Gunung jati. Sunan Bonang, Pangeran Adipati Demak dan kaum keluarganya berguru kepada Sunan Gunung Jati. Demikian halnya Pangeran Kalijaga dan pangeran Kadarajad, putra Sunan Ampel yang dibelakang hari terkenal dengan nama Sunan Drajad. Penyebutdan Sunan Kalijaga dengan nama Pangeran Kalijaga dengan jelas menunjukkan, pada waktu itu Sunan Kalijaga masih belum menjadi wali. Tidak ubahnya dengan Sunan Derajad, yang pada waktu itu masih disebut dengan nama Pangeran Kadarajad.21 <br /><br />Pada akhirnya dinyatakan dalam berbagai naskah, Sunan Kalijaga di ambil menantu Sunan Gunung Jati yakni memperoleh adik kandungnya, tetapi apda sumber lain menyebutkan Sunan Kalijaga menikah dengan Ratu Syarifah Jamilah, kakak kandung Sunan Gunung Jati. Selanjutnya Sunan Kalijaga membuka pondok pesantren di daerah kaki bukit gunung jati, yaitu daerah hutan yang baru dibuka menjadi desa, namun belum lagi bernama. <br /><br />Pertanyaan, bagaimanakah para guru-guru Sunan Kalijaga memberikan pengajaran, serta apa pula yang diajarkan mereka. Dalam beberapa sumber nampaknya memang tidak disebutkan. Kalaulah ada, ternyata pula bahwa masing-masing versi sumber menuturkannya dalam alur cerita maupun sudut pandang yang berbeda. Terdapat kecenderungan orang memahami cerita dari sumber babad secara harfiah, tetapi kecenderungan lain beranggapan bahwa banyak hal yang harus dipahami secara tersirat, oleh karena hal itu merupakan cerita sandi ataupun pasemon. Dalam hal ini, untuk memahami cara-cara yang dipergunakan oleh para guru Sunan Kalijaga dalam memberikan ajarannya maupun inti pelajarannya, sebagian pendapat dengan cara menafsirkan cerita sandi ataupun pasemon. Dalam hal ini, untuk memahami cara-cara yang dipergunakan oleh para guru Sunan Kalijaga dalam memberikan ajrannya maupun inti pelajarannya, sebagian pendapat dengan cara menafsirkan cerita sandi itu menyatakan antara lain sebagai berikut: dalam beberapa sumber diceritakan bahwa Sunan Kalijaga pada waktu muda senang berjudi, membegal orang, menjadi perampok dan mencuri. Semua itu sebenarnya hanya perlambang, Sunan Kalijaga seorang bangsawan yang senang sekali menambah pengetahuannya. Tidak peduli dengan cara mencuri, artinya jika ada orang memberi wejangan pada muridnya, beliau pun ikut memperhatikannya. Dan itulah yang disebut “mencuri pengetahuan”. Cerita selanjutnya menyatakan, jika perlu Sunan Kalijaga menjadi perampok, yang dimaksud tidak lain masuk ke rumah orang yang kaya pengetahuan dan dengan paksa minta wejangan. Jika sudah memperolehnya lalu dijadikan bekal berjudi, artinya digunakan untuk mengadakan musyawarah atau perdebatan, yang sudah tentu ada kalanya menang. Jika kalah malah beruntung, oleh karena bisa mendapatkan pengetahuan yang belum diketahui. Oleh karena itu Sunan Kalijaga dikatakan orang senang berjudi, oleh karena dengan jalan demikian pengetahuannya menjadi bertambah banyak.<br /><br />Kebetulan waktu Sunan Kalijaga beradu jago dengan Sunan Bonang, jago Sunan Kalijaga bernama ganden, jago Sunan Bonang bernama tatah. Masudnya, waktu Sunan Kalijaga berbantahan dengan Sunan Bonang pengetahuan Sunan Kalijaga masih kurang tajam. Oleh karenanya diibaratkan Ganden melawan Tatah. Oleh karena kekalahan Sunan Kalijaga mengancam dan membegal Sunan Bonang, dengan maksud mau membegal pengetahuannya. Waktu bertemu, Sunan Bonang diceritakan memakai pakaian dan perhiasan yang sangat berharga. Maksudnya adalah, Sunan Bonang ternyata menanggapi maksud Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga diberi beberapa keterangan ihwal kenikmatan tuhan yang berupa panca indera, yang diibaratkan berupa buah kolang-kaling yang telah berujud menjadi emas, intan berlian dan batu permata berharga, semua itu dari keindahan wejangan dan dari nikmatnya Sunan Kalijaga menerimanya. Sunan Kalijaga merasa terpikat, oleh karenanya Sunan Kalijaga lalu mengikuti Sunan Bonang. Sunan Bonang sendiri waktu melihat keinginan Sunan Kalijaga, lalu menerimanya menjadi muridnya, disuruh menjadi cantrik di pondok bersama santri yang lain. Itulah yang dimaksud tapa pendam, bertapa dengan memendam diri, artinya mencegah hawa nafsu dan tidak berhubungan dengan orang-orang yang pada umumnya melakukan perilaku maksiat. Selanjutnya, Sunan Kalijaga telah ditumbuhi gelagah dan alang-alang, artinya selama di pondok, hati Sunan Kalijaga telah ditumbuhi banyak sekali pertanyaan yang belum dimengerti olehnya. Oleh karena itu, Sunan Bonang kemudian menebangi gelagah dan alang-alang itu, maksudnya adalah memberikan banyak sekali keterangan mengenai persoalan-persoalan yang timbul dalam hati Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merasa puas, kemudian disuruh bertapa di sungai, maksudnya tidak lain, Sunan Kalijaga disuruh mensucikan hatinya dengan air tauhid, agar supaya hatinya teguh, tidak terkena bujukan orang lain, tetap dan mantap hati dan perasaannya. Dalam suatu fragmen dituturkan bahwa atas perintah Sunan Ampel Denta, Sunan Kalijaga agar diberi wejangan tentang ilmu filsafat tinggi oleh Sunan Bonang. Ilmu itu diberikan di atas perahu di tengah rawa. Seekor cacing yang ada dalam tanah yang dipakai untuk menambal bagian perahu yang bocor ikut mendengarkan ilmu tersebut kemudian berubah menjadi manusia, dialah Syekh Siti Jenar. Yang dimaksud cacing dalam tanah tersebut adalah tukang satang yakni juru pendayung perahu. Hal itu karena sudah menjadi perlambang ibarat bahwa pada umumnya orang bodoh disebut termasuk jenis hewan. Akan tetapi jika telah pandai, berarti telah purnalah kemanusiaannya. Demikian itu pula halnya dengan juru pendayung perahu yang dimaksud itu, yang sebneranya tidak mengerti alif ba ta, akan tetapi begitu mendengar wejangna adiluhung berasal dari Al-Qur'an seketika itu juga sadar akan kemanusiaannya, malah menjadi manusia sejati.<br /><br />Demikian masih banyak lagi berbagai penuturan dalam naskah babad yang manapun, yang mau tidak mau terpaksa harus menafsirkan apa saja maksud tersurat, oleh karena itu merupakan bahasa kinayah dan terkadang sulit untuk dicerna dengan akal sehat.<br /><br />Adapun initi ajran yang pertama kali diwejang kepada Sunan Kalijaga sesampainya dipondok Bonang sebagaimana banyak disebut dalam banyak naskah kuno tentang Sunan Kalijaga, adalah ilmu “Sangkan Paraning Dumadi”. Ilmu ini pada dasarnya menerangkan soal:<br /><br />1. Dari mana asal-usul kejadian alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya tentang manusia.<br />2. Kemana perginya nanti dalam kelenyapannya sesudah adanya,<br />3. Apa perlunya semua itu adanya sebelum lenyapnya nanti,<br />4. Apa perlunya manusia itu hidup dan<br />5. Apa hidup itu sejatiya. Ilmu sangkan paraning dumadi<br /><br />Inilah yang kemudian juga menjadi wejangan Sunan Kalijaga kepada para putra-wayah dan para muridnya sebagai dasar dan permulaan segala wejangan-wejangan.22 <br /><br />2. Menjadi Wali<br /><br />Menurut sumber naskah sejarah yang mana pun Sunan Kalijaga disebut sebagai salah satu waliyullah yang termasuk dalam walisongo. Kedudukannya sebagai seorang wali, menurut Babad Majapahit dan Para Wali, dikukuhkan di hadapan Sunan Giri yang dianggap sebagai ketua para wali di jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai wali itu sesuai dengan ramalan semula semenjak Sunan Bonang diutus oleh ayahnya, Sunan Ampel Denta untuk mencari dan mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya mempercepat proses ke arah kedudukannya sebagai wali.<br /><br />Sebagai waliyullah, Sunan Kalijaga termasuk orang yang dikasihi allah, sebagaimana pengertian waliyullah adalah “kekasih allah”, Oleh karena itu sebagiaman lazimnya para wali, Sunan Kalijaga memiliki “karamah” pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Di samping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar “Sunan” sebagaimana wali-wali yang lain. Menurutu salah satu penafsiran, kaata “sunan” berasal dari bahasa Arab, kata jamak dair “sunnat” yang berarti tingkah laku, adat kebiasaan. Adapun tingkah laku yang dimaksud adalah yang serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebijakan menurut tuntunan agama islam. Oleh karena itu, seorang sunan akan senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas mereka berdakwah, beramar ma'ruf nahi munkar, memerintah atau mengajak ke arah kebaikan dan melarang perbuatan munkar. <br /><br />Peran Sunan Kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni dan budaya pada umumnya.<br /><br />Diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana banyak disebut dalam naskah babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama wali yang lain dalam mendirikan masjid agung demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid, di samping menjadi sarana peribadatan, juga dipakai sebagai pusat kegiatan dakwah ketika itu sehingga dirasakan perlu adanya, kendatipun sulit untuk menentukan secara pasti kapan masjid tersebut di dirikan. Banyak keterangan antar satu dengan yang lain saling bertentangan. Di antaranya pendapat-pendapat tersebut adalah:<br /><br />1. Menurut Candra Sangkala “naga Salira Wani” berasal dari gambaran petir di pintu tengah, adalah tahun 1388 saka atau tahun 1466 M.<br />2. Ada yang mengatakn berdirinya masjid demak itu pada tahun 1401 saka, ataupun tahun 1479 M. berdasarkan gambaran binatang bulus (penyu) di dalam tembok pengimaman (mihrab) masjid demak, karena gambar bulus itu diartikan sebagai berikut:<br /><br />Kepala bulus : 1<br /><br />Empat kaki : 4<br /><br />Badan Bulus : 0<br /><br />Ekor Bulus : 1 <br /><br />3. Ada lagi yang mengatakan, bahwa berdasarkan tulisan dalam bahasa jawa yang terpacang di pintu muka sebelah atas, bunyinya adalah “Hadegipun masjid yasanipun para wali, nalika tanggal 1 dulka'idah tahun 1428”, yakni bertepat dengan h ari kamis Kliwaon malam ju'at legi atau tahun 1501 M.<br />4. Menurut “Serta Kanda”, jadinya masjid Demak pada thun 1328 saka atau tahun 1407 M. hal ini sebenarnya lebih tidak masuk akal, karena raden patah mulai menjadi raja adalah sekitar 1477 M. dengan demikian, jarak antara waktu mendirikan masjid (tahun 1407 menurut serat kanda) dengan diangkatnya menjadi raja (tahun 1477) adalah 70 tahun. Waktu 70 tahun adalah lam bagi jarak antara berdirinya masjid dengan diangkatnya menjadi raja. Yang lebih masuk akal adalah jarak antaramenetapnya raden patah di Glagah Wangi dengan saat mendirikan masjid serta menjadi raja itu dalam masa yang berurutan, dan dalam masa yang dekat atau tidak begitu lama.<br />5. Menurut buku Babad Demak , berdirinya masjid Demak itu dapat diambil dari arti kata-kata “Lawang Trus Gunaning Janma”, yang menunjukkan angka tahun saka 1399 atau bertepatan dengan tahun 1477 M. keterangan ini kalu disesuaikan dengan gambar bulus, agak mendekati, karena mungkin tahun 1399 saka (=1477) itu sewaktu mulai meletakkan batu pertama, mulai membangun. Setelah dua tahun berjalan, maka jadilah masjid itu pada tahun 1401 Saka (=1479 M)sebagaimana yang dilambangkan dalam gambar bulus, diperingati menurut Candra Sangkala Memet.<br /><br /><br /><br />Masjid Agung Demak menjadi terkenal, tidak saja karena masjid ini dibangun oleh wali, tetapi karena salah satu saka gurunya terdiri dari serpihan kayu-kayu tatal karya dari Sunan Kalijaga yang dikenal dengan sebutan “soko tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga tidak hanya mengupayakan bahan-bahannya, tetapi juga ikut bermusyawarah sebelumnya.<br /><br />Dituturkan dalam salah satu sumber bahwa pembangunan masjid Demak berjalan lancar, masing-masing wali mendapat tugs membwawa empat tiang besar, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Hanya Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah. Jumlah semuanya delapan puluh tiga kurang satu, tatkala semuanya sudah siap, dan waktu mendirikan masjid tinggal satu hari, sementara saka guru kurang satu, maka Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan Kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang saka guru itu. Sunan Kalijaga menyanggupinya, malam-malam menunggui orang mengapak (jawa:methel) kulit bagian luar, dikumpulkan serpihan-serpihan kayu itu, disusun, dilekatkan dengan lem Damar, kemenyan, blendok trembalo, lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari tatal.<br /><br />Adanya soko tatal ini adalah suatu kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa pembuatan Soko tatal sebagai lambang kerukunan danpersatuan. Konon sewaktu mendirikan masjid agung demak, masyarakat Islam ditimpa perpecahan antara golongan, bahkan dalam bekerja mendirikan masjid itu pun terjadi perselisihan-perselisihan berbagai masalah kecil dan sepele. Sunan Kalijaga mendapat ilham, suasut petunjuk dari tuhan dan disusunlah tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh. <br /><br />Kasus lain juga bersamaan para wali yang lain adalah upaya memberantas ajaran akidah yang tidak benar atau pun sesat, yakni ajaran Pantheisme yang disebarkan oleh salah seorang yang semua termasuk dalam kelompok wali yaitu Syekh Siti Jenar. Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa maupun Babad Tanah Jawi dituturkan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati di hadapan sidang pengadilan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Hukum itu dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar oleh karena pengakuannya bahwa dirinya adalah Allah. Ajarannya ten tang ketuhanan yang bersifat Pantheisme di pandang sangat membahayakan karena mengakibatkan masyarakat islam ketika itu meninggalkan Syara'. Faham itu disebut juga faham Wahdatul Wujud manunggaling Kawula Gusti.<br /><br />Dengan kasus hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar tersebut, Sunan Kalijaga bersama wali lainnya tidak kompromi dengan keyakinan yang memang sangat membahayakan, meskipun pendekatan yang dipakai para wali dalam berdakwah juga dengan menggunakan pendekatan sufistik, tetapi sufisme yang diantu oleh Kalijaga bukanlah sufisme yang beraliran pantheisme, tetapi sufisme yang tetap menganut aqiah ahlussunah wal jamaah.<br /><br />Sebenarnya pandangan Sunan Kalijaga jika dibanding dengan pandangan Sunan Ampel maupun Sunan Giri terhadap sisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam arti tidak mau memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa rakyat akan lari begitu dihantam dan diserang pendiriannya. Dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jarang terus diberantas, tetapi hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara merubah nya adalah sedikit-demi sedikit, member warna yang baru kepada yang lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila rakyat telah mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang sendiri mana yang tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang tidak sesuai dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari belakang sambil mempengaruhi, atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa Islam.<br /><br />Sikap seperti itu telah pada berbagai karyanya yang kalau dilihat dari kacamata kebudayaan cenderung mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan yang baru hasil kreasinya ke arah yang lebih islami. Sementara itu, kalau dilihat dari segi akidah, Sunan Kalijaga cenderung pada sinkritisme. Sebagai contoh, pendirian seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang gambar bulus di Mihrab masjid agung Demak yang bisa dipandang sebgai hasil karyanya, sebagaimana ide pembuatan soko tatal. Bulus adalah binatang yang hidup di dua alam di daratan dan di air, dan menurut masyarakat Islam hukumnya haram,tetapi mengapa gambarnya ditempatkan pada mihrab masjid yang justru tempat suci bagi orang Islam. Ternyata itu juga merupakan suatu bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu dimana pemeluk agama lama di ingatkan bahwa di dalam masjid juga ada suatu lambang kesucian dan keabadian, sebagaimana kepercayaan agama lama (Budha) memandang bulus sebagai binatang suci. Hanya saja, kesucian dan keabadian dalam Islam diperoleh dengan cara melaksanakan shalat berbakti ke pada Allah Yang Maha Esa, biar hidup abadi di alam baqa nanti dengan bahagia.<br /><br />Dalam media dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, termasuk juga kesenian wayhang. Bahkan terhadap kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari wayang b eber yang memang sudah ada sejak zaman Erlangga. Di antara wayang ciptaan Sunan Kaijaga bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah wayang Punakawa Pandawa yang terdiri dari semar, Petruk, Garang dan Bogong. Wayang itu sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dawahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan media yang efektif, dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (Memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenalah berbagai nama samaran baginya dikenal dengan nam Ki Dalam Sida Brangti, bila mendalang di Tegal dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, tetapi bila mendalang di daerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung.<br /><br />Peranannya dalam politik pemerintahan sudah dimulai sejak awal berdirinya kesultanan Demak sampai akhir Kesultanan itu. Bersama-sama dengan para wali yang lain, dalam suatu kelembagaan walisongo di mana salah seorang anggotanya adalah Sultan Demak sendiri, menunjukkan betapa penting peran wali ini dalam politik dan pemerintahan waktu itu. Dalam rangka dakwah Islam maka fungsi para waliyul amri itu adalah memberi nasihat tentang pelaksanaan tata pemerintahan agar senantiasa dijiwai roh Islam. Sebagai contoh, konon di antara wejangan Sunan Kalijaga teknik pembangunan kota Kabupaten maupun Kotapraja yang selamanya tampak di dalamnya terdapat empat bangun yaitu: 1) istana Keraton atau Kabupaten, 2) alun-alun, 3) satu atau dua pohon beringin, 4) masjid. Letaknya juga sangat teratur, yaitu letak kabupaten atau kraton selalu memangku alun-alun dengan pohon beringin di tengah alun-alun, membelakangkan gunung atau menghadap laut, dan letak masjid selalu di sebelah baratnya. Tata letak yang sedemikian itu di dasarkan atas falsafath baldatun thoyyibatun wa rabun Ghafur, negeri yang sejahtera diridhai oleh Tuhan. Akan tetapi peran para wali yang terdiri dari delapan orang waliyul amri dan seorang imam itu pada zaman kesultanan pajang sudah tidak berfungsi lagi, karena pada masa ke kesultanan ini lembaga walisongo telah dibubarkan dan diganti dengan lembaga baru yang terdiri dari seorang Sultan Dan delapan orang nayaka atau pelayanan. <br /><br />3. Akhir Hayat Sunan Kalijaga<br /><br />Tidak jelas kapan Sunan Kalijaga wafat, tetapi secara umum masyarakat memaklumi bahwa makam Sunan Kalijaga berada di desa Kadilangu. Tiap tahun tanggal 10 Dzulhijah diadakan ziarah resmi yang diselenggarakan oleh panitia besaran ziarah resmi yang diselenggarakan oleh panitia besaran dari Masjid Agung Demak ke makam Kadilangu. Memang Babad Tanah Jawi menuturkan kepindahan Sunan Kalijaga dari Cirebon ke demak dan menetap di Kadilangu. Kepindahan itu atas permintaan sultan. Setiap bulans ekali Sunan Kalijaga datang ke Demak dari tempat tinggalnya di Kalijaga, Cirebon. Dituturkan dalam buku itu bahwa yang menjemput adalah Sultan sendiri dengan disertai dua puluh ribu pengikut. Di Kadilangu pekerjaan Sunan Kalijaga mengajar mengaji agama Rasul, sehingga banyak pula murid yang menetap di dusun itu. <br /><br />Akan tetapi adalah pendapat lain yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga dimakamkan di Cirebon. Kira-kira dalam jarak 2 ― Km. Ke arah barat daya darikotad Cirebon di sana terdapat pula sebuah desa bernama Kadilangu. Di desa inilah Sunan Kalijaga dimakamkan dan memang desa itu pula merupakan tempat tinggal resmi sewaktu beliau masih hidup. Makam Sunan Kalijaga dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan ramai diziarahi orang sebagai mana makma di Kadilangu Demak. Mereka yang mempercayai bahwa Sunan Kalijaga di makamkan di Cirebon mengajukan bukti bahwa masjid kesepuhan alun-alun Cirebon terdapat soko tatal seperti halnya yang terdapat di Demak. Dan menurut kepercayaan mereka, yang dimakamkan di Kadilangu Demak itu hanyalah benda-benda peninggalan nya saja. Beberapa sumber yang membenarkan keterangan itu antara lain:<br /><br />1. Serat Sejarah Banten, oleh Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat.<br />2. Serat Walisongo, dari Sadu Budi, 1955<br />3. Serat Syekh Malaya, dari Musium Sana Pustaka<br />4. Babad Cirebon, Penghulu Abdul Qohar<br />5. Kitab Wali Sepuluh, oleh Tan Koen Swie, 1950<br /><br />Menurut K.G.P.H. Hadiwijaya, Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang berasal dari harjamukti, sebuah dusun yang berjarak kira-kira 2 ― Km. Sebelah selatan kota Cirebon. Ia menetap di dusun itu dan dimakamkan di sana pula.23<br /><br />Kenyataan adanya dua makam bagi Sunan Kalijaga bukanlah merupakan hal yang mengherankan, karena beberapa tokoh wali yang lain dipercayai oleh masyarakat mempunyai makam di berberapa tempat. Namun, menurut para ahli, bila terdapat makam dari satu pribadi di dua tempat, maka jasad nya tetap dimakamkan di satu tempat saja, sedangkan makam yang lain hanyalah merupakan petilasan atau penguburan barang-barang peninggalan tokoh yang bersangkutan.<br /><br />Catatan Kaki<br /><br /><br />1. Lembaga Riset dan Survai IAIN Walisongo semarang, Bahan-bahan Sejarah Islam di Jawa Tengah Bagian Utara, Laporan Penelitian, 1982, hlm. 17<br />2. Amen Budiman, Walisanga Antar Legenda dan Fakta Sejarah, Penerbit Tanjung Sari, Semarang, 1982, hlm. 69<br />3. Ibid, hlm. 70<br />4. Lembaga Research & Survey IAIN Walisongo Semarang, Op.Cit, hlm. 17<br />5. Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Penerbit Menara, Kudus, 1974, hlm. 4<br />6. Ibid,<br />7. Ibid, hlm. 5<br />8. Ibid, hlm. 9<br />9. Ibid, hlm 10-11<br />10. Amen Bidiman, Op.Cit, hlm, 66-69<br />11. Ki M.A. Machfoed, Sunan Kalijaga, Jilid I, Penerbit Yayasan An-Nur, Yogyakarta, 1970, hlm. 23-24<br />12. Amen Budiman, Op.Cit. hlm. 68<br />13. G.P.H. Hadiwidjoyo, Kalidjaga, Saresehan Radyapustaka, Surakarta, 7Mei 1956, hlm. 5<br />14. Ibid, hlm. 14-16<br />15. Ibid, hlm. 8<br />16. Ibid, hlm. 13<br />17. Ki M.A. Machfoed, Op. Cit. hlm. 14-17<br />18. Ibid, hlm. 19<br />19. Amen Budiman, Op. Cit. hlm. 69<br />20. Ki M.A. Machfoed, Op. Cit, hlm. 21<br />21. Amen Budiman, Op. Cit. hlm. 18<br />22. Ki. M.A. Machfoed, Op. Cit. hlm. 18<br />23. Umar Hsyim, Op. Cit. hlm. 67</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-20137241589470777882011-09-04T07:07:00.000-07:002011-09-04T07:07:18.588-07:00Arya Penangsang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Aryo Penangsang...Perebutan Kekuasaan di Kerajaan Demak <br /><br />Arya Penangsang atau Arya Jipang atau Ji Pang Kang[1] adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.<br /><br />SILSILAH<br /><br />Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.<br />Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").<br />Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.<br /><br />AKSI PEMBUNUHAN<br /><br />Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.<br />Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.<br />Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.<br />Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.<br />Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.<br />Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.<br /><br />SAYEMBARA<br /><br />Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.<br />Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.<br />Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.<br /><br />KEMATIAN<br /><br />Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.<br />Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.<br />Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.<br />Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.<br /><br />DAMPAK BUDAYA<br /><br />Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-80189736157631969842011-09-04T07:05:00.000-07:002011-09-04T07:05:33.020-07:00Kerajaan Sunda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.<br /><br />Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.<br /><br />Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.<br /><br />Jayabhupati<br /><br />Sebenarnya nama Sunda pernah disebut didalam prasasti yang temukan di desa Kebon Kopi Bogor. Prasasti itu berangka tahun 854. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Melayu Kuno, isinya tentang seorang Rakrayan Juru Pengambat yang memulihkan raja Sunda. Sumber kesusastraan yang sampai kepada kita adalah Carita Parahyangan (dari akhir abad ke-16) kitab lain yang juga menyebut kerajaan Sunda adalah Kitab “Siksa Kandang Karesia” (1518), berita Cina dari masa Dinasti Ming menyebut adanya kerajaan Sunda.<br /><br />Didalam kita Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaan itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.<br /><br />Setelah masa pemerintahan JayaBhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka.<br /><br />Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1354. dalam pertempuran itu raja Sunda bersama-sama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk, marah besar kepada Gajah Mada, lalu Gajah Mada dipecat dari jabatannya.<br /><br />Sri Baduga Majaraja<br /><br />Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram. Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-81034432378319604112011-09-04T07:04:00.000-07:002011-09-04T07:04:17.323-07:00Suluk Sujinah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Sifat Perbuatan Lahiriyah<br /><br />Agampang janma sembayang, nora angel wong angaji, pakewuhe wong agesang, angadu sukma lan jisim, salang surup urip, akeh wong bisa celathu, sajatine tan wikan, lir wong dagang madu gendhis, iya iku wong kandheng ahli sarengat.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Adalah mudah manusia sembahyang, tidaklah sesulit orang memuji, rintangan hidup adalah mengadu sukma dan tubuh, salah paham kehidupan, banyak orang bisa bicara, nyatanya tidak mengetahui, sperti orang berdagang madu gula, orang yang terhenti sebagai ahli syariat.<br /><br />Sang Dyah kasmaran ing ngelmi, tan nyipta pinundhut garwa, amaguru ing batine, kalangkung bekti ing priya.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Si cantih gemar belajar ilmu, tidak mengira akan diperistri, dalam hati ia berguru dan sangat berbakti kepada suami.<br /><br />Mung tuwan panutan ulun, pangeran dunya ngakerat.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Hanya tuan yang kuanut, pujaan di dunia dan akhirat.<br /><br />Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan ………, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Ketiga disebut banyuara, yakni tapa istri utama, artinya mampu menyaring kata, tutur kata sanak saudara, tidak mudah mematuhi dan meiru, dalam hati hanya bertekad mematuhi nasehat suami. <br /><br />Dyah Ayu Sujinah lon aturnya, adhuh tuwan nyuwun sihnya sang yogi, tan darbe guru lyanipun, kajawi mung paduka, dunya ngakir tuwan guru laki ulun.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Dyah Ayu Sujinah berkata perlahan, “aduhai, aku mohan belas kasihan, aku tidak mempunyai guru lain, kecuali hanya paduka, di dunia dan akhirat, tuanlah guruku”.<br /><br />Dyah Ayu Sujinah umatur ngabekti, langkung nuwun pangandika tuwan, kapundhi ing jro kalbune, dados panancang emut, karumatan sajroning budi.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Dyah Ayu Sujinah berkata dengan hormat, “sangat berterimakasih atas penjelasanmu, kuingat dalam hati baik-baik, dan kulakukan”. <br /><br />Seseorang yang hanya terhenti pada tahap syariat diibaratkan sebagai berdagang madu gula. Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia pasti akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai laku amal.<br /><br />Dalam hubungan suami istri, dilukiskan bahwa keutamaan seorang istri ialah wajib setia bakti patuh kepada suami. Suami diibaratkan sebagai guru yang harus dianut tanpa kecuali, dan sebagai pujaan di dunia dan akhirat.istri yang dipandang utama ialah istri yang mampu menyaring tutur kata orang lain, tidak mudah terpengaruh siapapun, hanya patuh dan tunduk kepada nasihat suami.<br /><br />Mati Dalam hidup<br /><br />Laku ahli tarikat, ibarat mati di dalam hidup, semata-mata hanya mematuhi kehendak Tuhan. Kemudia dijelaskan tentang empat macam tapa, yaitu tapa ngeli : “berserah diri dan mematuhi sembarang kehendak Tuhan, tapa geniara : “tidak sakit hati apabila dipercakapkan orang”, tapa banyuara : “mampu menyaring kata dan tutur kata sanak saudara, tidak terpengaruh orang lain, hanya mematuhi nasehat suami”, dan tapa Ngluwat : “tidak membanggakan kebaikan, jasa maupun amalanya”. Terhadap sesama selalu bersikap rendah hati dan tidak gemar cekcok, lagi pula ia menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang akan menjerumuskan dalam kesesatan. Mempunyai pengertian yang mendalam bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan, adalah sama, setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan.<br /><br />Lakune ahli tarikat, atapa pucuking wukir, mungguh Hyang Suksma parenga, amati sajroning urip, angenytaken ragi, suwung tan ana kadulu, mulane amartapa, mrih punjul samining janmi, wus mangkana kang kandheg aneng tarekat.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Laku ahli tirakat adalah bertapa di puncak gunung, sekiranya Tuhan meridhoi mati di dalam hidup, menghanyutkan diri, kosong tidak ada yang terlihat, oleh karena itu bertapa agar melebihi sesamayan, demikianlah barang siapa yang terhenti pada tarikat.<br /><br />Dhihing ingkang aran tapa, iya ngeli lire pasrah ing Widi, apa karsane Hyang Agung, iya manut kewala, kadya sarah kang aneng tengahing laut, apa karsaning Pangeran, manungsa darma nglakoni.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Pertama, yang disebut tapa ngeli yakni, mengahayutkang diri, artinya berserah diri kepada Tuhan, sebarang kehendak-Nya patuhi sajalah, ibarat sampah di tengah laut, sebarang kehendak Tuhan manusia hanya pelaksana semata.<br /><br />Ping kalih kang aran tapa , geniara adadi laku ugi, ana dene artinipun, malebu dahana, lire lamun kabrangas ing ujar …. den ucap ing tangga, apan ta nora sak serik.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Kedua, yang disebut tapa geniara menjadi laku juga, adapun artinya ialah masuk kedlam api, maksudnya jika terbakar oleh kata-kata dan dipercakapkan tetangga tidak sakit hati.<br /><br />Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan gumampang anggugu, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Ketiga, disebut banyuara, yakni tapanya istri utama, artinya mampu menyaring kata-kata atau tutur kata sanak saudara, tidak mudah mengikuti dan meniru orang lain, dalam hati bertekad mematuhi nasehat suami.<br /><br />Tapa kang kaping sekawan, tapa ngluwat mendhem sajroning bumi, mengkene ing tegesipun, aja ngatonken uga, marang kabecikane dhewe puniku, miwah marang ngamalira, pendhemen dipun arumit.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Tapa yang keempat adalah tapa ngluwat, memendam diri di dalam tanah, beginilah maksudnya ; jangan memperlihatkan juga kebaikan diri sendiri, demikian pula amalmu pemdamlah dalam-dalam.<br /><br />Lawan malih yayi sira, dipun andhap asor marang sasami, nyingkirana para padu, utamane kang lampah, tarlen amung wong bekti marang Hyang Agung, iku lakuning manungsa, kang menang perang lan iblis.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Lagi pula dinda, bersikaplah rendah hati terhadap sesama, jauhilah sifat gemar cekcok, seyogyanya laku itu tiada lain hanya hanya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Agung, itulah laku manusia yang menang berperang dengan iblis.<br /><br />Iku benjang pinaringan, ganjaran gung kang menang lawan iblis, langkung dening adiluhung, suwargane ing benjang, wus mangkono karsane Hyang Mahaluhur, perang lan iblis punika, sajatining perang sabil.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Kelak akan mendapat annugerah besar, barang siap menang melawan iblis, sangat indah mulia surga firdausnya kelak, memang demikianlah kehendak Tuhan yang Mahaluhur, perang melawan iblis itu nyata-nyata perang sabil.<br /><br />Yayi perang sabil punika, nora lawan si kopar lawan si kapir, sajroning dhadha punika, ana prang bratayudha, langkung rame aganti pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku latining prang sabil.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Dinda, perang sabil itu bakan melawan kafir saja, di dalam dada itu ada perang baratayuda, ramai sekali saling pukul-memukul yaitu perang melawan dirinya nafsu, itulah sesungguhnya perang sabil. <br /><br />Kutipan diatas bermakna bahwa sebagai hamba Tuhan sikapnya hendaklah selalu sadar percaya, dan taat kepada-Nya. Dalam mengarungi samudra kehidupan, agar tidak sesat. Kecuali itu, karena menurut kodratnya manusia bukan makhluk soliter, yang dapat hidup sendiri, memenuhi segala kebutuhan sendiri, melainkan adalah makhluk sosial. Dalam tata pergaulan hidup bermasyarakat hendaklah mematuhi nilai-nilai hidup dan mempunyai watak terpuji, ialah sabar penuh pengertian, berbudi luhur, rendah hati, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh maupun congkak, tidak iri maupun dengki dan bersyukur atas barang apa yang telah dicapai berkat ridla Tuhan. Di samping itu hendaklah sadar bahwa manusia itu bersifat lemah, ibarat wayang yang hanya dapat bergerak atas kuasa dalang.<br /><br />Sifat Ahli Hakikat<br /><br />Lakune ahli hakekat, sabar lila ing donyeki, laku sirik tan kanggonan, wus elok melok kaeksi, rarasan dadi jati, ingkang jati dadi suwung, swuh sirna dadi iya, janma mulya kang sejati, pun pinasthi donya ngakir manggih beja.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Laku ahli ahli hakikat adalah, sabar ikhlas di dunia, tidak musrik, nyata-nyata telah tampak jelas,pembicaraan menjadi kesejatian, yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada, manusia mulia yang sejati, telah dipastikan ia didunia akhirat mendapat kebahagian.<br /><br />Sang wiku dhawuh ing garwa, ingkang aran bumi pitung prakawis, kang aneng manungsa iku, pan wajib kaniwruhan, iku yayi minangka pepaking kawruh, yen sira nora weruha, cacad jenenge wong urip.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Sang pertapa berkata kepada istrinya, yang dinamai tujuh lapis bumi, yang ada pada diri manusiaitu, wajib diketahui, dinda itu sebagai kelengkapan ilmu, jika kau tidak mengetahuinya, cacad namanya bagi orang hidup.<br /><br />Bumi iku kawruhana, ingkang aneng badan manungsa iki, sapisan bumi ranipun, ingaranan bumi retna, kapindho ingkang aran bumi kalbu, bumi jantung kaping tiga, kaping catur bumi budi.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Katahuilah bumi, yang ada pada tubuh manusia itu, pertama namanya bumi retna, yang kedua bernama bumi kalbu, ketiga bumi jantung, keempat bumi budi.<br /><br />Ingkang kaping lima ika, bumi jinem arane iku yayi, kaping nenem puniku, ingaranan bumi suksma, ping pitune bumi rahmat aranipun, dhuh yayi pupujan ingwang, tegese ingsun jarwani.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Yang kelima, bumi jinem namanya, yang keenam dinda, dinamai bumi sukma, ketujuh bumi rahmat namanya, aduhai dinda pujaanku, artinya ku jelaskan begini.<br /><br />Ingkang aran bumi retna, sajatine dhadhanira maskwari, bumine manungsa tuhu, iku gedhong kang mulya, iya iku astanane islamipun, dene kaping kalihira, bumi kalbu iku yayi.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Yang dinamai bumi retna, sesungguhnya dadamu dinda, benar-benar bumu manusia, itu gedung mulia, menurut islam itu istana, adapun yang kedua, itu bumi kalbu dinda.<br /><br />Iku yayi tegesira, astanane iman iknag sejati kaping tiga bumi jantung, yaiku ingaranan, astanane anenggih sakehing kawruh, lan malih kaping patira, kang ingaranan bumi budi.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Adapun artinya, istana iman sejati ketiga bumi jantung, yaitu dinamai istana semua ilmu, dan lagi yang keempat, yang dinamai bumi budi.<br /><br />Iku yayi, tegesira, astanane puji kalawan dzikir, dene kaping gangsalipun, bumi jenem puniku, iya iku astane saih satuhu, nulya kang kaping nemira, bumi suksma sun wastani.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Dinda, itu artinya istana puji dan dzikir, adapun yang kelima , bumi jinem itu, istana kasih sejati, kemudian yang keenam, kunamai bumi sukma.<br /><br />Ana pun tegesira, astananing sabar sukur ing Widi, anenggih kang kaping pitu, ingaranan bumi rahmat, kawruhana emas mirah tegesipun, astananing rasa mulya, gantya pipitu kang langit.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Adapun artinya, istana kesabaran dan rasa syukur kepada Tuhan, adapun yang ketujuh, dinamai bumu rahmat, dinda sayang, ketahuilah artinya, istana rasa mulia, kemudian berganti tujuh langit.<br /><br />Kang aneng jroning manungsa, kang kaping pisan ingaranan roh jasmani, dene kaping kalihipun, roh rabani ping tiga, roh rahmani nenggih ingkang kaping catur roh rohani aranira, kaping gangsal ingkang langit.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Yang ada dalam diri manusia, yang pertama disebur roh jasmani, adapun yang kedua roh rohani, ketiga roh rahmani, yang keempat roh rohani namanya, langit yang kelima.<br /><br />Roh nurani aranira, ingkang kaping nenem arane yayi, iya roh nabati iku, langit kang kaping sapta, eroh kapi iku yayi aranipun, tegese sira weruha, langit roh satunggil-tunggil.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Roh nurani namanya, yang keenam dinda, ialah roh nabati, langit yang ketujuh, roh kapi itu dinda namanya, ketahuilah artinya langit roh masing-masing.<br /><br />Tegese langit kapisan, roh jasmani mepeki ing ngaurip, aneng jasad manggonipun, langit roh rabaninya, amepeki uripe badan sakojur, roh rahmani manggonira, mepeki karsanireki.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Arti langit pertama, roh jasmani memenuhi kehidupan, di tubuh tempatnya, langitroh rabani, memenuhi hidup sekujur tubuh, roh rahmani tempatnya, memenuhi pada kehendakmu.<br /><br />Langit roh rohani ika, amepeki ing ngelminira yayi, langit roh nurani iku, mepeki cahya badan, roh nabati amepeki idhepipun, iya ing badan sedaya, langit roh kapi winilis.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Langit roh rohani itu, memenuhi dalam dirimu, langit roh nurani itu, memenuhi cahaya tubuh, roh nabati memenuhi pikiranmu, dan seluruh tubuh, langit roh kapi disebut-sebut.<br /><br />Mepeki wijiling sabda, pan wus jangkep cacahing pitung langit, eling-elingen ing kalbu, apa kang wus kawedhar, amuwuhi kandeling iman, ……….<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Memenuhi terbabarnya sabda, telah lengkaplah jumlah tujuh langit, ingat-ingatlah dalam hati, apa yang telah terungkap, menambah tebalnya iman.<br /><br />Laku ahli hakikat adalah sabar, tawakal, tulus iklas. Pada tahap ini manusia telah mengenal jati dirinya, yang dilambangkan terdiri dari atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan ilmu. Kesemuanya berasal dari Tuhan, dan semua itu menambah tebalnya iman. Wujudnya sebagai wadah ilmu, dan ilmunya ada pada Tuhan. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, kerdil atau fanatik, dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat-menghormati keyakinan orang lain, karena tahu bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersember satu itu, hakikatnya sama. Ibarat sungai-sungai dari gunung manapun mata airnya, pasti akan bermuara ke laut juga. Sebaliknya jikalau ia memperdebatkan kulit luarnya, berarti beranggapan benar sendiri, dan belum sampai pada inti ajaran yang dicari. Orang yang telah sampai tahap hakikat, tidak munafik dan tidak mempersekutukan Tuhan.<br /><br />Inkang ana jroning badan kabeh, pan punika saking Hyang Widi, wujud ingkang pasthi, wawadhahing ngelmu.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Semua yang ada di dalam tubuh, itu dari Tuhan, wujud yang pasti, sebagai tempat ilmu.<br /><br />Iya ngelmu ingkang denwadhahi, ana ing Hyang Manon, poma iku weling ingsun angger, den agemi lawan den nastiti, tegese wong gemi, ywa kongsi kawetu.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Ilmu yang diwadahi, ada pada Tuhan, teristimewa sekali pesanku nak, hemat dan telitilah, arti orang hemat, jangan sampai keluar.<br /><br />Dene ta tegese wong nastiti, saprentah Hyang Manon, den waspada sabarang ngelmune, terusana lahir tekeng batin, ywa padudon ngelmu, lan wong liya iku.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Adapun arti orang teliti, akan semua perentah Tuhan, hendaknya waspada terhadap sabarang ilmu, seyogyanya teruskanlah lahir sampai batin, jangan bercekcok tentang ilmu, dengan orang lain.<br /><br />Yen tan weruh ngelmune Hyang Widi, tuna jenenging wong, upamane kaya kali akeh, ana kali gedhe kali cilik, karsanira sami, anjog samudra gung.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Jika tidak mengetahui ilmu Tuhan, berarti rugi sebagai manusia, ibarat seperti sungai banyak, ada sungai besar ada sungai kecil, kehendaknya sama, bermuara di samudra raya.<br /><br />Sasenengan nggennya budhal margi, ngetan ana ngulon, ngalor ngidul saparan-parane, suprandene samyanjog jaladri, ywa maido ngelmi, tan ana kang luput.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Sesuka hati orang mencari jalan, ada yang ketimur, kebarat ke utara ke selatan dan kemana saja perginya, tetapi semua bermuara di laut, jangan mempercayai ilmu, tak ada yang keliru. <br /><br />Lir kowangan kang cupet ing budi, sok pradondi kawruh, sisih sapa ingkang nisihake, bener sapa kang mbeneraken yayi, densarwea pasthi, amung ngajak gelut.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Ibarat kumbang air yang berbudi picik, kadang bertengkar ilmu, bila salah siapakah yang menyalahkan, bila benar siapa yang membenarkan dinda, jika singgung pasti, hanya mengajak bergelut.<br /><br />Papindhane wong sumuci suci, iku kaya endhog, wujud putih amung jaba bae, njero kuning pangrasane suci, iku saking warih, warna cilam-cilum.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Ibarat orang yang mengaku suci, seperti telur, berwujud putih hanya luarnya saja, dalamnya kuning menurut perasaannya suci, itu dari air, berubah-ubah.<br /><br />Wong mangkana tan patut tiniru, yayah kayu growong, isinira tan liyan mung telek, nadyan bisa tokak-tokek muni, tan pisan mangerti, ucape puniku.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Orang seperti itu tidak patut dicontoh, seperti kayu berlubang, isinya tidak lain hanya tokek, sekalipun bisa berbunyi tekek-tekek, sama sekali tidak mengerti, apa ucapanya itu.<br /><br />Poma yayi den angati-ati, ujar kang mangkono, den karasa punika rasane, rinasakna sucine wong ngelmi, kang kasebut ngarsi, lir sucining kontul.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Teristemewa sekali dinda berhati-hatilah, kata seperti itu, rasakanlah hahekatnya, rasakanlah kesucian orang berilmu, yang tersebut didepan, seperti kesucian burung bagau.<br /><br />Kicah-kicih anggung saba wirih, angupaya kodhok, lamun oleh pinangan ing enggen, wus mangkono watak kontul peksi, sandhange putih, panganane rusuh.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Berulangkali selalu pergi di tempat berair, mencari katak, jika telah dapat dimakan ditempat, memang demikian perangai burung bagau, pakaiannya putih, makanannya kotor.<br /><br />Ywa mangkono yayi wong ngaurip, poma wekas ingong, den prayitna rumeksa badane, aywa kadi watak kontul peksi, mundhak niniwasi, dadi tanpa dunung.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Dinda, janganlah demikian orang hidup, teristemewa sekali pesan ku, berhati-hatilah menjaga tubuh, jangan seperti perangai burung bangau, karena memyebabkan celaka, sehingga tanpa tujuan.<br /><br />Mituhua pitutur kang becik, yayi den kalakon, nyingkir ana jubriya kibire, lan sumungah aja anglakoni.<br /><br />Terjemahan :<br /><br />Patuhilah nasihat utama dinda, semoga terlaksana, singkirkan watak congkak dan takabur, dan jangan pula angkuh.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-21917188390852816322011-09-04T07:01:00.000-07:002011-09-04T07:01:20.242-07:00Serat Dewi Ambarini<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Serat Babad Nitik kangjeng Sultan Agung, nyariyosaken wiwit<br />Dewi Ambararini, putrinipun ratuning jim linamar raja wolung nagari<br />ngantos dhaupipun sang Dewi kaliyan Bambang Ernawarya.<br /><br /><ol style="text-align: left;">
<li>Duk manitra tinembang artati, Slasa Wage lek salikur wulan.</li>
<li>Sri Narendra sampun lenggah, aneng bangsal kencana kinen nitik.</li>
<li>Genti ingkang kacarita, nagari Daksinatasik.</li>
<li>Kuneng genti kang winuwus, nagari Daksinatasik.</li>
<li>Sinegeg Daksinatasik, genti cinarita.</li>
<li>Genti kocap ing Daksinatasik, wau sang akatong.</li>
<li>Cinarita dutane para raja, kang sami angulati.</li>
<li>Sapraptene kapatihan kyai patih, Bambang Ernawarya.</li>
<li>Genti kocap nerendra Matawis, kangjeng Sutan Agung kitha Karta.</li>
<li>Ginenti kang cinarita, lampahira Bambang Ernawaryeki.</li>
<li>Sampun sami angandika, lenggah bangsal Sri Bupati.</li>
<li>Bambang Ernawarya muwus, andika langkung prayogi.</li>
<li>Sang nata duk amiyarsi, sungkawa anemu suka.</li>
<li>Enjing praptaning ubaya ari, Sri Narendra miyos.</li>
<li>Angandika wau Dyah Ambararini, eh Arya Nirbawa.</li>
<li>Sapraptaning wisma Arya Adipatya, tandya karya kinteki.</li>
<li>Kawarnaa arya Adipati, sang Udarapati Pramasadha.</li>
<li>Tengara bendhe tinembang, sinauran tabah-tabahan juri.</li>
<li>Wus bibar kang prang tandhingan, rajeng sadhaha sadasih.</li>
<li>Lampahira rajasunu, radyan Matyuna sarakit.</li>
<li>Kalamarcu Sri Bupati, sampun mangsah ing ranangga.</li>
<li>Catur raja sawusnya miyarsi, saraseng pamaos.</li>
<li>Wau sang Dyah dayita umatur aris, inggih putra tuwan.</li>
<li>Kawuwusa nengih kyai patih Puyika, umarek ngarsa aji.</li>
<li>Genti kocap nengih duta aji, kang lumampah maring Tasikdaksina.</li>
<li>Putra paduka sang retna, neng Daksinatasik langkung mukti.</li>
<li>Kocap ing Tasikdaksina, sang prabu Udayanamurti.</li>
<li>Nateng Kismaka amuwus, pami wahanira benjing.</li>
<li>Ing wetan samburat abrit, praptaning wisma dadakan.</li>
<li>Sanak-sanak manira aji, reh katemben tumon.</li>
<li>Sri Narendra duk myarsa aturing siswi, suka ing wardaya.</li>
<li>Kula asung uninga mring pra kakendra, inggih bade lumintit.</li>
<li>Kawarnaa enjing Sri Bupati, Soma Manis miyos siniwaka.</li>
</ol>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-18913139829928625912011-09-04T06:57:00.001-07:002011-09-04T06:57:54.997-07:00Serat Joko Lodang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Gambuh<br />1. Jaka Lodang gumandhul<br />Praptaning ngethengkrang sru muwus<br />Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi<br />Gunung mendhak jurang mbrenjul<br />Ingusir praja prang kasor<br /><br />Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon<br />kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.<br />Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan<br />bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah<br />sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan<br />(akan terjadi wolak waliking jaman), karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya.<br /><br />2.Nanging awya kliru<br />Sumurupa kanda kang tinamtu<br />Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti<br />Maksih katon tabetipun<br />Beda lawan jurang gesong<br /><br />Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.<br />Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung<br />akan tetap masih terlihat bekasnya.<br />Lain sekali dengan jurang yang curam.<br /><br />3. Nadyan bisa mbarenjul<br />Tanpa tawing enggal jugrugipun<br />Kalakone karsaning Hyang wus pinasti<br />Yen ngidak sangkalanipun<br />Sirna tata estining wong<br /><br />Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,<br />namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.<br />(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.<br />Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik<br />tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).<br />Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan<br />akan terjadi pada tahun Jawa 1850.<br />(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).<br />Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.<br /><br />Sinom<br />1. Sasedyane tanpa dadya<br />Sacipta-cipta tan polih<br />Kang reraton-raton rantas<br />Mrih luhur asor pinanggih<br />Bebendu gung nekani<br />Kongas ing kanistanipun<br />Wong agung nis gungira<br />Sudireng wirang jrih lalis<br />Ingkang cilik tan tolih ring cilikira<br /><br />Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,<br />apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,<br />segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,<br />karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.<br />Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.<br />Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada mati,<br />sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.<br /><br />2. Wong alim-alim pulasan<br />Njaba putih njero kuning<br />Ngulama mangsah maksiat<br />Madat madon minum main<br />Kaji-kaji ambataning<br />Dulban kethu putih mamprung<br />Wadon nir wadorina<br />Prabaweng salaka rukmi<br />Kabeh-kabeh mung marono tingalira<br /><br />Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.<br />Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.<br />Banyak ulama berbuat maksiat.<br />Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.<br />Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.<br />Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda.<br />Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.<br /><br />3. Para sudagar ingargya<br />Jroning jaman keneng sarik<br />Marmane saisiningrat<br />Sangsarane saya mencit<br />Nir sad estining urip<br />Iku ta sengkalanipun<br />Pantoging nandang sudra<br />Yen wus tobat tanpa mosik<br />Sru nalangsa narima ngandel ing suksma<br /><br />Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.<br />Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin menjadi-jadi.<br />Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1).<br />Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930.<br />Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri<br />kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.<br /><br />Megatruh<br />1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu<br />Jaka Lodang nabda malih<br />Nanging ana marmanipun<br />Ing waca kang wus pinesthi<br />Estinen murih kelakon<br /><br />Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.<br />Kemudian Joko Lodang berkata lagi :<br />“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,<br />didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya<br />segera dan dapat terjadi “.<br /><br />2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun<br />Neng sajroning madya akir<br />Wiku Sapta ngesthi Ratu<br />Adil parimarmeng dasih<br />Ing kono kersaning Manon<br /><br />Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.<br />Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).<br />Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.<br />Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.<br /><br />3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk<br />Malenuk samargi-margi<br />Marmane bungah kang nemu<br />Marga jroning kethuk isi<br />Kencana sesotya abyor<br /><br />Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)<br />yang berada banyak dijalan.<br />Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut<br />isinya tidak lain emas dan kencana.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-74891335370341758652011-09-04T06:54:00.000-07:002011-09-04T06:54:17.758-07:00Siti Jenar Dan Wali Sanga<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
[Serat Centhini 1, Yasan Ndalem KGPAA Amengkunagara III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) ing Keraton Surakarta.<br /><br />ASMARADANA<br />Suhunan ing Bayat nguni, sung carita marang ingwang, eyangmu buyut kalane, kumpulan lan wali sanga, samya (m)babar sesotya, trusing ngaji pan akumpul. aywa ana parebutan.<br /><br />Dahulu Suhunan ing Bayat (Sunan Têmbayat), pernah memberikan cerita kepadaku, cerita tentang Eyang Buyut-mu (Sunan Têmbayat), (kala) tengah berkumpul dengan para Wali semua, mewedarkan mutiara ilmu, (Sunan Giri mengingatkan) Saat nanti telah berkumpul, jangan saling berebut kebenaran sendiri-sendiri.<br /><br />Kinarya gita ing kawi, ing Giri Gajah enggone, tatkala aguguneman, para wali sasanga, ing Argapura (ng)gennipun kadhaton ratu agama.<br /><br />Dibuat sebagai pelajaran luhur, di Giri Gajah tempatnya, tempat untuk bermusyawarah, oleh para Wali sembilan, di Argapura tepatnya, letak keraton Sang Ratu Agama (Sunan Giri).<br /><br />Wali sadaya tinari, dennira Prabu Sarmata*), Suhunan Benang tinaros, myang Suhunan Kalijaga, Suhunan Ngampeldenta, Suhunan Kudus tinantun, kalawan Seh Siti Jenar.<br /><br />Sekuruh Wali diminta hadir, oleh Prabu Satmata (Sunan Giri), Suhunan Benang diminta hadir pula, lantas Suhunan Kalijaga, lantas Suhunan Ngampeldhênta (Sunan Ampel), Suhunan Kudus juga diminta hadir, juga Syeh Siti Jênar.<br /><br />Seh Benthong rumut tinari, sarta pangeran Palembang, Panembahan Madurane, aseba mring Giri Liman, angling Prabu Satmata, sukur pepeg anakingsun, sami limuta kaliman.<br /><br />Syeh Bêntong ikut diminta hadir, juga Pangeran Palembang, Panêmbahan Madura juga, semua menghadap ke Giri Liman (Giri Gajah ~ Liman : Gajah. Keraton Sunan Giri), berkata Prabu Satmata (Sunan Giri), Syukurlah semua lengkap hadir, semua berkenan datang ke Giri Gajah.<br /><br />Sadaya tunggala kapti, sampun wonten kang sulaya, arempega kang wiraos, sami ababar sosotya, sami miyak warana, sampun wongen masang semu, den anglela den tetela.<br /><br />Aku harapkan semua bersatu pendapat, jangan sampai berdebat sendiri, satukan kehendak, saat mewedarkan mutiara ilmu, membuka rahasia, jangan terlalu banyak memakai bahasa kias, jabarkan saja apa adanya.<br /><br />Jeng Suhunan Benang angling, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, dat sipat apngaling Allah, nyata ing kalbu amba, Datollah kang amurbeku, mesesa ing dhewekira.<br /><br />(Kang)jêng Suhunan Benang berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, adalah Dzat Sifat Af’al Allah, sangat nyata didalam Kesadaran hamba, Dzatullah-lah yang menguasai, dan berwenang dalam badanku.<br /><br />Jeng Suhunan adiluwih, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, iya sadar jenengamba, iya jenging purab, iya Alah Sukma Subur, jeneng urip lawan jagad.<br /><br />(Kang)jêng Adiluwih (Sunan Kalijaga) berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Kesadaran-lah yang patut menjadi namaku, patut menjadi nama Yang Maha Kuasa, yaitu Allah (Hyang) Suksma Yang Luhur, (patut menjadi) nama dari Sang Hidup dan nama seluruh semesta.<br /><br />Jeng suhunan Giri-westhi, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, imam urip lan nugraha, budi uriping Suksma, urip sara Allah iku, mangkana ing kawruhamba.<br /><br />(Kang)jêng Suhunan Giri-wêsthi berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, terdiri dari Iman (Keyakinan~maksudnya adalah jasad halus) Urip (Hidup~maksudnya adalah Roh) dan Nugraha (Anugerah~maksudnya adalah jasad kasar), Sang Hidup tak lain adalah Allah itu sendiri, begitulah pemahamanku.<br /><br />Jeng Suhunan Kudus angling, ambabar kang pangawikan, Roh wajib ing imaningong, cahya mancur kadi surya, mijil sangking prabawa, amartani lapahipun, anguripi ing sajagad.<br /><br />(Kang)jêng Suhunan Kudus berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Roh adalah pangkal keyakinanku, (Roh bagaikan) sebuah Cahaya yang memancar layaknya sinar surya, mengeluarkan perbawa yang luar biasa, menyelimuti jalannya semesta raya, menghidupi seluruh jagad.<br /><br />Penembahan Madura ngling, ambabar kang pangawikan, aran kanugrahane, kundhi Allah ta punika, tegese kundhi ika, nabi Allah jatinipun, jinaten ing nama Allah.<br /><br />Panêmbahan Madura berkata, mewedarkan kelebihannya, Yang dinamakan Anugerah Sejati, adalah Kundhi Allah, maksudnya Kundhi, tak lain adalah Nabi Allah, menyatu dalam kesejatian dalam nama Allah.<br /><br />Pangeran Palembang angling, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, tegese Allah punika, Allah ingkang amurba, angurip Mahaluhur, amisesa purba dhawak.<br /><br />Pangeran Palembang berkata, mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, tak lain adalah Allah, Allah Yang Maha Berkuasa, Maha Hidup dan Maha Luhur, Berwenang menguasai semesta raya.<br /><br />Prabu Satmata mangkya ngling, ambabar kang pangawikan, sami lan Allah purbane, kang ngawruhi iya Allah, kaping kalih nur badan, kaping tiga rasul iku, kaping pat Datollah ika.<br /><br />Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, Tiada beda dengan Allah Kuasanya, yang mengetahui pertama tiada lain kecuali Allah, yang kedua Nur dan Badan fisik, yang ketiga Rasul, dan yang keempat Dzatullah. <br /><br />Seh Siti Jenar mangkya ngling, ababar kang pangawikan, asembah ing Allah ingong, sujud rukuk padha Allah, sembah sinembah Allah, ingsun kang amurba iku, kang misesa ingsun uga.<br /><br />Syeh Siti Jênar lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, (Dalam) menyembah Allah, yang sujud maupun yang rukuk adalah Allah, yang menyembah maupun yang disembah adalah Allah, AKU-lah yang Berkuasa, Yang Berwenang tak lain juga AKU.<br /><br />Wali sadaya mangkya ngling, Siti Jenar Kadariyah, katerasan iku linge, Siti Jenar sigra ngucap, adoha yen benera, ingkang perak iku embuh, iku Allah supayaa.<br /><br />Maka berkatalah seluruh Wali, Syeh Siti Jênar berpaham Qadariyyah, semuanya adalah tunggal menurutnya, Siti Jênar menjawab, Dikatakan berpisah-pun tiada tepat, dikatakan dekat-pun juga tidak benar, itulah Allah.<br /><br />Prabu Satmata mangkya ngling, iku jisin Siti Jenar, Seh Lemah Bang mangkya linge, raga jiwa den micara, padesane dentilar, Allah kang anglela iku, sakarsanipun wisesa.<br /><br />Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, Yang kamu tunjuk sebagai Allah itu jasad-mu, Syeh Lêmah Bang menjawab, tiada membicarakan Raga dan Jiwa (Badan halus), semua tempat Roh telah ditinggalkan, semua tak lain hanya Allah, sekehendak-Nya Berwenang.<br /><br />Wali sadaya samya ngling, salah sira Siti Jenar, dene angaku badanne Allah badan Siti Jenar, tan langgeng aneng dunya, Siti Jenar iku luput, tembe mangke ngaku Suksma.<br /><br />Maka seluruh Wali berkata, Dirimu salah wahai Siti Jênar, mengatakan badan fisikmu Allah, dan Allah berwujud dalam badan Siti Jênar, badan fisikmu tak kekal didunia ini, Siti Jênar jelas telah salah, dia telah mengaku (Hyang) Suksma (Tuhan).<br /><br />Pan wonten lakone nguni, sami ambabar sosotya, sampun aling-aling kang wong, sami amiyak warana, aja na salah cipta, kene yen warahen dudu, anging panggah Siti Jenar.<br /><br />Dan tersebutlah pada pertemuan selanjutnya, (konon katanya) semua mewedarkan mutiara ilmu, tiada memakai tirai rahasia lagi, semua membuka penutup ilmu, agar tiada salah dalam memahami, disini agar jelas mana yang pemahamannya sesat, akan tetapi pendapat Siti Jênar tetap tiada goyah.<br /><br />Prabu Satmata mangkya ngling, Seh Lemah Bang kamanungsan, sanak pakenira kabeh, tan beda lan pakenira, nanging sampun anglela, manawi dudi klurung, akeh wong kang anggegampang.<br /><br />Maka Prabu Satmata berkata, (Akan tetapi pendapat) Syeh Lêmah Bang terlalu berani, daripada seluruh saudara-saudara semuanya disini, padahal maksudnya tiadalah berbeda, tapi terlalu jelas apa yang diucapkannya, bisa membuat salah paham, sehingga membuat orang menjadi menggampangkan agama.<br /><br />Kathah wong kang tanpa yekti, tanpa yun angguguruwa, akeh kang (ng)gegampang kang wong, dene warta atimbalan, sajatinipun wikan, dadi tan arsa (ng)guguru, awirang yen ta takona.<br /><br />Akan banyak manusia yang malah bingung, jika tidak mendapatan pemahaman itu dari seorang guru, akan banyak manusia yang menggampangkan, merasa telah mendapatkan kabar rahasia, merasa telah mendapatkan hal yang sejati, tiada berkehendak untuk mencari guru lagi, seolah enggan lagi untuk bertanya (kepada seorang guru).<br /><br />Seh Molana samya prapti, sakathahe Aji Cempa, pinereg ing masjid gedhe, mapan kantun wali sapta, samya (m)babar sosotya, tan prabeda kang rumuhun, Siti Jenar ingandikan.<br /><br />Syeh Maulana (Maghribi)-pun hadir, seluruh orang besar keturunan dari Champa (juga datang), datang ke masjid agung, ditambah dengan tujuh wali lainnya, semua kembali mewedarkan mutiara ilmu, tiada beda dengan pertemuan yang terdahulu, Siti Jênar kembali diperingatkan.<br /><br />Seh Molana mangkya angling, Siti Jenar nama tuwan, Siti Jenar mangkya turre, ingih Allah jenengamba, nora na Allah ika, anging siti Jenar iku, sirna Jenar Allah ana.<br /><br />Syeh Maulana (Maghribi) lantas berkata, Benarkah nama tuan Siti Jênar? Siti Jênar lantas menjawab, Allah namaku, tiada lagi Allah lain, yang mewujud dalam Siti Jênar, sirna Siti Jênar hanya Allah yang nyata.<br /><br />Molana Ngaribbi*) angling, kapkir dadi Siti Jenar, Aji Cempa angling alon, kapir dana Siti Jenar, Islamipun indalah, kapir danas wong puniku, punika kapir sampurna.<br /><br />Maulana Maghribi berkata, Siti Jênar telah kafir, seluruh keturunan orang besar Champa berkata pelan, Siti Jênar telah kafir dalam pandangan manusia, tetapi entah didepan Allah, nyata telah kafir dalam pandangan manusia, dan orang seperti inilah patut disebut kafir.<br /><br />Molana Mahribi angling, suhunan (n)daweg winejang, masjid dalem suwung kabeh, ana bekti ana ora, temah ngrusak agama, aggegampang temahipun, kang salah (n)daweg pinedhang.<br /><br />Maulana Maghribi berkata, Wahai para Wali percuma kalian mengajar jika demikian, seluruh masjid kalian akan kosong, sedikit yang akan sembahyang disana, agama akan rusak, semua orang akan menggampangkan, sepatutnya yang salah harus dihukum dengan pedang.<br /><br />Seh Siti Jenar mangkya ngling, (n)daweg sampun kalayatan, lawan swarga menga kabeh, Siti Jenar sinerampat, dening kaum sakawan, Seh Lemah Bang sampun khukhum**), pinedhang tatas kang jangga.<br /><br />Syeh Siti Jênar lantas menjawab, Sudah menjadi niatan saya, pintu surga telah terbuka lebar, Siti Jênar lantas diikat, oleh empat orang santri, Syeh Siti Jênar telah diputuskan untuk mendapat hukuman, dengan cara dipotong kepalanya.<br /><br />Titiga sabate sami, apan sedya pinejahan, samya prawira Khukhum**)e, titiga samya anedya, anebut Subkhanallah, wonten rare angon wedhus, sigra amiyarsa warta.<br /><br />Tiga orang muridnya, berkehendak membela guru mereka, meminta dihukum dengan cara yang sama, ketiganya lantas, mengucapkan Subhanallah, tersebutlah ada seorang anak gembala (juga murid Siti Jênar), melihat kejadian itu.<br /><br />Siti Jenar wani mati, kasusra angaku Allah, punang rare angon age, lumayu asumbar-sumbar, amareg mring ngayunan wonten Allah kari iku, katungkul ya angon menda.<br /><br />Siti Jênar mendapat hukuman mati, karena berani mengaku Allah, anak gembala itu segera, berlari ke arah para Wali dengan sesumbar, mendekat tepat dihadapan, (Para Wali berkata) Masih ada Allah yang tertinggal, Allah yang menggembalakan kambing.<br /><br />Prabu Satmata mangkya ngling, rare iku kudu pejah, khukhum**)ena aja suwe, sandhingena Siti Jenar, angling Ki Siti Jenar, sandhingena lawan ingsun, aywa adoh ingsun gawa.<br /><br />Prabu Satmata lantas memerintahkan, Bunuh juga anak gembala itu, hukum-lah jangan lama-lama lagi, tempatkan disebelah Siti Jênar, menjawab Siti Jênar, Tempatkan disisiku, akan aku bawa serta dia.<br /><br />Ponan rare angling aris, sampun (n)dika kalayatan, rare cilik sru tangise, age tumuta pralaya, wus menga lawang swarga, pinedhang janggane sampun, mesem rare angen menda.<br /><br />Anak gembala berkata pelan, Jangan-lah tuan yang meninggal (cukup hamba saja), menangis sedihlah dia (melihat gurunya hendak dibunuh), (Siti Jênar berkata) Ikutlah mati bersamaku, sudah terbuka pintu surga, (maka semua yang hendak dihukum) lehernya telah dipedang, tersenyum anak gembala.<br /><br />Jeng Suhunan Ratu Giri, nora kira Siti Jenar, maksih wutuh reragane, tigang dina gilang-gilang, tumulya uluk salam, kantuna andika ratu, Siti Jenar nulya ilang.<br /><br />(Kang)jêng Suhunan Ratu Giri, tiada menyangka bahwasanya, jasad Siti Jênar masih utuh, selama tiga hari terlihat bercahaya, lantas terdengar ucapan salam, Selamat tinggal wahai paduka, (Jasad) Siti Jênar lantas hilang.<br /><br />Tan kari sabatireki, sadaya wus samya ilang, miwah rare angon mangke, datan kantun melu ilang, sadaya sampun sirna, gawok sakeh kang andulu, dhumateng Seh Siti Jenar.<br /><br />Begitu juga ketiga muridnya, semua jasadnya menghilang, tak ketinggalan jasad anak gembala, juga ikut musnah, semuanya sirna, keheranan semua yang melihat, kepada Syeh Siti Jênar (dan semua muridnya).<br /><br />Tuturku kang wus kawijil, Seh Lemah Bang wus anyata, katon kandel kumandele, nanging pilih kang abisa, kadi Seh Siti Jenar, akeh mandheg aneng catur, pinentog mundur plarasan.<br /><br />Semua kisah yang sudah aku ceritakan, menunjukkan bahwasanya Syeh Lêmah Bang, sangat yakin dan mantap, akan tetapi jarang bisa ditemui, orang seperti Syeh Siti Jênar, kebanyakan hanya terhenti dimulut, jika mendapat ancaman akan mundur ketakutan</div>
Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-770830740828294732011-09-04T06:48:00.000-07:002011-09-04T06:48:20.088-07:00Serat Niti Mami<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.<br /><br />Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita:<br /><br />Kinanti<br /><br />1. Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.<br /><br />2. Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.<br /><br />3. Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.<br /><br />4. Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-35526000817084649912011-09-03T15:34:00.000-07:002011-09-03T15:34:31.117-07:00Suluk Sunan Bonang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Suluk-suluk Sunan Bonang 1<br />Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk- suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.<br /><br />Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).<br /><br />Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).<br /><br />Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal.<br /><br />Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).<br /><br />Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.<br />Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.<br /><br />Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.<br /><br />Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’.<br />Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:<br /><br />1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)<br />2. Mutawassitah (Mutawassita)<br />3. Mutakhirah (muta`akhira)<br /><br />Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan- Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.<br /><br />Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.<br /><br />Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).<br /><br />Suluk-suluk Sunan Bonang 2<br />suluk wujil<br /><br />Suluk Jebeng<br /><br />Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran.<br /><br />Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:<br /><br />Puncak ilmu yang sempurna<br />Seperti api berkobar<br />Hanya bara dan nyalanya<br />Hanya kilatan cahaya<br />Hanya asapnya kelihatan<br />Ketauilah wujud sebelum api menyala<br />Dan sesudah api padam<br />Karena serba diliputi rahasia<br />Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?<br />Jangan tinggikan diri melampaui ukuran<br />Berlindunglah semata kepada-Nya<br />Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh<br />Jangan bertanya<br />Jangan memuja nabi dan wali-wali<br />Jangan mengaku Tuhan<br />Jangan mengira tidak ada padahal ada<br />Sebaiknya diam<br />Jangan sampai digoncang<br />Oleh kebingungan<br />Pencapaian sempurna<br />Bagaikan orang yang sedang tidur<br />Dengan seorang perempuan, kala bercinta<br />Mereka karam dalam asyik, terlena<br />Hanyut dalam berahi<br />Anakku, terimalah<br />Dan pahami dengan baik<br />Ilmu ini memang sukar dicerna<br /><br />Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya “Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.<br /><br />Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al- Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).<br /><br />Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu “wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu- ilmu agama.<br /><br />Suluk Wujil<br /><br />Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.<br /><br />Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.<br /><br />Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.<br /><br />Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.<br /><br />Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:<br /><br />1<br />Dan warnanen sira ta Pun Wujil<br />Matur sira ing sang Adinira<br />Ratu Wahdat<br />Ratu Wahdat Panenggrane<br />Samungkem ameng Lebu?<br />Talapakan sang Mahamuni<br />Sang Adhekeh in Benang,<br />mangke atur Bendu<br />Sawetnya nedo jinarwan<br />Saprapating kahing agama kang sinelit<br />Teka ing rahsya purba<br />2<br />Sadasa warsa sira pun Wujil<br />Angastupada sang Adinira<br />Tan antuk warandikane<br />Ri kawijilanipun<br />Sira wujil ing Maospait<br />Ameng amenganira<br />Nateng Majalanggu<br />Telas sandining aksara<br />Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti<br />Anuhun pangatpada<br />3<br />Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih<br />Ing talapakan sang Jati Wenang<br />Pejah gesang katur mangke<br />Sampun manuh pamuruh<br />Sastra Arab paduka warti<br />Wekasane angladrang<br />Anggeng among kayun<br />Sabran dina raraketan<br />Malah bosen kawula kang aludrugi<br />Ginawe alan-alan<br />4<br />Ya pangeran ing sang Adigusti<br />Jarwaning aksara tunggal<br />Pengiwa lan panengene<br />Nora na bedanipun<br />Dening maksih atata gendhing<br />Maksih ucap-ucapan<br />Karone puniku<br />Datan polih anggeng mendra-mendra<br />Atilar tresna saka ring Majapait<br />Nora antuk usada<br />5<br />Ya marma lunganging kis ing wengi<br />Angulati sarasyaning tunggal<br />Sampurnaning lampah kabeh<br />Sing pandhita sundhuning<br />Angulati sarining urip<br />Wekasing jati wenang<br />Wekasing lor kidul<br />Suruping radya wulan<br />Reming netra lalawa suruping pati<br />Wekasing ana ora<br />Artinya, lebih kurang:<br />1<br />Inilah ceritera si Wujil<br />Berkata pada guru yang diabdinya<br />Ratu Wahdat<br />Ratu Wahdat nama gurunya<br />Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung<br />Yang tinggal di desa Bonang<br />Ia minta maaf<br />Ingin tahu hakikat<br />Dan seluk beluk ajaran agama<br />Sampai rahasia terdalam<br />2<br />Sepuluh tahun lamanya Sudah<br />Wujil Berguru kepada Sang Wali<br />Namun belum mendapat ajaran utama<br />Ia berasal dari Majapahit<br />Bekerja sebagai abdi raja<br />Sastra Arab telah ia pelajari<br />Ia menyembah di depan gurunya<br />Kemudian berkata<br />Seraya menghormat<br />Minta maaf<br />3<br />“Dengan tulus saya mohon<br />Di telapak kaki tuan Guru<br />Mati hidup hamba serahkan<br />Sastra Arab telah tuan ajarkan<br />Dan saya telah menguasainya<br />Namun tetap saja saya bingung<br />Mengembara kesana-kemari<br />Tak berketentuan.<br />Dulu hamba berlakon sebagai pelawak<br />Bosan sudah saya<br />Menjadi bahan tertawaan orang<br />4<br />Ya Syekh al-Mukaram!<br />Uraian kesatuan huruf<br />Dulu dan sekarang<br />Yang saya pelajari tidak berbeda<br />Tidak beranjak dari tatanan lahir<br />Tetap saja tentang bentuk luarnya<br />Saya meninggalkan Majapahit<br />Meninggalkan semua yang dicintai<br />Namun tak menemukan sesuatu apa<br />Sebagai penawar<br />5<br />Diam-diam saya pergi malam-malam<br />Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna<br />Semua pendeta dan ulama hamba temui<br />Agar terjumpa hakikat hidup<br />Akhir kuasa sejati<br />Ujung utara selatan<br />Tempat matahari dan bulan terbenam<br />Akhir mata tertutup dan hakikat maut<br />Akhir ada dan tiada<br /><br />Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu- ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita.<br /><br />Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.<br /><br />Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:<br /><br />6<br />Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi<br />Heh ra Wujil kapo kamangkara<br />Tan samanya pangucape<br />Lewih anuhun bendu<br />Atunira taha managih<br />Dening geng ing sakarya<br />Kang sampun alebu<br />Tan padhitane dunya<br />Yen adol warta tuku warta ning tulis<br />Angur aja wahdat<br />7<br />Kang adol warta tuhu warti<br />Kumisum kaya-kaya weruha<br />Mangke ki andhe-andhene<br />Awarna kadi kuntul<br />Ana tapa sajroning warih<br />Meneng tan kena obah<br />Tinggalipun terus<br />Ambek sadu anon mangsa<br />Lirhantelu outihe putih ing jawi<br />Ing jro kaworan rakta<br />8<br />Suruping arka aganti wengi<br />Pun Wujil anuntu maken wraksa<br />Badhi yang aneng dagane<br />Patapane sang Wiku<br />Ujung tepining wahudadi<br />Aran dhekeh ing Benang<br />Saha-saha sunya samun<br />Anggaryang tan ana pala boga<br />Ang ing ryaking sagara nempuki<br />Parang rong asiluman<br />9<br />Sang Ratu Wahdat lingira aris<br />Heh ra Wujil marangke den enggal<br />Tur den shekel kukuncire<br />Sarwi den elus-elus<br />Tiniban sih ing sabda wadi<br />Ra Wujil rungokna<br />Sasmita katenggun<br />Lamun sira kalebua<br />Ing naraka isung dhewek angleboni<br />Aja kang kaya sira<br />… 11<br />Pangestisun ing sira ra Wujil<br />Den yatna uripira neng dunya<br />Ywa sumambar angeng gawe<br />Kawruhana den estu<br />Sariranta pon tutujati<br />Kang jati dudu sira<br />Sing sapa puniku<br />Weruh rekeh ing sariri<br />Mangka saksat wruh sira<br />Maring Hyang Widi<br />Iku marga utama<br />Artinya lebih kurang:<br />6<br />Ratu Wahdat tersenyum lembut<br />“Hai Wujil sungguh lancang kau<br />Tuturmu tak lazim<br />Berani menagih imbalan tinggi<br />Demi pengabdianmu padaku<br />Tak patut aku disebut Sang Arif<br />Andai hanya uang yang diharapkan<br />Dari jerih payah mengajarkan ilmu<br />Jika itu yang kulakukan<br />Tak perlu aku menjalankan tirakat<br />7<br />Siapa mengharap imbalan uang<br />Demi ilmu yang ditulisnya<br />Ia hanya memuaskan diri sendiri<br />Dan berpura-pura tahu segala hal<br />Seperti bangau di sungai<br />Diam, bermenung tanpa gerak.<br />Pandangnya tajam, pura-pura suci<br />Di hadapan mangsanya ikan-ikan<br />Ibarat telur, dari luar kelihatan putih<br />Namun isinya berwarna kuning<br />8<br />Matahari terbenam, malam tiba<br />Wujil menumpuk potongan kayu<br />Membuat perapian, memanaskan<br />Tempat pesujudan Sang Zahid<br />Di tepi pantai sunyi di Bonang<br />Desa itu gersang<br />Bahan makanan tak banyak<br />Hanya gelombang laut<br />Memukul batu karang<br />Dan menakutkan<br />9<br />Sang Arif berkata lembut<br />“Hai Wujil, kemarilah!”<br />Dipegangnya kucir rambut Wujil<br />Seraya dielus-elus<br />Tanda kasihsayangnya<br />“Wujil, dengar sekarang<br />Jika kau harus masuk neraka<br />Karena kata-kataku<br />Aku yang akan menggantikan tempatmu”<br />…<br />11<br />“Ingatlah Wujil, waspadalah!<br />Hidup di dunia ini<br />Jangan ceroboh dan gegabah<br />Sadarilah dirimu<br />Bukan yang Haqq<br />Dan Yang Haqq bukan dirimu<br />Orang yang mengenal dirinya<br />Akan mengenal Tuhan<br />Asal usul semua kejadian<br />Inilah jalan makrifat sejati”<br /><br />Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ‘pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ‘Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi?<br /><br />Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan “Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).<br /><br />Suluk-suluk Sunan Bonang 3<br /><br />Tasawuf dan Pengetahuan Diri<br /><br />Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan’penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).<br /><br />Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.<br /><br />Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan- keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).<br /><br />Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.<br /><br />Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah<br /><br />Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.<br /><br />Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:<br /><br />12<br />Kebajikan utama (seorang Muslim)<br />Ialah mengetahui hakikat salat<br />Hakikat memuja dan memuji<br />Salat yang sebenarnya<br />Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib<br />Tetapi juga ketika tafakur<br />Dan salat tahajud dalam keheningan<br />Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa<br />Dan termasuk akhlaq mulia<br />13<br />Apakah salat yang sebenar-benar salat?<br />Renungkan ini: Jangan lakukan salat<br />Andai tiada tahu siapa dipuja<br />Bilamana kaulakukan juga<br />Kau seperti memanah burung<br />Tanpa melepas anak panah dari busurnya<br />Jika kaulakukan sia-sia<br />Karena yang dipuja wujud khayalmu semata<br />14<br />Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?<br />Dengar: Walau siang malam berzikir<br />Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan<br />Zikirmu tidak sempurna<br />Zikir sejati tahu bagaimana<br />Datang dan perginya nafas<br />Di situlah Yang Ada, memperlihatkan<br />Hayat melalui yang empat<br />15<br />Yang empat ialah tanah atau bumi<br />Lalu api, udara dan air<br />Ketika Allah mencipta Adam<br />Ke dalamnya dilengkapi<br />Anasir ruhani yang empat:<br />Kahar, jalal, jamal dan kamal<br />Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya<br />Begitulah kaitan ruh dan badan<br />Dapat dikenal bagaimana<br />Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana<br />16<br />Anasir tanah melahirkan<br />Kedewasaan dan keremajaan<br />Apa dan di mana kedewasaan<br />Dan keremajaan? Dimana letak<br />Kedewasaan dalam keremajaan?<br />Api melahirkan kekuatan<br />Juga kelemahan<br />Namun di mana letak<br />Kekuatan dalam kelemahan?<br />Ketahuilah ini<br />17<br />Sifat udara meliputi ada dan tiada<br />Di dalam tiada, di mana letak ada?<br />Di dalam ada, di mana tempat tiada?<br />Air dua sifatnya: mati dan hidup<br />Di mana letak mati dalam hidup?<br />Dan letak hidup dalam mati?<br />Kemana hidup pergi<br />Ketika mati datang?<br />Jika kau tidak mengetahuinya<br />Kau akan sesat jalan<br />18<br />Pedoman hidup sejati<br />Ialah mengenal hakikat diri<br />Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk<br />Oleh karena itu ketahuilah<br />Tempat datangnya yang menyembah<br />Dan Yang Disembah<br />Pribadi besar mencari hakikat diri<br />Dengan tujuan ingin mengetahui<br />Makna sejati hidup<br />Dan arti keberadaannya di dunia<br />19<br />Kenalilah hidup sebenar-benar hidup<br />Tubuh kita sangkar tertutup<br />Ketahuilah burung yang ada di dalamnya<br />Jika kau tidak mengenalnya<br />Akan malang jadinya kau<br />Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil<br />Sia-sia semata<br />Jika kau tak mengenalnya.<br />Karena itu sucikan dirimu<br />Tinggalah dalam kesunyian<br />Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia<br />Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:<br />20<br />Keindahan, jangan di tempat jauh dicari<br />Ia ada dalam dirimu sendiri<br />Seluruh isi jagat ada di sana<br />Agar dunia ini terang bagi pandangmu<br />Jadikan sepenuh dirimu Cinta<br />Tumpukan pikiran, heningkan cipta<br />Jangan bercerai siang malam<br />Yang kaulihat di sekelilingmu<br />Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!<br />21<br />Dunia ini Wujil, luluh lantak<br />Disebabkan oleh keinginanmu<br />Kini, ketahui yang tidak mudah rusak<br />Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna<br />Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi<br />Bentangan pengetahuan ini luas<br />Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya<br />Orang yang mengenal hakikat<br />Dapat memuja dengan benar<br />Selain yang mendapat petunjuk ilahi<br />Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini<br />22<br />Karena itu, Wujil, kenali dirimu<br />Kenali dirimu yang sejati<br />Ingkari benda<br />Agar nafsumu tidur terlena<br />Dia yang mengenal diri<br />Nafsunya akan terkendali<br />Dan terlindung dari jalan<br />Sesat dan kebingungan<br />Kenal diri, tahu kelemahan diri<br />Selalu awas terhadap tindak tanduknya<br />23<br />Bila kau mengenal dirimu<br />Kau akan mengenal Tuhanmu<br />Orang yang mengenal Tuhan<br />Bicara tidak sembarangan<br />Ada yang menempuh jalan panjang<br />Dan penuh kesukaran<br />Sebelum akhirnya menemukan dirinya<br />Dia tak pernah membiarkan dirinya<br />Sesat di jalan kesalahan<br />Jalan yang ditempuhnya benar<br />24<br />Wujud Tuhan itu nyata<br />Mahasuci, lihat dalam keheningan<br />Ia yang mengaku tahu jalan<br />Sering tindakannya menyimpang<br />Syariat agama tidak dijalankan<br />Kesalehan dicampakkan ke samping<br />Padahal orang yang mengenal Tuhan<br />Dapat mengendalikan hawa nafsu<br />Siang malam penglihatannya terang<br />Tidak disesatkan oleh khayalan<br />Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar- benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.<br />35<br />Diam dalam tafakur, Wujil<br />Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)<br />Memuja tanpa selang waktu<br />Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)<br />Disebabkan oleh makrifat<br />Tubuhnya akan bersih dari noda<br />Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini<br />Dari orang arif yang tahu<br />Agar kau mencapai hakikat<br />Yang merupakan sumber hayat<br />36<br />Wujil, jangan memuja<br />Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja<br />Juga sia-sia orang memuja<br />Tanpa kehadiran Yang Dipuja<br />Walau Tuhan tidak di depan kita<br />Pandanglah adamu<br />Sebagai isyarat ada-Nya<br />Inilah makna diam dalam tafakur<br />Asal mula segala kejadian menjadi nyata<br />Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.<br />38<br />Renungi pula, Wujil!<br />Hakikat sejati kemauan<br />Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita<br />Berpikir dan menyebut suatu perkara<br />Bukan kemauan murni<br />Kemauan itu sukar dipahami<br />Seperti halnya memuja Tuhan<br />Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak<br />Pun tidak membuatmu membenci orang<br />Yang dihukum dan dizalimi<br />Serta orang yang berselisih paham<br />39<br />Orang berilmu<br />Beribadah tanpa kenal waktu<br />Seluruh gerak hidupnya<br />Ialah beribadah<br />Diamnya, bicaranya<br />Dan tindak tanduknya<br />Malahan getaran bulu roma tubuhnya<br />Seluruh anggota badannya<br />Digerakkan untuk beribadah<br />Inilah kemauan murni<br />40<br />Kemauan itu, Wujil!<br />Lebih penting dari pikiran<br />Untuk diungkapkan dalam kata<br />Dan suara sangatlah sukar<br />Kemauan bertindak<br />Merupakan ungkapan pikiran<br />Niat melakukan perbuatan<br />Adalah ungkapan perbuatan<br />Melakukan shalat atau berbuat kejahatan<br />Keduanya buah dari kemauan<br />Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:<br />Inilah gerangan suatu madah<br />Mengarangkan syair terlalu indah<br />Membetulkan jalan tempat berpindah<br />Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah<br />Wahai muda kenali dirimu<br />Ialah perahu tamsil tubuhmu<br />Tiada berapa lama hidupmu<br />Ke akhirat jua kekal diammu<br />Hai muda arif budiman<br />Hasilkan kemudi dengan pedoman<br />Alat perahumu jua kerjakan<br />Itulah jalan membetuli insan<br />…<br />La ilaha illa Allah tempat mengintai<br />Medan yang qadim tempat berdamai<br />Wujud Allah terlalu bitai<br />Siang malam jangan bercerai<br /><br />(Doorenbos 1933:33)<br /><br />Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan- Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).<br /><br />Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: “Bagaimana bayang- bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa “Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.<br /><br />Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud- Nya (Rizvi 1978:78).<br /><br />Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan.<br /><br />Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).<br />Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.<br />Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.<br /><br />Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.<br />Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam.<br /><br />Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.<br /><br />Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.<br /><br />Falsafah Wayang<br /><br />Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair- penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.<br /><br />Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.<br /><br />Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”<br />dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”<br /><br />Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)<br />Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita.<br /><br />Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)<br /><br />Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:<br /><br />Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu<br />Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau<br />Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,<br />Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat<br />Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah<br />Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya<br />Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin<br />(Ibid)<br /><br />Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.<br /><br />original post by Dr.Abdul Hadi W. M. ( Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia )</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-12311066519541681782011-09-03T15:27:00.000-07:002011-09-03T15:27:46.165-07:00Babad Tanah Jawi (Panembahan Senopati)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANDJENG RATU KIDUL<br /><br />Cerita Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam Babad Tanah Jawi (the Story of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang puitis merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung kultur-kultur Islam lokal, pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.<br /><br />KINANTHI<br /><br />(1) Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.<br /><br />Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.<br /><br />(2) Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.<br /><br />Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.<br /><br />(3) Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.<br /><br />Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.<br /><br />(4) Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.<br /><br />Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.<br /><br />(5) Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre (k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,<br /><br />Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.<br /><br />(6) Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.<br /><br />Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu jamrud.<br /><br />(7) De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.<br /><br />Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran<br /><br />(8) Tinon renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.<br /><br />Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.<br /><br />(9) Gapurane geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.<br /><br />Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah, memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang, siang dan malam menjadi sama.<br /><br />(10) Sigeg rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.<br /><br />Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan Mintuno, mereka saling membuka hati.<br /><br />(11) Yen tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.<br /><br />Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.<br /><br />(12) Kadigbyaning warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.<br /><br />Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari, kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.<br /><br />(13) Yen sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.<br /><br />Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal, ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari, seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.<br /><br />(14) Lamun bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.<br /><br />Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari, ketika malam semakin bertambah cantik.<br /><br />(15) Lawan sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.<br /><br />Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk halus, mampu berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.<br /><br />(16) Sinten ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.<br /><br />Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja, mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.<br /><br />(17) Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.<br /><br />Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan Ratu Kuwu semua hadir.<br /><br />(18) Wringinpitu Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.<br /><br />7 Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.<br /><br />(19) Wrata kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.<br /><br />Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan, menghadapi Krendhawahana aji.<br /><br />(20) Wuwusen malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah, sangkep busana sarwa di.<br /><br />Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang melayani para gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.<br /><br />(21) Bedhaya sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.<br /><br />Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring, yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati, bermacam-macam gerakan penari.<br /><br />(22) Senapati gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga, wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.<br /><br />Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai, sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati, sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.<br /><br />(23) Tan lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang dyah punjul ing warni, kenyataning waranggana, sorote ngemas sinangling.<br /><br />Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.<br /><br />(24) Wuyunging driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala, wau Risang Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.<br /><br />Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk halus/jin.<br /><br />(25) Rianos jroning kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241) nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.<br /><br />Dalam perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa penasaran, agar berhasil tujuan, (k.241) untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.<br /><br />(26) Ngunandika dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.<br /><br />Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.<br /><br />(27) De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan, temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.<br /><br />Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya, menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba, keangkuhannya menjadi-jadi.<br /><br />(28) Wong agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.<br /><br />Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.<br /><br />(29) Duk liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,<br /><br />Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan, sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,<br /><br />(30) Pesareyanta durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”<br /><br />Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”, Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”<br /><br />(31) Wusira gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok ngeksi.<br /><br />Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,<br /><br />(32) Warneng pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya, “Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”<br /><br />Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang memiliki,”<br /><br />(33) Kakung mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.<br /><br />Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.<br /><br />(34) Pepajangan sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.<br /><br />Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai sekali merangkainya.<br /><br />(35) Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.<br /><br />Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada yang memiliki pria baik<br /><br />(36) Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.<br /><br />Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.<br /><br />(37) Dyah merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngrego-(k.243) ni.<br /><br />Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak sendirian saja, tidak ada yang mengganggu (k.243).<br /><br />(38) Eca sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.<br /><br />Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling, dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum, Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.<br /><br />(39) Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.<br /><br />Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai, apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.<br /><br />(40) Jeng Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya, mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.<br /><br />Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati, selanjutnya berbicara lembut.<br /><br />(41) ”Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.<br /><br />“Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya obat sakit asmara.<br /><br />(42) Mider ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.”<br /><br />Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”<br /><br />(43) Sang dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir<br /><br />Sang Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.<br /><br />(44) Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”<br /><br />Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”<br /><br />(45) Wusana dyah matur kakung, “Kirang punapa sang (k.244) pekik, kang pilenggah ing Mataram, lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah galih.<br /><br />Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.<br /><br />(46) Yekti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.<br /><br />Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja, yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.<br /><br />(47) Kang pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.<br /><br />Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai, jika dibutuhkan secara pasti.<br /><br />(48) De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.<br /><br />Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai terhadap pria, karena terlilit kain.<br /><br />(49) Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah, kemanisan dennya angling.<br /><br />Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.<br /><br />(50) Saya tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira, “Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.<br /><br />Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan saya.<br /><br />(51) Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram, mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun runtik.<br /><br />Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti, meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”, Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.<br /><br />(52) Nggon sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun u-(k.245) ning sotyanira”, dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene keksi.<br /><br />Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau melihat ( k.245) cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.<br /><br />(53) Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”<br /><br />Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta kasih yang pasti.”<br /><br />(54) Kakung mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kengis, esemnya mranani priya, Senapati trenyuh galih.<br /><br />Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.<br /><br />(55) Narpaning dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa, labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,<br /><br />Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati, terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.<br /><br />(56) Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara, karenan mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.<br /><br />Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan, seperti boneka golek gadhing.<br /><br />(57) Binekta manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa, datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.<br /><br />Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang, senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.<br /><br />(58) Jim prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate (k.246) lalis.<br /><br />Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena tajam, mengadu merintih (k.246).<br /><br />(59) Kagyat katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.<br /><br />Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau semerbak harum, rusaknya pura samudera.<br /><br />(60) Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.<br /><br />Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang, Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya pelan-pelan, lalu keduanya duduk.<br /><br />(61) Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.<br /><br />Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.<br /><br />(62) Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.<br /><br />Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.<br /><br />(63) Kakung nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,<br /><br />Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah ditunggu-tunggu,<br /><br />(64) Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.<br /><br />Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis sedih, Rembulan menjadi menangis deras.<br /><br />(65) Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono (k.247) rasanya, wong tresna dentimbangi.<br /><br />Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai, perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “ Seperti ini lah (k. 247) rasanya mencintai yang dibandingkan.<br /><br />(66) Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang retna di.<br /><br />Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati, atas tangisan sang Ratna.<br /><br />(67) Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.<br /><br />Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil dinyanyikan oleh Senopati.<br /><br />M I J I L<br /><br />(1) “Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger, marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.<br /><br />“Dhuh emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya, jika lupa kepadamu, dari dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.<br /><br />(2) Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya Angger, ingkang dadi teleng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.<br /><br />Walaupun saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik, besar cintaku tidak lain adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta, hanya dirimu adinda Gusti, kepadamu saya tergila-gila.<br /><br />(3) Malawija neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang timbangana Angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,<br /><br />Kenapa saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan, hanya kakanda pula daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum mendapatkan obat, tidak lain hanya lah kamu emasku,<br /><br />(4) Ambirata rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”<br /><br />Yang bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap menunggu-nunggu, walaupun harus berjalan jauh sampai disini, tidak ingin sembunyi berusaha, tetapi bagaimana dengan rakyatku Dinda.”<br /><br />(5) Narpaning dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, (k.248) dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun tumrun.”<br /><br />Hati Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang manis minta dimengerti, (k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada senopati berkata pelan, “Pangeran saya minta turun.”<br /><br />(6) Sing ngembanan wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur mring kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan kakung.<br /><br />Sang Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk diatas bunga, kembali Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon sungguh-sungguh dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.<br /><br />(7) Datan langkung panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras pinangku.<br /><br />Tidak lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan berubah sampai anak cucu nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung memeluk, Dewi dipangku.<br /><br />(8) “Ya mas Mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge, “Nggih Pangeran yen wus mangguh westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.”<br /><br />“Ya emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan terjadi”, Dewi berbicara lagi kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi sungkan nanti menghadapi perang, segera saya tolong.”<br /><br />(9) Magut sang dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng napase, anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.<br /><br />Kepala Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan, “Sedekapkan tanganmu dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya pasti datang, membawa pasukan mahluk halus.<br /><br />(10) Lawan amba atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.<br /><br />Bersama saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul, Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat pengaruh besar juga, panjang umur pasti, kekuatan tumbuh pesat.<br /><br />(11) Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.<br /><br />Dengan minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi padaku”, kedua hal itu sudah diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh senopati, bertambah senang hatinya, mendapat sarana untuk perang.<br /><br />(12) Malih sang dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep mring lelembut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.<br /><br />Kembali sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari keraton (k. 249), yang tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah menerima wangsit, selesainya Dewi memeluk erat Senopati.<br /><br />(13) “Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.”<br /><br />“Dhuh Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta jangan cepat-cepat pulang, menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa saya nanti, jika Paduka pulang.”<br /><br />(14) Raka ngimur mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe, myang sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.<br /><br />Kanda Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku yang aku cintai, saya sudah jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit, berpisah dengan mu emas merahku.<br /><br />(15) Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,<br /><br />Jangan sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya pulang ke kerajaan Mataram, tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera ini, menjenguk engkau emasku,<br /><br />(16) Saking labet datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni prajeng”, sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami, nggih nuntena wangsul.”<br /><br />Saya sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan emasku, hanya karena berat beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi kemudian jatuh memeluk pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang kesini.”<br /><br />(17) Dugi nggusthi megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure, asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.<br /><br />Sampai akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta, segera Ratu Kidul mengantarkan kepulangannya, saling menggandeng tangan harmonis, sampai di Srimanganti, Senopati segera melihat sang Dewi penuh rasa kasih.<br /><br />(18) “Wus suntrima sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta sihirangger, srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih katresnane kakung.<br /><br />“Sudah saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar saya, hanya saya minta sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”, Sang Dewi memberi cintanya kepada Senopati.<br /><br />(19) Atur gantyan manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit lathine, sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lestantun.<br /><br />Bergantian memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan, mencium menggigit mesra, Sang Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu, kunjungan selesai.<br /><br />(20) Senapati praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.<br /><br />Senopati telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali menghilang samudera dari penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti memijak tanah, dia berjalan terus.<br /><br />(21) Senapati sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.<br /><br />Senopati sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan waspada kepada seseorang yang berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin bahwa dia adalah Guru Senopati, yaitu Sunan Adilangu.<br /><br />(22) Senapati gepah nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.<br /><br />Senopati segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi hormat tunduk, tangan guru menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda diterimanya bakti sang Senopati, bergeser duduk sopan.<br /><br />(23) Sunan Adi gya ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.<br /><br />Sunan Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur anakku, aku bertemu denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang sebenarnya terjadi dengan perjalananmu.<br /><br />(24) Sira sinung digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane, kita ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,<br /><br />Kamu sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya saja tanda samudera yang kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan saja, tetapi ingatlah hatimu jangan angkuh<br /><br />(25) Riya kibir sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka tuk sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.<br /><br />Sombong, riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang Manon, nabi wali Allah juga membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang Widi, diharapkan oleh Hyang tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.<br /><br />(26) (k.251) Wong gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.<br /><br />(k.251) Orang yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang patuh pada larangan Hyang Sukma yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan riya adalah keangkuhan manusia, minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu tidak lah pantas<br /><br />(27) Amemadha marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.<br /><br />Mempersamakan diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu disemayami derajat dari raja-raja yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu yang tidak angkuh, terlihat mempesona, berjalan anggun berwibawa.<br /><br />(28) Saksolahe was tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng, Senapati tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu<br /><br />Semua tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal tentramnya hati saja, banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja, Senopati benar-benar hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya memperumpamakan lagi, yang tidak memiliki ilmu.<br /><br />(29) Aja sira pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.<br /><br />Jangan lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi gunung tinggi, dan samudera semua contoh, ya Kaki pemberian langit, bermacam-macam manusia, mengandalkan yang luhur.<br /><br />(30) Bumi kandel jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung geng inggil,sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,<br /><br />Tebalnya bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah tidak ada yang melebihi kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan tinggi, dalamnya samudera, gumelarnya ombak,<br /><br />(31) Ngendelaken digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.<br /><br />Mengandalkan kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit dan gunung seperti sifat manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit berbeda dengan manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.<br /><br />(32) Yen sira yun wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Je- (k.252) beng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma Gung.<br /><br />Jika kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua orang, jangan berhenti ikhtiarmu (k.252) Nak, berpasrah kepada Kang Murbeng Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu terhadap Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)<br /><br />(33) Ginampangan seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.<br /><br />Secara mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah pada pandangan/tujuanmu, jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja, beribadah lah memeluk agama, selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.<br /><br />DHANDHANGGULA<br /><br />(1) Lawan Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature, “Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”, dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira bukti, yen wisa dadi apa.<br /><br />Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.<br /><br />(2) Temah antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi, sabab nir manungsanya.<br /><br />Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud manusiamu.<br /><br />(3) Maneh Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng (k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.<br /><br />Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang disulap.<br /><br />(4) Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.<br /><br />Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.<br /><br />(5) Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.<br /><br />Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.<br /><br />(6) Sakpraptaning jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih nendra, nglenggorong langkung agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah legek tan nebda.<br /><br />Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.<br /><br />(7) (k.254) Sunan Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe rengating driya.”<br /><br />(k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”<br /><br />(8) Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira, nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi, wenang sinambat karsa.<br /><br />Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.<br /><br />(9) Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat, sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyektekken srana.<br /><br />Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).<br /><br />(10) Juga juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur, samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.<br /><br />Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.<br /><br />(11) Senapati wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi, pangjanging umur saras.”<br /><br />Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”<br /><br />(12) “Yen wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.<br /><br />“Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.<br /><br />(13) Gya jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.<br /><br />Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.<br /><br />(14) Sunan adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.<br /><br />Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.<br /><br />(15) “Bibi Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.<br /><br />“Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.<br /><br />(16) Saksirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”<br /><br />Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak terlihat.”<br /><br />(17) Sunan Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, emongen gustenira.<br /><br />Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.<br /><br />(18) Prayogane Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.<br /><br />Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.<br /><br />(19) Katriya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo glar neng pegungan.<br /><br />Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.<br /><br />(20) Tanpa kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe, karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.<br /><br />Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.<br /><br />(21) Becik nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa lan pepagere, kebo sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.<br /><br />Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).<br /><br />(22) Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi nata.<br /><br />Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara selalu dijaga.<br /><br />(23) Mengko Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.<br /><br />Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.<br /><br />(24) Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen kuthanira.<br /><br />Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.<br /><br />(25) Jebeng rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259) n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.<br /><br />Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.<br /><br />(26) Lawan sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun wuntat.<br /><br />Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.<br /><br />(27) Jebeng yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang andarbeni, lestari tanpa kara.<br /><br />Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.<br /><br />(28) Lan diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging (k.260) kalingan padhang.<br /><br />Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.<br /><br />(29) Senapati wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,<br /><br />Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti,</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8738730192030686649.post-51069701426949194602011-09-03T08:43:00.000-07:002011-09-03T08:43:42.015-07:00Suluk Sukma Lelana<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Dening : R. Ng. Ranggawarsita<br /><br />Punapa yen wus kakekat,<br />estu lajeng sarengatnya kawuri,<br />yen saking pamanggih ulun,<br />tan wonten kang tinilar,<br />jer muktamat ing hadis ugi kasebut,<br />kak tanpa sarengat batal,<br />sarak tanpa kak tan dadi.<br /><br />Paran Gusti yen kapisah,<br />temah mangke kakalihira sisip,<br />kang lempeng taksih ing kawruh,<br />sakawanira tunggal,<br />ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu,<br />kakekat miwah makripat,<br />punika kamil apdoli.<br /><br />Terjemahan: Suluk Suksma Lelana<br />Apakah jika seseorang sudah sampai ke tingkatan hakikat, dia boleh meninggalkan syariat? Menurut pendapatku dan pendapat Hadits tak boleh ada ajaran syariat yang diabaikan, karena kebenaran atau haq tanpa syariat tak jadi dan syariat tanpa haq batal juga.<br />Perjalalanan menuju Tuhan tak boleh hanya dengan pendekatan secara partial, mereka harus melakukan empat hal itu sebagai satu kesatuan, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, inilah suatu hal yang sempurna.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0